webnovel
#WEAKTOSTRONG
#CULTIVATION
#XIANXIA

Tanril: Telaga Api

Legenda satu orang yang bisa menahan kepungan ratusan ribu pasukan, menaklukkan puluhan ribu tentara elit, serta menghentikan Perang Saudara berkepanjangan. Wander Atale Oward adalah anak kelima dari Likuun dan Chiru’un. Sejak kecil ia adalah anak yang lemah dan sakit-sakitan. Ketika ia sudah bersekolah, ia menjadi bulan-bulanan anak-anak saudagar di sekolahnya, ditindas dengan licik, hingga dikeluarkan dari sekolah. Wander tetap berkeinginan untuk mempelajari “Rijeen” atau seni bela diri. Ia mendesak ayahnya untuk mencarikan lagi guru baginya, hingga akhirnya ia diterima sebagai murid tunggal seorang ahli Rijeen yang eksentrik bernama Kurt Manjare. Kurt tidak mengajarkan ilmu bertarung, tetapi mengajarkan Teknik mengelola dan menguasai Khici. Kurt tahu bahwa Wander adalah anak yang istimewa. Wander terlahir sebagai “Tanril’, atau ia yang memiliki telaga api Khici dalam dirinya. Untuk bisa memanfaatkan itu, Wander perlu diarahkan dengan benar. Dalam bimbingan Kurt, Wander mengalami kemajuan pesat. Kemudian, Kurt ternyata mengungkap bahwa ia bukanlah guru sejati Wander. Ia hanya dipesan untuk mengajari Wander hal=hal yang mendasar, tetapi ia perlu mencipta sendiri Rijeen-nya di bawah bimbingan guru sesungguhnya bernama Jie Bi Shinjin yang misterius. Pada usia belasan tahun, Kerajaan Telentium, tempat tinggal Wander mengalami pergolakan. Raja negeri itu mangkat. Takhta kerajaan menjadi perebutan berdarah, hingga negeri terbelah dan pecah perang saudara. Pasukan Pangeran Pertama yang penuh ambisi kini mengarah menuju kota kelahiran Wander, Fru Gar. Atas pesan gurunya, Wander berusaha mempertahankan kota ini sekaligus berusaha menyelamatkan keluarga dan para penduduk kota.

Jadeteacup · 幻想
レビュー数が足りません
309 Chs
#WEAKTOSTRONG
#CULTIVATION
#XIANXIA

Prolog: Zeliang (Cahaya)

14 tahun yang lalu di kota Fru Gar, terjadilah sebuah peristiwa kecil….

Bocah berkulit coklat manis itu sedang bermain di sekitar rumahnya, bersama si gadis bisu. Gerak-geriknya lemah, halus tapi rapuh, meski ia tersenyum lebar. Bocah itu memang sakit-sakitan. Tapi matanya yang berbinar-binar mengikuti geliat tarian yang indah dan lancar dari jari-jemari serta mimik gadis itu.

Ia mendadak berseru, "Ah! Kau lihat tiga ayam di taman kemarin!"

Ekspresi si gadis mendung seketika seperti mega kelam. Mega berpetir.

Bocah itu menggaruk-garuk kepala, meski tidak gatal. Gagal lagi. Tapi antusiasmenya tidak berkurang sedikit jua, "Sekali lagi! Aku tadi masih kurang nyambung!"

Gadis itu mengulangi lagi. Lebih lambat, supaya bocah itu bisa mengikuti.

"Kamu… kemarin malam… makan tiga ayam?! Rakusnya!"

Sebuah sendal melayang dan mendarat di hidung bocah itu! Bocah itu tapi tidak marah. Ia tertawa, sambil mengusap-usap hidungnya.