webnovel

Bab 9 Satu Pesanan Senyuman

Lampu-lampu taman itu membuat atmosfir romantis memuncak. Aini dengan lapang dada menerima ciuman Zamrun.

"Apakah itu berarti iya?" tanya Zamrun setelah melepas bibirnya, masih memegang kepala Aini.

Aini terdiam sejenak. Dia mau mengangguk, tapi masih takut.

"Aku tidak yakin, Zam. Ini terlalu cepat bagiku," ucap Aini dengan nada suara sayu.

"Tidak masalah, Raini. Aku tidak terburu-buru juga agar kita segera menikah. Kita bisa memulai langkah demi langkah, kita ikuti saja prosesnya." Zamrun berkata lembut.

"Tapi aku masih takut nanti ka—"

Zamrun menempelkan jarinya pada bibir Aini.

"Tidak ada yang perlu kau takutkan, Raini. Aku akan selalu ada di sampingmu, kita akan melewati ini bersama."

Kalimat Zamrun membuat hati Aini luluh, sejenak kemudian dia menerima segenap perasaan Zamrun. Malam itu resmi hari jadian mereka.

***

Paginya di toko roti Aini kembali dengan kegiatan hariannya.

"Halo, Raini." Zamrun datang menyapa.

"Hai." Aini terdiam. Canggung.

"Aku pesan roti isi kelapanya satu." Zamrun dengan ceria berseru pagi itu, seakan-akan tidak terjadi apa-apa semalam.

Aini mengambil satu roti isi kelapa, memasukkannya ke dalam paper bag dan menyerahkannya pada Zamrun.

"Semoga harimu indah, Raini." Zamrun balik badan dan langsung melangkah. Aini melihat punggung Zamrun dari kejauhan.

Beberapa detik kemudian Zamrun menghilang diantara mobil-mobil di jalanan.

"Bu, kenapa bengong begitu natap jalanan? Sedih ya ditinggal ayang?" Reva cekikikan, menggoda Aini.

Aini menatap tajam Reva. Lantas yang ditatap berhenti tertawa.

Seharian itu Aini tidak banyak bicara, di kepalanya terus muncul apa yang dikatakan Zamrun semalam. Dia tidak yakin bisa menerima perasaan Zamrun, hatinya masih hancur lebur karena bastian. Dan tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan bastian malam itu kecuali Aini. itu juga kenapa Aini tidak mudah menerima perasaan orang lain, pikirannya masih nyangkut di malam itu.

Hingga sore hari, Zamrun kembali berkunjung ke toko.

"Halo, Raini." Dia menyapa dengan ceria, padahal peluh dari kerja sudah membuatnya lelah.

"Hai." Aini masih membalas canggung.

Zamrun menatap etalase toko.

"Kenapa, Zam?" tanya Aini setelah melihat Zamrun yang lama sekali menatap etalase.

"Tidak, aku hanya penasaran, sepertinya ada yang hilang." Zamrun menggosk dagunya.

"Hilang?"

"Iya, ada yang hilang dari toko ini."

Aini juga ikut memerhatikan etalase toko. Mencari tahu apa yang hilang yang dimaksud oleh Zamrun.

"Tidak ada yang hilang, semua menu masih lengkap," ungkap Aini setelah memerhatikan etalase.

"Aku tidak pernah bilang kalau yang hilang itu adalah menu." Zamrun menatap Aini, tersenyum hangat.

Aini tidak paham, dahinya mengernyit.

"Yang hilang itu senyumanmu, Raini. Senyumanmu hilang hari ini," ucap Zamrun. Membuat wajah Aini langsung merah. Menunduk malu.

Zamrun tertawa tipis.

"Tidak usah malu begitu, Raini. Senyumanmu itu indah, tidak usah menunduk."

"Apaan sih, Zam." Aini melambaikan tangan malu, lantas tersenyum.

"Kalau begitu sampai jumpa." Zamrun balik badan dan melangkah keluar.

"Kau tidak memesan roti kelapa?" seru Aini.

"Aku sudah mendapat pesananku, Raini." Zamrun balas berseru.

"Apa itu?"

"Senyumanmu yang hilang hari ini."

Mendengar itu Aini langsung tertawa tipis. Melihat punggung Zamrun yang hilang di balik mobil dan melaju di jalanan.

"Aduh…" Reva tiba-tiba mengaduh.

"Kenapa, Rev?" tanya Aini panik.

"Senyuman ibu silau sekali." Reva terkekeh.

