webnovel

Bab 4 Deklarasi Perang

Teman-teman lama Aini terus saja berdatangan. Pertama Feri, sekarang Zamrun.

"Maaf aku tidak ada di pemakaman waktu itu." Mereka berdua sedang duduk di salah satu kafe dekat dengan toko roti. Aini menyuruh Reva untuk mengatur toko sebentar, ia mengacungkan jempolnya diikuti senyuman merekah.

"Iya, tidak apa-apa. Lagi pula kau harus pergi ke Inggris untuk meeting penting." Aini menunduk.

Beberapa menit yang lalu mereka membicarakan kejadian beberapa bulan lalu. Ketika Aini ditinggal Bastian. Ketika Aini masuk ke dalam dunia kesedihan.

"Bastian adalah teman baikku. Aku tidak menyangka ia akan pergi secepat itu. Padahal di kantor ia baik-baik saja." Zamrun menggeram. Suaranya semakin serak.

Adalah Zamrun, satu dari sedikit teman Aini di Bandung saat itu. ia menumpahkan keluh kesah pada Zamrun ketika sedih. Menceritakan banyak hal padanya, termasuk sedikit banyak masalah keluarga kecil Aini dan Bastian.

Zamrun juga adalah kolega kerja Bastian di salah satu kantor arsitek terbesar di Bandung. Berteman lama sejak mereka kuliah di salah satu kampus ternama disana. Aini langsung dekat dengan Zamrun ketika pertama bertemu, lantaran ramah dan selalu tersenyum. Ketika mendengar curhatan Aini, Zamrun selalu saja mendengar dengan seksama dan mencari solusi terbaik.

"Oh iya, kenapa kau berkunjung ke Jakarta?" Aini merubah topik bicara, Bastian bukan topik yang enak dibicarakan sekarang.

"Aku mendapat klien yang tidak jauh dari sini. Jadinya, mungkin akan menetap di Jakarta selama beberapa minggu."

Aini mengangguk paham.

"Kita akan sering bertemu sekarang, Raini. Apalagi tadi setelah aku mencium aroma dari toko rotimu. Aku sudah memutuskan akan kesana tiap pagi. Menikmati sepotong roti isi kelapa segar setiap harinya." Mereka berdua tertawa.

Tidak lama setelah itu Aini memutuskan untuk kembali lagi ke toko. Tidak enak hati meninggalkan Reva sendirian disana mengurus para pelanggan yang datang.

Sampainya di depan toko sudah penuh oleh pengunjung. Berbondong-bondong orang keluar masuk. Aroma roti segar yang baru saja keluar dari oven tercium lezat sampai keluar. Ibu-ibu yang biasanya menggosip juga ada disana. Masih tebal saja wajah mereka, sudah setiap hari membicarakan hal yang buruk tentang Aini, sekarang malah membeli roti. Tapi kalau soal rasa roti, mereka tidak berani berkomentar apapun.

"Ah, syukurlah Bu Aini sudah kembali." Reva dari balik etalase menghampiri Aini. Ia bolak balik dari dapur ke etalase. Menaruh beberapa roti di tempatnya masing-masing.

"Hai, Anggraini." Ternyata dari meja kasir tampak Feri. Aini tidak punya ide sama sekali, apa yang Feri lakukan disana?

"Bu Aini, aku bisa menjelaskannya nanti." Reva paham raut wajah Aini.

Lebih dari dua puluh menit, Aini, Reva dan Feri mengurus pengunjung yang semakin ramai saja datang. Katanya ada penggalian jalan tidak jauh di depan sana. Jadinya macet, beberapa pengendera motor dan mobil memutuskan untuk singgah di toko roti Aini, juga di beberapa toko lainnya, mengganjal perut dengan seonggok tepung harum beraneka ragam rasanya.

"Jadi begini, Bu. Tadi mesin kasirnya rusak. Kebetulan Mas Feri ada disini, dia membantu memperbaikinya. Kalau tidak ada mas Feri, pelanggan bisa banyak sekali yang kecerwa." Reva menjelaskan apa yang terjadi ketika Aini bersama Zamrun di kafe.

Aini mengangguk paham. Keputusan itu adalah keputusan terbaik.

"Terima kasih, Fer. Berapa aku bisa membayarmu? Mesin itu memang sudah tidak bagus lagi, aku saja sering mengetuknya dengan keras agar lacinya terbuka." Aini menghampiri mesin kasir. Mememerhatikan.

"Tidak usah, Anggraini. Aku hanya melakukan pekerjaanku. Lagipula kantorku sudah cukup membayarku dengan menjadi tenaga IT disana." Feri melambaikan tangannya, tidak ingin dibayar.

"Tapi, kan kau sudah membantu banyak untuk hari ini." Aini bersikeras ingin membalas.

"Sudahlah, Bu Aini, Mas Feri ikhlas melakukannya. Lagipula kalau kita memanggil teknisi, bisa rugi beberapa ratus ribu kita nantinya." Reva berbisik di samping Aini.

"Sssstt…tidak boleh begitu, Rev. Kita harus menghargai setiap pekerjaan, ilmu itu mahal harganya." Aini menggoyangkan telunjuknya di depan Reva. Mulutnya langsung tersumpal.

"Kalau kau memang bersikeras, kau bisa membayarku dengan roti isi keju." Feri menyeringai.

"Tapi kan itu tidak sesuai dengan hasil kerjamu."

"Aduh, Anggraini, kau masih saja sama seperti dulu. Keras kepala sekali." Feri menghembus nafas pelan. "Baiklah, bagaimana kalau bayaranku bukan uang, tapi permintaan," imbuh Feri.

"Oke. Sebisa mungkin akan aku kabulkan."

