webnovel

Bab 5 Kebetulan Itu Tidak Hanya Satu

Hari demi hari berlanjut, dan tidak terasa sudah seminggu lamanya. Zamrun rutin sekali pergi ke toko roti Aini, menghabiskan waktu beberapa menit berbicara banyak hal, lantas pergi menuju kantornya. Feri jarang tampak selama seminggu itu, entahlah karena dia sibuk dengan kerjaan atau canggung karena Aini belum menjawab ajakan kencannya tempo hari.

Selama seminggu itu juga tidak mudah bagi Aini, untuk seorang janda, menerima ajakan kencan dari pria lain bukan hal yang begitu saja diterimanya lapang dada. Belum lagi apa kata ibu-ibu desa ketika mendengar Aini sudah menerima ajakan kencan dari salah seorang pangeran di desa mereka. Sudah dipastikan Aini akan menjadi trending topik di setiap arisan.

"Bu, kenapa akhir-akhir ini banyak sekali melamunnya?" reva seperti biasa selalu bertanya ketika ada hal aneh yang dia lihat dari wajah Aini.

"Eh…" Aini menatap reva, tidak sadar sudah lima menit dia hanya menatap kosong etalase toko. "Tidak ada, Rev. Itu imajinasimu saja." Aini kembali tersenyum hangat.

Itu adalah pagi kesekian yang dimulai dengan Aini yang berbicara dengan Zamrun di toko. Tadi pagi mereka berbicara tentang klien Zamrun yang meminta desain rumah gaya Vintage Eropa, meminta saran Aini tentang beberapa bagian. Itu karena Aini sangat menyukai desain masa lampau negara-negara seperti Inggris. Juga, itu dari banyak alasan kenapa interior toko rotinya meresap beberapa lekukan dan pahatan khas Eropa sana.

Feri tidak datang pagi itu, dan itu sudah pagi ketiga sejak seminggu Feri tidak membeli roti Aini. dia merasa bersalah karena menggantung jawaban dari Feri, toh dia juga tidak tahu harus menjawab apa. Takut menyakiti perasaan sahabat masa kecilnya itu.

"Bu, Syafri menelpon." Reva menyerahkan telepon toko yang terletak di dinding samping pintu masuk dapur.

Aini melangkah dan mengambil telepon. menyapa syafri, salah satu karyawannya yang mengurus grand opening toko baru Aini. Mereka berbicara panjang perihal masalah teknis.

Grand opening toko baru itulah yang membantu mengalihkan pikiran Aini dari beberapa masalah hidupnya, termasuk masalah Feri.

***

Awal bulan April akhirnya tiba, itu adalah awal bulan ketiga Aini menjanda. Ibu-ibu komplek masih saja tidak berhenti membicarakan Aini.

"Eh, jeng, itu si janda sudah masuk bulan ketiga. Kita harus jaga-jaga nih, dua bulan dia bisa nahan, tapi kalau tiga bulan, mah, bahaya. Bisa-bisa anak-anak muda komplek kita bisa jadi sasaran. Jaga baik-baik suami kalian, heh," ucap panjang Bu Asih, salah satu dari banyak ibu-ibu yang membicarakan Aini. beberapa hari lalu Aini tahu nama bu asih karena ibu tersebut memesan kue ulang tahun untuk anaknya.

"Raini, seperti biasa." Zamrun datang dengan ceria, berkunjung ke toko itu sudah menjadi bagian ritual paginya.

"Kau senang sekali hari, Zam," ucap Aini, tangannya ligat mengambil roti isi kelapa yang masih hangat.

"Yap, karena aku baru saja close deal dengan klienku." Zamrun balas dengan semangat.

"Selamat." Aini tersenyum hangat.

"Itu semua berkat asupan rotimu tiap pagi, Raini," balas Zamrun, membuat wajah Aini sedikit malu. Aini menyerahkan bungkusan roti.

"Oh, ya, Raini, bagaimana kalau untuk merayakannya, malam ini kita nonton di mall? Kau tahu, makan makanan enak seperti steak dan sebagainya?" ucap Zamrun setelah menerima bungkusan roti.

Sejenak Aini terdiam, berpikir.

"Ya, boleh," balas Aini, toh dia tidak punya jadwal penting nanti malam. Masalah toko bisa diserahkan pada reva. Juga, sudah lama dia tidak jalan-jalan.

Sorenya Aini langsung pulang ke rumah. Membersihkan diri dan bersiap-siap. Pikirannya kembali teringat memori masa lalu ketika di Bandung bersama bastian. Bulan pertama mereka tinggal di Bandung, setiap akhir pekan pasti bastian mengajak Aini jalan-jalan di mall. Menonton film keluaran terbaru dan fine dining di restoran. Sesekali juga Aini diajak ke taman-taman indah disana. Hanya duduk menikmati malam yang dipenuhi bintang-bintang. Momen-momen romantis itu adalah kepingan terindah yang ada dalam memori Aini.

Ketika malam menyambut, Aini sudah berdiri di samping jalan protokol, menunggu Zamrun. Beberapa menit kemudian mobil sedan berwarna hitam metalik mengkilap menepi, jendelanya terbuka.

"Apakah saya sudah membuat sang ratu menunggu kelamaan di tepi jalan?" dari balik kemudi mobil tampak Zamrun yang tersenyum.

