webnovel

Bab 6 Panggil Aku Ketika Kau Butuh

Hari kembali berjalan seperti biasanya. Malam itu tidak ada sesuatu yang spesial terjadi antara Zamrun dan Aini. setelah makan dan berbicara sebentar dengan Yuni, mereka berdua memutuskan pulang.

Paginya Zamrun kembali berkunjung ke toko roti. Ingin menyapa Aini disana.

"Reva, Raini dimana?" tanya Zamrun ketika melihat meja kasir yang tidak berpenghuni.

"Eh, ada Pak Zamrun." Reva tersenyum, menatap lama Zamrun.

"Raini dimana?" tanya Zamrun lagi setelah memerhatikan reva yang tidak berhenti menatapnya dan tidak menjawab pertanyannya.

"Eh, oh, Ibu sudah pergi tadi dengan Mas Feri," jawab reva.

"Pergi kemana? Dengan Feri?" Zamrun mengernyitkan dahinya.

"Iya, Pak Zamrun. Ibu pergi dengan Mas Feri tadi pagi sekali ke Jaksel. Katanya perihal toko baru yang akan dibuka disana."

"Oh, oke." Zamrun mengangguk paham. Lantas balik badan, melangkah keluar.

"Eh, Pak Zamrun tidak beli roti isi kelapanya?" seru reva saat melihat Zamrun berjalan keluar.

Zamrun mendesah pelan, pikirannya tidak lagi fokus. Dia bahkan lupa melakukan ritual paginya. Lantas memesan kembali roti isi kelapa.

"Oh, ya, reva. Kau punya alamat toko baru di Jakarta selatan?" ujar Zamrun setelah menerima bungkusan roti.

"Punya, Pak. Tunggu sebentar. Tapi saya tidak punya nomor Pak Zamrun." Reva menyeringai.

Zamrun mengeluarkan telepon, membagikan nomor melalui QR code. Semenit kemudian reva mengirim alamat menggunakan whatsapp.

"Terima kasih." Zamrun melangkah keluar toko.

"Sama-sama, Pak. Sering-sering chat saya, Pak." Reva tersenyum, lebih kepada senyuman ngeri.

Zamrun berusaha membalas senyum, tidak terlalu paham apa yang reva katakan.

***

Di toko baru Aini, Jakarta Selatan.

"Makasih banyak, Fer. Untung saja ada kau di toko. Jadinya masalah ini selesai." Aini menghempaskan peunggunya di kursi empuk di dalam sebuah gedung yang furniturnya belum sepenuhnya terisi.

"Tidak masalah, Anggraini. Senang bisa membantu." Feri juga ikut menghempaskan punggung di salah satu kursi.

Tadi pagi tiba-tiba sekali, ketika Aini sedang bersiap-siap membuka tokonya, telepon toko berbunyi. Itu panggilan dari syafri, salah satu karyawan yang mengurus toko baru Aini di Jakarta selatan.

"Bos, ada masalah besar, nih," ucap syafri langsung ketika telepon diangkat.

"Masalah besar apa?" balas Aini.

"Ada bapak-bapak entah dari mana, masuk ke dalam toko dan membawa surat-surat kepemilikan. Katanya toko ini punya bapak tersebut yang diwariskan dari anaknya. Kami tidak tahu harus berbuat apa." syafri berkata lirih di telepon, suaranya semakin lama semakin mengecil. "Bapak tersebut juga membawa beberapa polisi, bos. Itu malah membuat kami tidak bisa berkata-kata."

"Oke, syafri, tunggu disana. aku akan segera kesana." Aini menutup telepon, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ada apa, Bu?" tanya reva ketika melihat wajah panik Aini.

"Itu, si syafri, katanya ada orang aneh bawa polisi masuk ke toko." Aini menghela nafas.

"Polisi? Orang aneh? Bahaya itu, Bu," seru reva ketika mendengar kalimat Aini.

"Aku juga tahu bahaya, Rev. tapi yang lebih penting lagi bagaimana aku bisa kesana sekarang." Aini terus menggaruk kepalanya.

"Ibu kan bisa pesan grab atau gojek, gitu." Reva memberi saran.

"Tidak bisa, Rev. Ini hari kerja, pasti pesanan kendaraan umum penuh. Dan bisa jadi kalau pun ada makan waktu lama nunggu drivernya nyampe."

