webnovel

Bab 7 Pertanyaan Yang Menghantui

Pameran yang ditunggu-tunggu Aini datang. Tepat minggu kedua terakhir, pertengahan bulan April.

Mata Aini langsung berbinar-binar ketika sampai di pintu gerbang pameran. Pintu masuk aula kota itu sudah dihias sedemikian rupa, gapura warna merah dipadu dengan biru, juga dihiasi dengan berbagai ornamen yang mendeskripsikan banyak budaya.

Berbondong-bondong pengunjung datang. Ada yang bersama kekasih, ada juga yang bersama anak cucu. Tidak sedikit yang hanya berangkat bersama teman, menikmati indahnya pameran.

Aini tidak berhenti senyum lebar setelah memberikan tiket pada penjaga di depan gapura. Lantas diberikan gelang kertas sebagai tanda pengunjung.

"Stand apa pertama kali kita kunjungi?" ucap Zamrun sembari memerhatikan wajah Aini.

"Aku sudah membuat jadwalnya." Aini mengeluarkan buku kecil dari sakunya, dari semalam dia sudah menulis apa yang harus dikunjungi pertama, apa yang harus dibeli dan sebagainya. Planning hari itu sudah lengket di kepalanya sejak seminggu lalu ketika Zamrun memperlihatkan tiket tersebut.

Mulailah petualangan Aini di pameran Makanan Khas Nusantara Ke-10 Kota Jakarta.

Tempat pertama yang ia kunjugi adalah makanan khas aceh. Asap mengepul di udara, koki di balik kompor itu ligat sekali dengan alat-alat masak. Aroma khas mi acceh tercium di sepanjang jalan tersebut. padahal ruangan besar itu sudah disiapkan penarik asap keluaran terkini, agar ruangan tidak pengap, tapi mi aceh itu seakan-akan melawan kodrat dari penghirup asap. Membuat ratusan pengunjung berkerumunan ingin tahu apa yang sedang koki kerjakan.

Aini dan Zamrun sudah disiapkan tempat khusus oleh panitia pameran. Tepat di samping stand makanan khas aceh ada sepuluh pasang meja, di setiap meja ada tiga kursi. panitia langsung mengenali Zamrun dan mengantar mereka ke tempat tersebut.

"Kenapa kita diantar kesini?" Aini heran, padahal tadi ia hendak mengantri seperti pengunjung lainnya untuk mencoba mi aceh tersebut.

"Karena tiket kita sedikit spesial, Raini," jawab Zamrun sambil menunjukkan gelang tiket di tangannya. Aini baru sadar kalau gelang tiket mereka berwarna emas, berbeda dari lainnya yang berwarna silver.

Aini mengangguk paham, manut dengan apa yang dikatakan Zamrun selama perjalanan.

Beberapa menit kemudian pelayan datang membawa dua mangkuk mi aceh spesial.

"Silakan dinikmati, Anggraini." Suara tidak asing diucapkan oleh pelayan. Aini menoleh.

"Feri?" seru Aini kaget.

Feri balas senyum.

"Kok—" Aini mengernyitkan dahinya.

"Aku punya keturunan aceh, Anggraini. Dari ayah kakekku, panjanga sekali silsilahnya. Tapi ya, aku koki utama di stand ini." Feri sedikit menunduk, ala-ala koki profesional saat mempersilakan pengunjung untuk makan.

"Wah, aku tidak tahu itu. Yang aku ingat dulu ibumu selalu memasak makanan yang lezat," balas Aini yang tersenyum berbinar-binar terkejut melihat Feri dengan pakaian serba putih khas koki, ditambah apron warna coklat.

"Mudah-mudahan saja ini enak," tukas Zamrun yang kesal melihat Feri disana.

"Silakan dinikmati." Feri tersenyum sinis ke arah Zamrun.

Sejenak, Feri meninggalkan meja tersebut, kembali melanjutkan memasak di stand, suara gesekan spatula dan wajan kembali terdengar.

"Ini enak sekali," seru Aini setelah mencoba satu sendok pertama. "Sudah seperti makan makanan bintang lima. Aku tidak percaya Feri bisa memasak seperti ini. kalau nanti-nanti aku ingin buka rumah makan sepertinya aku bisa konsultasi dengannya." Aini mengoceh panjang.

"Iya, ini enak." Zamrun berkata ketus.

Setelah lima belas menit makan, Aini dan Zamrun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Aini menuju arah dapur stand, ingin pamitan sama Feri.

"Fer, aku pamit dulu, ya." Aini berseru keras dari balik dapur, suara gesekan spatula dan ributnya para koki menghalang suara Aini.

"Dia tidak mendengar, Raini. Nanti saja kita kembali lagi kesini," ucap Zamrun ketika melihat tidak ada respon sama sekali dari Feri.