"Berkencanlah denganku." Kalimat itu dengan tegas keluar dari mulut Feri. kalimat yang sudah lama ingin ia katakan. Kalimat yang sejak SMA terus saja bersarang di mulutnya. Kalimat yang ketika menghadiri pernikahan Aini berusaha ia kubur. Tapi sekarang, kalimat itu bangkit untuk menyelesaikan tujuan tuannya.

Aini terdiam. Mulutnya setengah terbuka. Sudah dua bulan ia tidak bersama dengan siapapun. Dua bulan untuk orang yang baru saja menjanda bagaikan dua abad. Kali ini, ada pria yang dikenalnya sejak SMA, mengajaknya kencan. Ia menunduk dalam. Terdiam.

***

Keesokan harinya.

Aini kembali dengan rutinitas tokonya. Rutinitas yang telah ia kerjakan selama dua bulan lebih lamanya. Apa jawabannya kemarin? Tidak ada. Aini terdiam lama ketika mendengar ajakan Feri, berbagai macam spekulasi muncul di kepalanya.

Setelah terdiam begitu lama, Feri akhirnya bicara.

"Aku tidak berharap kau menjawabnya sekarang, Anggraini. Tapi, aku tetap menginginkan jawaban tersebut," kata Feri sebelum pergi meninggalkan tokonya.

Kenapa Aini tidak menjawab? Simpel sekali. Ia tidak tahu apakah Feri itu hanya sebatas teman atau Aini menganggapnya sebagai pria pada umumnya. Aini tidak bisa menentukan itu lagi. Dua tahun lalu memang Aini menganggap Feri sebagai seorang teman dan sahabat. Tapi sejak kejadian sebentar di taman malam itu. ketika hati Aini dengan tulus menerima 'ciuman' Feri, ketika itu pula ide bahwa Feri itu adalah sahabatnya lenyap begitu saja.

"Morning, Raini, apakah kau punya roti isi kelapa yang segar?" pagi itu pula Zamrun datang ke toko roti, sesuai perkataanya kemarin.

Aini memperbaiki wajahnya yang lagi berpikir keras. Melayani pelanggan dengan sepenuhnya adalah motto tokonya.

Zamrun juga mengajak Aini duduk di kafe seberang. Tentu Aini dengan senang hati setuju. Ia senang sekali berbicara apapun dengan Zamrun, kembali meninggalkan Reva disana.

"Kau ingin membuka cabang baru?" tanya Zamrun setelah beberapa menit yang lalu membicarakan kemajuan bisnis toko roti Aini.

"Iya, rencana launchingnya akhir pekan ini. Tapi aku belum tahu bagaimana nantinya menarik pelanggan."

"Oh, come on, Raini. Toko rotimu adalah toko yang paling terkenal di jalanan ini. Seisi jakarta juga tahu kenikmatannya. Kalau-kalau kau membuka toko roti di ujung sumatra sana, semua orang akan membelinya. Aku pernah ke London beberapa kali, mereka tidak menyuguhkan roti senikmat ini." Zamrun tertawa.

Aini memperlihatkan pada Zamrun desain toko yang telah ia buat. Bertanya langsung pada ahlinya.

"Ini desain yang bagus. Rapi dan memudahkan akses pelanggan ke setiap jenis roti. Kau bisa menjadi arsitek yang hebat, sama seperti Bastian."

Ketika nama itu terucap, raut wajah Aini berubah. Nama itu punya efek tersendiri bagi Aini. Zamrun yang menyadari hal tersebut langsung mengubah topik.

"Hei, bagaimana kalau kapan-kapan kita jalan-jalan di Mall dekat sini. Berkeliling dan makan enak disana. Siapa tahu kau juga ingin menonton biskop."

"Itu ide yang bagus. Tetapkan saja tanggalnya. Kalau bisa setelah launching tokoku akhir pekan ini." Wajah Aini kembali berubah, tersenyum seperti sedia kala.

Setelah bercakap beberapa hal lainnya, Aini memutuskan kembali ke toko. Bercakap-cakap dengan Zamrun sebentar membuat dirinya sedikit terlupa ajakan kencan Feri.

Kebetulan yang mengejutkan. Di jalan mereka berdua bertemu dengan Feri.

"Anggraini, kukira kau tidak masuk kerja hari ini," seru Feri ketika melihat Aini.

"Hai, Fer. Aku tadi duduk di kafe bersama temanku dari Bandung. Zamrun, ini Feri, teman SMA ku yang dulu sering kuceritakan padamu ketika di Bandung. Ia jenius di bidang IT. Kuharap kau masih ingat cerita itu."

"Tentu saja aku ingat, Raini," balas Zamrun. "Hai, aku Zamrun Zabir." sembari menjulurkan tangannya

"Feri. Feri Chaiza," balasnya.

Bagaikan air dan api, aura mereka tidak ingin saling kalah mendominasi.

"Kalau begitu, aku pamit dulu, Zamrun, Feri." Aini menunduk. Tidak ingin meninggalkan lebih lama Reva di toko.

Sejenak, Zamrun dan Feri masih menatap.

"Jadi kau temannya Anggraini selama di bandung." Feri akhirnya memulai topik setelah beberapa detik hening.

"Dulu, memang iya. Tapi kurasa sebentar lagi akan berubah." Zamrun menyeringai. "Mulai sekarang, kau tidak perlu lagi menjaga Raini. Aku sudah ada disini." Zamrun langsung melangkah melewati Feri, bahu mereka beradu sedikit. Feri balik badan dan menoleh ke arah punggung Zamrun. Berharap bahwa Aini segera menjawab pertanyaannya.

Zamrun baru saja mendeklarasikan perang.