Aini kembali menghela nafas. Pembukaan toko roti barunya adalah momen yang sudah Aini tunggu ketika berniat kembali membuka toko roti setelah kepergian bastian. Cita-citanya yang tertunda itu akhirnya tercapai, tapi hari ini masalah besar sampai, tidak terduga sama sekali. Sayangnya, masalah besar itu menyentuh bagian kelemahan Aini, dia tidak bisa mengemudi, motor ataupun mobil.

Sepuluh menit berlalu.

"Anggraini, ada masalah?" tiba-tiba terdengar suara yang sangat familiar yang sudah beberapa hari tidak Aini dengar.

"Akhirnya mas Feri datang." Reva menyambut Feri di depan pintu toko.

"Mana Anggraini?" Feri menoleh kanan kiri, mencari Aini.

"Lah, mas, kan saya yang manggil, toh." Reva kesal tidak diperhatikan.

"Feri, kenapa kau ada disini?" Aini berdiri, wajahnya mulai terlihat dari balik etelase.

"Eh," Feri menatap Aini, heran. "Bukannya kau ada masalah dan menyuruhku kesini?" Feri menggaruk kepalanya, salah tingkah.

Aini terdiam sebentar, lantas menatap reva yang menyeringai. Matanya menatap tajam, membuat reva tertunduk.

"Iya, aku ada masalah." Aini melangkah, menghampiri Feri yang memasang wajah salah tingkah. "Boleh ngak antar ke Jaksel sekarang? Nanti akan kubayar," mohon Aini sembari memasang wajah imutnya.

"Oh, boleh, boleh. Tapi untuk apa?" ekspresi Feri kembali normal.

"Nanti akan kujelaskan di mobil." Aini mengepalkan tangannya, akhirnya bala bantuan datang.

"Oke." Feri balik badan dan melangkah keluar.

Aini juga ikut berjalan sesudah sekali lagi menatap wajah reva garang, reva mengangkat tangannya sambil mengepalkan tinju. "Semangat, Bu," ucapnya takut-takut.

Dari sanalah alasan kenapa Aini dan Feri sampai di Jakarta Selatan. Menyelesaikan masalah dengan bapak asing tersebut, yang berakhir dengan kesalahpahaman.

"Maaf, bos, sudah panggil bos jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk menyelesaikan hal ini." syafri menghampiri Aini yang duduk santai di kursi setelah menyelesaikan perkara dengan bapak asing dan beberapa aparat kepolisian.

"Tidak masalah, Syaf. Lain kali kau harus lebih berani, jangan mau kalah. Apalagi kalau kamu tahu kalau kamu itu benar. Jangan mau disalahin." Aini tersenyum hangat sembari menatap karyawannya tersebut.

Syafri menunduk dan mohon pamit, kembali pada pekerjaannya. meninggalkan Aini dan Feri di ruangan besar tersebut.

"Bijak sekali kau, Anggraini," ucap Feri ketika melihat syafri sudah pergi.

Wajah Aini memerah, "Tidak, Fer. Syafri karyawan baik, tidak mungkin aku memarahinya hanya karena satu kesalahan. Dia sudah berbuat banyak yang benar."

"Nah, itu, kau kembali bijak, Anggraini." Feri tertawa, Aini juga ikutan.

"Eh, nanti tagihannya akan kukirimkan ke rekeningmu, ya," ucap Aini ketika mengingat janjinya sebelum berangkat.

"Tidak masalah, kau tidak perlu membayar. Aku senang bisa membantu." Feri menggeleng kepala.

"Tapi—"

"Tidak ada tapi-tapi, Anggraini. Aku hanya senang membantu," potong Feri.

Anggraini tidak jadi mengambil ponsel dari sakunya. Suasana ruangan kembali senyap. Aini tidak punya topik percakapan lagi, juga tiba-tiba memorinya tentang ajakan kencan dari Feri kembali muncul, membuat dirinya semakin tidak nyaman. Juga Feri, dia tidak punya bahan pembicaraan lain.

"Ini toko yang bagus, Raini." Tiba-tiba muncul seseorang dari balik pintu toko yang terbuka lebar.

"Zamrun," seru Aini, tersenyum lebar. Berdiri dan berlari kecil menghampiri Zamrun. Feri juga ikutan berdiri.

"Kok ada disini?" tanya Aini, mengernyitkan kening.