Aini tidak menyerah, dia memanggil salah satu pekerja dan menitipkan salam untuk Feri lantas setelah itu baru ikut kembali berjalan dengan Zamrun.

Satu persatu stand mereka lewati. Sesekali Zamrun bertemu dengan kolega kerjanya, berdiri lama membicarakan banyak hal. Aini juga diperkenalkan dengan beberapa kolega Zamrun, juga ikut nimbrung membahas banyak hal. Perjalanan itu bukan hanya kepuasaan nafsu Aini mencoba makanan khas nusantara, itu juga bisa menjadi tambahan korelasinya. Boleh jadi satu dua ada yang bisa diminta saran bisnis, apalagi para arsitek kolega Zamrun adalah orang-orang besar.

Satu jam berlalu, entah sudah berapa stand mereka berkeliling. Aini sibuk mengoceh ketika sampai di salah satu stand dan menjelaskan sejarah makanan tersebut. Zamrun dengan senang mendengarnya, sesekali tersenyum dan tertawa. Dia hanya senang mendengar Aini bicara.

Dua jam kembali berlalu. Pameran itu semakin ramai, berdesak-desakan di beberapa tempat. Apalagi di stand makanan terkenal, seperti masakan padang, antreannya mengular mengelilingi pameran.

Tidak terasa sudah lima jam mereka berkeliling. Zamrun mengajak Aini beristirahat di salah satu stand kopi starbucks.

"Sungguh menyenangkan. Ini akan menjadi momen paling berkesan dalam hidupku." Aini masih ceria padahal keringatnya sudah berucucuran karena berlari-larian.

"Syukurlah kau senang, Raini." Zamrun tersenyum.

"Kau menikmatinya, Zam?" tanya Aini.

"Selama kau menikmatinya, aku juga ikut senang, Raini."

Kalimat itu membuat wajah Aini sedikit memerah. Lantas kemudian tersenyum.

"Aku berharap toko rotiku juga bisa ikut pameran seperti ini," oceh Aini sembari melihat betapa ramainya pengunjung pameran tersebut.

"Toko rotimu sudah enak tanpa ikut pameran, Raini," puji Zamrun.

Aini menyeringai, tidak serius menangkap pujian tersebut.

Setelah sebentar istirahat mereka kembali berkeliling hingga tidak sadar sore menyapa. Setiap sudut sudah Aini kunjungi.

"Akhirnya selesai juga." Aini meregangkan badannya setelah keluar dari aula kota.

"Kau ada janji kemana lagi hari ini?" tanya Zamrun sembari memerhatikan teleponnya.

Aini berpikir sejenak. "Tidak ada, toko sudah aku serahkan selama seminggu kedepan sama reva. Aku bebas minggu ini memikirkan grand opening untuk toko yang di jaksel."

"Mau jalan-jalan di sekitar sini?"

Sejenak, Aini berpikir.

"Ayo," sembari senyum.

***

Setengah jam kemudian mereka sampai di santa night market. Duduk di depan salah satu kedai makanan.

"Kau tidak mau menjelaskan sejarah tempat ini?" Zamrun menggoda Aini yang duduk memandang sekitar.

"Eh?"

"Sejak tadi di pameran kau bisa menjelaskan dengan baik sejarah makanan. Kalau-kalau nanti melamar jadi guru sejarah, bisa jadi nanti jadi guru favorit." Zamrun tertawa tipis.

Aini menunduk malu. "Tapi aku hanya paham sejarah makanan, Zam. Tidak tahu sejarah lainnya."

"Itu cukup, sejarah lainnya sudah tertutup dengan kecantikanmu."

Kalimat itu langsung membuat wajah Aini memerah, malu semalu-malunya.

"Aku sudah janda, Zam. Tidak secantik gadis-gadis muda disana," balas Aini.

"Jangan insecure, Raini. Kau masih menang dalam kecantikan melawan meraka para perempuan muda disana. bahkan bisa jadi kau dengan mudah mengalahkan mereka." Zamrun tidak berhenti memuji.

Sejenak, suasana lengang.

"Raini, kau tidak berniat kembali menjalin hubungan?"

Pertanyaan itu membuat seisi santa night market sunyi bagi Aini. itu adalah pertanyaan yang menghantui kehidupannya selama hampir tiga bulan ini. Dia selalu merasa kekurangan setelah bastian. Sesekali dia tidak percaya lagi akan cinta, tapi hatinya berkata lain. terkadang dia merasa bisa hidup sendirian hingga tua, mengelola toko roti seperti cita-citanya masa SMA dulu. Sekarang umurnya 27 tahun. Di umur dua lima sudah menikah dengan dengan bastian setelah berpacaran selama dua tahun.

Aini menunduk dalam, apa sebenarnya tujuan hidupnya sekarang.

"Raini, kau baik-baik saja?"

"Eh, aku baik-baik saja." Aini menatap Zamrun senyum.

Dalam hati, pertanyaan itu masih terus bersarang.