Aini langsung memukul bahu Reva sembari tertawa.

***

Esok paginya Zamrun kembali datang ke toko. Seperti biasa.

"Satu roti isi kelapa dan satu senyuman manis dari sang ratu tepung," ucap Zamrun dari balik etalase.

Aini tertawa mendengar kalimat Zamrun. Mengambil satu paper bag dan memasukkan pesanan.

"Kenapa ratu tepung?" tanya Aini setelah memberika pesanan.

"Karena kau pintar dalam membuat roti, Raini." Zamrun balik badan, kembali meninggalkan Aini yang tertawa tipis.

Dia kembali menatap punggung Zamrun yang hilang di jalanan.

"Bu, sudahlah, tidak baik menatap lama-lama." Reva mengangetkan Aini.

"Siapa pula yang natap lama-lama. Aku sedang melihat jalanan, Rev, menunggu pelanggan." Aini berdalih.

"Ibu tidak pandai berbohong. Yang datang pagi hari itu cuma dua orang, Pak Zamrun dan Mas Feri. selain dua orang itu, tidak lagi. jadi untuk apa ibu menatap pelanggan di jalanan."

Kalimat Reva langsung membuat Aini tidak bisa berkata-kata.

"Kan siapa tahu ada yang lain datang, Rev. Rezeki mah tidak ada yang tahu." Aini balik badan dan kembali ke meja kasir. meninggalkan Reva.

seharian itu tidak tahu kenapa ada sesuatu yang hilang dari keseharian Aini. dia memang dengan biasa melayani pelanggan dengan senyuman dan ramah. Tapi matanya tidak berhenti menatap pintu masuk toko.

"Halo." Terdengar suara dari pintu masuk. Aini yang sedang meringkuk mengambil uang receh yang jatuh langsung cepat berdiri. Memasang senyuman terbaiknya.

"Halo, bos." Lantas mendengar lagi suara itu senyumannya langsung terlipat.

"Kamu toh, Syaf," ucap Aini dengan nada kesal.

"Eh," Syafri heran, bertanya-tanya apa salahnya sampai membuat Aini berbicara ketus.

"Rev, aku salah apa?" bisik Syafri menghampiri Reva.

"Tidak tahu," jawab Reva asal. "Memangnya ada apa?"

"Bos berbicara ketus, padahal aku hanya masuk seperti biasanya." Syafri menjelaskan kejadian beberapa saat yang lalu.

"Oh, itu. tidak ada apa-apa. Kau tidak ada salah sama sekali." Reva melambaikan tangan.

Setiap sore Syafri pergi ke toko tersebut, menyerahkan uang hasil toko di jakarta selatan.

"Rev, serius deh, apa salahku?" Syafri kembali bertanya pada Reva.

"Sudah kubilang kau tidak salah apa-apa, Syaf. Santai saja." Reva menghela nafas. Sedikit kesal dengan Syafri yang berulang kali bertanya pertanyaan tersebut.

Hingga teng jam tujuh sore. Yang ditunggu Aini datang.

"Halo, Raini." Suara khas itu kembali terdengar, Aini yang menatap kosong komuter kasir langsung bediri tegap.

"Hai," balas Aini.

Zamrun tersenyum lebar menatap Aini, begitu juga Aini tidak kalah dengan senyumannya. Beberapa detik mereka berdua tidak berbicara sepatah kata pun.

"Oh, jadi itu," seru Syafri setelah mendengar penejelasan Reva. Membuat Aini dan Zamrun tersadar dari keheningan yang menimpa mereka berdua.

Aini menatap Syafri tajam. Yang ditatap menutup mulut dan memalingkan wajah.

"Roti isi kelapa satu," Zamrun tertawa tipis melihat ekspresi Aini yang menatap Syafri.

"Tidak ada pesanan lain lagi?" tanya Aini sembari tersenyum malu menatap Zamrun.

"Hari ini aku hanya ingin memesan roti isi kelapa saja." Zamrun mengambil bungkusan.

Aini langsung heran, tidak seperti yang ia harapkan. Zamrun langsung paham tatapan Aini yang mengatakan 'kenapa?'

"Karena porsi untuk senyumanmu sudah penuh tadi pagi, Raini."

Zamrun balik badan keluar dari toko. Meninggalkan Aini yang salah tingkah.

"Bos, lain kali diantar sampai depan pintu. Masa cuma dilihat aja," sekonyong-konyong Syafri menyambar.

Aini menatap Syafri galak. Syafri langsung menoleh, pura-pura tidak bersalah.