Aini tertawa mendengar kalimat Zamrun lantas membuka pintu mobil, masuk. Beberapa detik kemudian gas mobil ditancap dan mereka melintasi jalanan. Mall tidak jauh dan jalanan juga tidak macet, masih terbilang hari kerja, jadinya tidak banyak dari penduduk kota Jakarta yang mengisi malam dengan jalan-jalan.

Sesampainya mereka di mall, Zamrun langsung memesan tiket lewan smartphonenya. Turun dari mobil dan masuk ke dalam bangunan besar yang dipenuhui ratusan manusia. Lantas langsung menuju bioskop. Dua jam kemudian keluar.

"Bagus sekali filmnya." Aini berseru takjub ketika keluar dari ruangan. "Aku suka sekali dengan karakter perempuannya, tangguh dan pantang menyerah. Padahal sudah kalah berkali-kali. Aktingnya ngak ada obat."

Zamrun hanya tersenyum menatap wajah Aini yang berseri-seri sembari menjelaskan opininya perihal film yang baru saja mereka tonton.

"Menurutmu bagaimana, Zam?" Aini menatap Zamrun yang tidak henti-hentinya menatap wajah Aini.

"Oh, bagus. Aku suka interior setnya, rapi dan modis. Bisa jadi ide yang brilian untuk interior ruangan." Zamrun tersenyum.

"Yaelah, sang arsitek, kita baru saja menonton film. Bukan tutorial membuat interior yag bagus," balas Aini sambil menepuk pundak Zamrun, yang juga ikutan tertawa. Sejak layar bioskop dimulai, Zamrun lebih banyak melihat ekspresi Aini daripada menonton filmnya. Yang dia ingat hanya interior ruangan yang ada di dalam film.

Setelah nonton, mereka memutuskan untuk makan di restoran terdekat yang di dalam mall. Duduk di salah satu kursi dan memesan makanan, steak.

"Jadi, berapa lama lagi kau akan di Jakarta?" Aini mencomot topik sembarang.

"Tidak tahu, bisa jadi selamanya." Zamrun mengangkat bahunya.

"Lah, bukannya kau disini karena ada klien?" tanya Aini terkejut dengan jawaban Zamrun.

"Iya, tapi kan tidak ada yang tahu. Boleh jadi besok lusa aku mendapatkan jodoh yang tinggalnya disini dan memutuskan menetap." Zamrun tersenyum tipis.

Aini tertawa tipis mendengar jawaban Zamrun.

"Kau tidak meninggalkan Farah begitu saja di Bandung sana, kan?" tanya Aini.

Sejenak, meja makan senyap. Farah adalah kekasih Zamrun ketika di Bandung. Mereka berdua adalah pasangan yang selalu menemani Aini dan bastian ketika jalan-jalan di mall, double date setiap minggunya. Itulah juga yang menjadi alasan kenapa Aini biasa saja menerima ajakan jalan-jalan dari Zamrun, toh, dari dulu mereka sudah melakukan hal tersebut tiap minggunya.

"Farah dan aku tidak bersama lagi, Raini." Zamrun menatap wajah Aini, semu sekali ekspresinya. Seperti ada sesuatu yang sudah dikubur lama kembali ditarik.

Wajah Aini langsung berubah, canggung.

"Maaf, aku tidak tahu itu." Aini menunduk, merasa bersalah membawa nama Farah ke topik percakapan.

"Tidak masalah, toh, itu sudah beberapa bulan lalu." Zamrun berusaha menenangkan, merasa bersalah juga memasang tatapan sedih ketika membalas Aini.

Rasa canngung itu langsung lenyap ketika steak yang mereka pesan datang. Aroma wangi dari daging itu cukup ampuh untuk membuat meja makan kembali seperti semula. Zamrun juga langsung tersenyum, itu adalah makanan favoritnya. Aini juga menghilangkan rasa bersalahnya, tidak baik memenuhi meja makan dengan rasa canggung, nanti-nanti semua makanan terasa hambar.

Beberapa menit setelah melahap steak nikmat, seseorang menyapa.

"Aini," adalah Yuni, sahabat SMA Aini yang beberapa hari lalu mereka bertemu di pesta reunian.

"Kebetulan sekali kita bertemu disini." Yuni berseru kencang. Aini berdiri, memeluk temannya tersebut.

"Yun, kebetulan juga." Aini terenyum.

Beberapa detik kemudian Yuni menatap Zamrun yang duduk di kursi.

"Hai, aku Yuni," sapanya.

"Zamrun." Tersenyum.

"Dia tampan, Ni. Sikat terus," bisik Yuni di telinga Aini. mendengar itu Aini langsung menepuk keras pundak Yuni.

"Hanya teman, Yun. Teman," balas Aini.

"Eleh, teman nanti naik pelaminan juga." Aini dan Yuni tertawa. Zamrun yang tidak terlalu jelas mendengarkan omongan mereka hanya tersenyum.

***

Tidak hanya satu kebetulan yang terjadi. Ketika Aini keluar dari ruangan bioskop seseorang yang lain juga kebetulan disana. adalah Feri yang malam itu memutuskan pergi ke mall untuk guna mengunjungi temannya yang bekerja di salah satu toko elektronik di mall. Dia berencana mengambil spare part untuk dia memperbaiki komputer kasir Aini yang sudah butut. Tapi niatannya langsung hilang ketika menatap Aini yang tertawa pulas sambil memegang bahu Zamrun.