webnovel

Bab 3 Zamrun Zabir

Kejadian malam itu membuat Aini berada dalam bahaya. Juga membuat Aini terperangkap dalam satu hubungan yang tidak lagi ia inginkan.

Tepat pukul delapan malam, ketika toko roti sudah mulai ditutup di jalan protokol. Tepat ketika semua manusia memutuskan untuk beristirahat untuk kembali menyambut pagi esok hari. Tepat ketika itu, Feri berdiri di bawah pohon depan kedai roti Aini sembari mengotak-atik telepon pintarnya.

"Kenapa kau ada disini, Fer?" tanya Aini setelah menyapanya.

"Ee…tidak. Tadi aku kebetulan lewat, jadi lebih baik kita pulang bersama daripada sendirian." Feri tersenyum kaku, terbata-bata menjawab pertanyaan Aini.

Sejenak, sunyi.

"Kalau kau tidak keberatan bagaimana kalau kita jalan-jalan di taman. seperti dulu pas SMA." Feri menyeringai, takut kalau-kalau Aini menolak.

"Ya, why not?" Aini balas tersenyum.

Jalanan kota jakarta begitu indah ketika malam datang. Ketika siang, tidak usah tanya, polusi dimana-mana, kendaraan bertaburan di jalanan seperti semut yang siap masuk ke dalam kandang. Berbaris-baris.

Taman Cattleya, salah satu taman terindah yang ada di kota Jakarta Pusat. Luasnya sekitar 3 hektare. Namanya yang indah sangat mencerminkan seisi taman. Dihiasi dengan bunga-bunga, rumput hijau dan pepohonan yang rindang. Juga, sangat cocok untuk untuk para pengunjung yang ingin berlari-lari kecil karena taman ini dilengkapi dengan jogging track. Taman bermain anak-anaknya juga tidak kalah indahnya. Jalan setapak yang diapit dengan rerumputan hijau membuat pejalan kaki tidak bosan. Di satu sudut ada danau buatan yang memantulkan cahaya bulan di malam hari.

Kesanalah mereka berdua pergi malam itu. Feri masih ragu-ragu memulai percakapan, Aini juga tidak tahu mau berbicara apa. Memang sudah lama mereka berdua tidak bertemu, tapi topik nostalgia itu tidak keluar sama sekali.

Sejenak sunyi, hanya terdengar bunyi nyanyian serangga malam hari.

"Bagaimana hari-harimu di Bandung?" Feri memutuskan bertanya setelah keheningan yang sangat lama. Mencomot topik sembarang.

"Baik-baik saja. Disana lebih dingin dari Jakarta." Aini menjawab sebisa mungkin. Nyatanya, ia jarang sekali berkeliling kota tersebut. Bastian sibuk sekali dengan pekerjaannya. Pergi jam tujuh pagi, pulang jam sembilan malam. Begitu juga dengan akhir pekan, Bastian pasti ada meeting mendadak, atau beralasan ingin istirahat karena pekerjaan. Apa-apa karena pekerjaan, Aini hanya sebagai istri rumahan.

Feri mengangguk-angguk mendengar jawaban pendek Aini, tidak tahu harus membalas apa.

Lima menit mereka berdua melangkah di jalan setapak. Dihiasi dengan lampu taman yang berbentuk seperti petromax. Cahaya kekuning-kuningan itu menjadi warna yang tepat untuk menghiasi sepanjan jalan.

"Dulu, ketika kita taman ini selalu saja berlomba-lomba siapa yang paling tinggi untuk menggapai lampu taman, kan?" Feri teringat masa SMA nya bersama Aini.

Aini tertawa. Dulu memang ia lebih tinggi daripada Feri, jadinya selalu bangga bahwa tangannya hampir menyentuh ujung lampu taman. Feri selalu saja kesal melihat Aini yang tinggi hampir bisa menggapai lampu taman.

"Mau beradu lagi siapa yang bisa menggapai lampu taman?" tantang Feri.

"Ayo." Aini bersemangat.

Pertama Feri mencoba. Tidak perlu jinjit sekalipun Feri mudah sekali menggapai ujung lampu taman, bahkan tangannya menggapai kepala lampu. Kalau ia mau, bisa saja ia bergelantungan di tiang lampu. Setelah itu Aini mencoba, ia memang wanita yang tinggi. Lebih tepatnya, ia lebih tinggi dari wanita biasanya, 170 centimeter tingginya.

Aini bisa menggapai lampu tersebut. Tapi karena tidak mau kalah dengan Feri, ia berusaha menggapai kepala lampu yang lebih tinggi. Harus berjinjit. Jarinya hampir menyentuh ujung atas lampu sebelum akhirnya Aini kehilangan keseimbangan.