"Aku dengar dari reva kalau toko barumu ada masalah. Makanya aku berkunjung, ingin membantu menyelesaikan," jelas Zamrun.

"Masalahnya sudah selesai, kau sedikit terlambat, kawan." Feri membalas Zamrun. Mata Zamrun langsung tertuju pada Feri yang menghampirinya.

"Kau terlambat, tuan arsitek. Masalahnya sudah selesai. Tapi, terima kasih sudah datang." Aini tersenyum, memukul pundak Zamrun.

Zamrun kembali tersenyum, mengabaikan Feri yang berada sedikit di belakang Aini.

"Kau mau berkeliling? Aku ingin meminta saranmu mendekorasi beberapa bagian." Aini melangkah keluar, sumringah lebar.

"Tentu saja, selama bayarannya sesuai."

"Iya, nanti akan kuberi diskon roti isi kelapa selama seminggu," Aini melambaikan tangannya. Feri juga ikutan melangkah.

Aini memperlihatkan beberapa bagian di toko terbarunya. Ternyata itu bukan cuma toko roti, tapi Aini memadukan dengan jajanan minuman yang sedang populer sekarang seperti teh susu boba atau tapioka yang sedang viral dimana-mana. Itu adalah ide bisnis bagus untuk rotinya, jadinya pelanggan tidak hanya datang membeli roti, tapi menikmati juga kopi-kopi kekinian.

Zamrun memberi saran di beberapa bagian dekorasi outdoor toko. Halaman luas di depan toko tersebut akan dipasang bebapa meja yang bentuknya seperti jamur, juga beberapa pasang meja yang diteduhi pelepah kelapa. Perpaduan antara modern dan tradisional. Itu juga bagian dari ide Zamrun ketika mereka bercakap-cakap di setiap pagi ketika Zamrun berkunjung membeli roti.

"Toko ini akan sukses, Raini. Aku yakin itu." Zamrun berkata mantap ketika selesai berkeliling.

"Semoga saja, Zam. Kalau ini sukses rencana aku akan membuka cabang lainnya."

"Jangan lupa libatkan aku dalam desainnya."

Mereka berdua tertawa.

"Kau tidak bekerja?" Aini baru sadar bahwa Zamrun datang kesana di jam kerja. Tidak terpikirkan olehnya ketika melihat Zamrun muncul di pintu toko.

"Tidak masalah. Aku sudah menelpon bosku, semua aman. Aku akan kesana sebentar lagi."

Aini mengangguk.

Feri sedari tadi tidak berbicara sama sekali. Membahas masalah desain koridor bukan bidangnya sama sekali. Dia bahkan tidak terlalu paham bahasa seni yang Aini dan Zamrun bicarakan sedari tadi.

"Oh, ya, Raini. Kau kosong akhir minggu?" tanya Zamrun.

"Kosong, karena awal minggu depan Grand Opening." Aini menjawab mantap sembari mengingat jadwalnya.

"Bagaimana kalau kita pergi ke pameran makanan khas nusantara di aula kota?"

Wajah Aini langsung berseri-seri.

"Serius? Bukankah tiketnya sudah ludes dari beberapa bulan lalu? Reva bilang semua sudah diborong oleh para pecinta kuliner." Aini balas bertanya.

"Tidak ada yang ludes di dunia ini, Raini." Zamrun mengambil dua carik kertas dari saku jasnya. Memperlihatkannya pada Aini.

Aini menutup mulutnya tidak percaya.

"Kau serius?" seru Aini tidak percaya.

"Lima rius, Raini."

Aini memegang tiket tersebut, wajahnya bersinar secerah matahari pagi.

"Aku punya teman disana yang menata stand pameran. Dia memberiku dua tiket ini," tukas Zamrun.

"Makasih, Zam. Aku berhutang banyak. aku ingin sekali pergi ke pameran ini." Aini tidak berhenti tersenyum.

"Iya, aku tahu betapa sukanya kau pada dunia masak-masak, Raini. Dan kapan-kapan kalau kau butuh bantuan, hubungi saja aku. pasti aku akan ada disana membantu."

"Hehe… kau memang terbaik, zam." Sekali lagi Aini tersenyum.

Di belakang Aini, Feri terdiam. Tidak berkata banyak, dia juga menyembunyikan tiket yang sama di balik sakunya. Ingin mengajak Aini ke tempat yang sama.