Aini jatuh bagaikan buku yang jatuh dari rak, kabar baiknya adalah Feri dengan sigap langsung menangkap tubuh Aini yang mengulai kearahnya. Tangannya tepat di punggung Aini, seperti sedang melakoni adegan dansa. Ikat rambut Aini terlepas, rambutnya jatuh terurai dengan lembut.

Feri menatap wajah Aini, matanya mengerjap-ngerjap. Bola mata coklatnya memantulkan cahaya lampun taman yang berada tepat diatas mereka. Momen itu adalah momen yang pas bagi Feri. Semakin detik berjalan, semakin dekat wajah Feri dengan wajah Aini, ingin ia menciumnya, karena momen tersebut adalah momen yang paling ia nantikan sejak SMA dulu.

Sayangnya, ketika wajah Feri sudah beberapa mili lagi dengan Aini. ketika Aini mulai menutup matanya, tanda bahwa ia juga menerima momen tersebut. ketika itulah Aini mulai teringat dengan masa lalu yang berusaha ia lupakan. Tangisan-tangisan lama yang ingin ia kubur. Aini kembali teringat dengan Bastian, ketika mereka berdua pertama kali kencan di taman. ketika pertama kali berciuman. Sekali saja ingatan itu muncul, saat itu pula Aini teringat dengan tamparan-tamparan tangan Bastian.

PLAK…. Aini reflek mendorong bahu Bastian. Nafasnya tersengal, mengingat momen itu seperti lari keliling taman lima kali.

"Maaf, Fer. Aku tidak bermaksud apa-apa." Aini memegang kepalanya. Berusaha menghilangkan memori-memori lama tersebut. Lantas kemudian berbalik badan dan berjalan keluar taman.

***

Kisah malam itu berakhir disana. Rutinitas pagi Aini kembali ke biasanya. Kembali membuka toko bersama Reva. Episode semalam itu sedikit demi sedikit ingin ia lupakan. Karena kalau ia mengingat apa yang terjadi di bawah lampu taman tersebut, ia juga akan mengangkat kembali memori yang sudah lama ingin ia kubur.

"Anggraini." Suara samar-samar itu terdengar di telinga Aini.

"Anggraini." Lagi.

Sejenak, Aini sadar. Menggeleng-geleng kepalanya. Ia tidak sadar kalau beberapa menit sebelumnya termenung menatap kosong layar komputer kasir. Tidak sadar kalau Feri sudah lima kali memanggilnya.

"Oh, hai, Fer." Tersenyum kaku.

"Roti isi kejunya satu."

Mereka berdua saling berusaha untuk melupakan kejadian semalam. Feri tidak ingin membuat suasana menjadi canggung. Juga, Aini tidak ingin masa lalu itu kembali teringat.

"Ini, Fer." Aini masih tersenyum kaku.

"Aa… terima kasih," balas Feri, tersenyum.

Sejenak, suasana menjadi sangat canggung. Dua insan ini sama-sama tahu harus membicarakan apa yang baru saja terjadi semalam. Feri ingin minta maaf, begitu juga dengan Aini. Reva yang berdiri tidak jauh dari mereka merasakan aura aneh, ia menatap heran.

"Tentang yang semalam…eumm…" akhirnya Feri memulai topik berat itu. "Aku tidak bermaksud apa-apa." ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Iya…a-a-aku juga tidak bermaksud apa-apa" Aini menunduk malu, wajahnya memerah.

Tidak ada yang salah semalam. Feri yang terlelap momen, Aini yang kembali melihat masa lalunya.

"Apakah ini benar toko ini milik Anggraini Sahara?" sekonyong-konyong ada seorang pria masuk ke dalam toko.

Aini sigap mengangkat wajahnya.

"Iya. Saya Aggraini Sahara," serunya.

Pria itu mendekat dan melepas kacamata hitamnya.

"Halo, Raini." Senyumnya.

Senyum Aini merekah. Feri yang berada di depannya menatap senyuman indah itu, seperti ada sesuatu yang tergores di hatinya. Beberapa hari yang lalu, ketika ia bertemu pertama kali dengan Aini, ia tidak menerima senyuman tersebut. Sekarang, entah siapa pria berjas hitam rapi di depannya, kulitnya putih bersih, rambutnya hitam mengkilap, disisir rapi, Aini tersnyum puas. Kalau dibandingkan dengan Feri, pria ini terlihat lebih tampan dan tinggi. Rambut ikal Feri pun tidak bisa dibandingkan dengan rambut lurus pria tersebut.

"Kau kah itu, Zamrun?" seru Aini. ia keluar dari belakang etalase, menyambut pria yang dipanngil Zamrun.

Feri menatap dari kejauhan, padahal baru saja ia ingin minta maaf dan menjelaskan apa yang terjadi semalam. Ia juga ingin mengatakan bahwa ia akan menjani hubungan yang lebih serius dengan Aini daripada sekedar teman.

Pada akhirnya Feri meninggalkan toko roti tersebut.

"Semoga kesempatan itu datang," batinnya.