webnovel

Bab 2 Teman Lama Jadi Cinta Baru

Tidak ada hal yang mengerikan terjadi malam itu. Rafael hanya menyapa Aini, setelah itu pesta reunian berlangsung seperti biasa. Berbicara banyak tentang masa lalu ketika remaja. Membahas kekonyolan-kekonyolan yang membuat memori-memori menggelitik kembali ke ingatan.

Yang Aini tidak sadar, ada bibit yang sudah ditanam dan akan tumbuh untuk beberapa lama.

"Bu, kenapa ni senyam senyum sendiri?" Reva menggoda Aini yang sejak tadi tidak berhenti senyum saat sedang menghitung uang di kasir.

"Tidak ada, Rev. aku hanya senang." Aini terkekeh. Tidak salah pilihannya untuk pergi ke acara tersebut. Sudah dua bulan ia tidak sesenang itu. bertemu teman-teman lama sejenak membuatnya lupa akan kematian Bastian.

Matahari sudah mulai menghujam cakrawala. Pelanggan yang datang sudah mulai sedikit, kalau malam memang tidak banyak yang mau membeli roti. Palingan hanya beberapa pelanggan yang memesan kue ulang tahun.

"Tolong roti isi kejunya satu." Suara tidak asing itu terdengar.

Aini menatap pelanggan yang datang, tersenyum.

"Sangat aneh untuk seorang sepertimu suka roti isi keju, Fer." Aini menyerahkan bungkusan roti.

"Memangnya untuk orang sepertiku roti apa yang cocok?" tanya Feri.

"Eemm…tidak tahu. Mungkin roti isi kelapa." Menjawab asal.

Feri terkekeh, lantas melangkah keluar setelah mengucapkan selamat tinggal.

"Bu, sudah sebaiknya kau mencari pasangan lagi." Reva sekonyong-konyong menghampiri.

"Apaan sih, Rev. Aku sedang tidak ingin menuju kesana."

"Yaelah, bu, umurmu hampir dua puluh empat tahun. Sudah punya penghasilan puluhan juta rupiah. Kalau masalah wajah, tentu ibu adalah orang paling cantik yang pernah kutemui. Lihatlah aku, umurku baru dua puluh dua, ingin sekali aku punya pacar. Ketika pulang kerja ada yang jemput, ketika sakit ada yang membelikan makanan. Ketika sedang galau tahu mau curhat ke siapa. Tapi, sayangnya tidak ada orang yang mau sama aku, bu." Reva menghela napas pelan.

"Tenang saja, Rev. semua akan ada waktunya. Tidak usah terburu-buru. Ikuti saja prosesnya, kalau kecepatan nanti banyak hal yang tidak berjalan secara natural."

Janda itu kembali teringat dengan masa lalunya. Pernikahan itu tidak pernah berjalan secara alami, terlalu terburu-buru. Hasilnya, banyak sekali kesalahpahaman hanya karena kesalahaan kecil.

"Dan juga, umur kita hanya beda dua tahun. Kenapa kau memanggilku 'bu' setiap saat?"

"Respek, Bu. Itu namanya respek." Reva menyeringai.

Reva adalah pegawai terlama di toko roti tersebut. Sejak dua bulan pertama toko dibuka, Reva mengambil pekerjaan paruh waktu ketika ia masih SMA, hingga sekarang menjadi pekerja tetap sembari kuliah. Juga ketika Aini pindah ke luar kota bersama Bastian, Reva ia amanahkan untuk mengatur semua keuangan toko.

Singkat waktu, malam pun tiba. Bulan dan bitang gemintang menyinari seisi desa. Aini berjalan kaki menuju desa yang tidak jauh dari tokonya. Sunyi. Bahkan suara serangga pun tidak terdengar. Aini berjalan sembari memeluk tubuhnya yang tidak tahan dengan dingin. Napasnya tersengal beberapa kali, sepertinya musim hujan akan segera datang.

"Jangan berteriak atau aku akan menarik pelatuk ini." Suara itu datang dari belakang Aini. Suara serak dari heningnya malam membuat kaki Aini tiba-tiba bergetar.

Aini mengangkat kedua tangannya, terdenga bunyi ekor pistol yang ditekan.

"Keluarkan semua barang berharga di dalam tasmu, dan ingat jangan bergerak!" Lelaki itu melangkah ke depan Aini, wajahnya memakai topeng hitam, hanya mata dan mulutnya yang kelihatan.

Aini mematung, melihat pistol tepat di depan matanya membuat kaki Aini mati rasa. Moncong pistol memang mengerikan, tapi yang lebih mengerikan lagi adalah masa lalu Aini dengan pistol. Ia ingat sekali ketika Bastian memegang pistol dan berteriak kencang di hadapannya. Ia bisa merasakan kembali momen-momen itu.

"CEPAT KELUARKAN UANGMU!" Pembegal tersebut berteriak.

Tubuh Aini semakin bergetar, pikirannya tidak lagi berada pada malam itu. Sekarang yang ada di kepalanya adalah apa yang terjadi sekitar dua bulan lalu.

"Ah, lama sekali kau." Pembegal tersebut menarik paksa tas yang ada di bahu Aini, membuatnya terjatuh di tanah. Tidak ada kalimat apapun yang keluar dari mulut Aini. wajahnya sudah pucat.

"Ternyata kau cantik juga. Tidak rugi aku bekerja malam ini." Pembegal tersebut terkekeh, suara seraknya terdengar jelas. Aini masih terduduk di lantai. Ia dengan kasar menarik Aini menuju tepi jalan, Aini mendesah pelan. Tidak berani sedikitpun ia berteriak. Mulutnya tertbungkam oleh masa sekarang dan masa lalu.

BAK…tubuh Aini terpelanting di tepi jalan balik semak-semak.

"Kau boleh tidur manis disana selagi abangmu ini puas, sayang," kata pria brengsek tersebut.

Aini pasrah, tidak punya pilihan untuk melawn. Air mata mulai mengalir di pipinya, tubuhya sudah bergetar kencang sejak tadi. Keringat ketakutan bercucuran dari sekujur tubuhnya.

Pria itu sudah membuka celananya, siap memperkosa Aini.

"Jangan berteriak atau kau akan menyesal seumur hidupmu." Suara lain terdengar dari belakang pria brengsek tersebut. Suara itu terdengar familiar di telinga Aini, Feri.

BUK…satu tinju melayang tepat di wajah pembegal. Terpelanting jauh. Darah segar mengalir di ujung bibirnya.

"Siapa kau, brengsek. Berani sekali menganggu kesenanganku. Akan kuhabisi—" Belum sempat kalimat itu selesai, Feri lansung merangsek maju.

BUK…satu tinju segar kembali melayang. Diikuti oleh pukulan-pukulan selanjutnya. Kenapa si pembegal tidak menggunakan pistolnya? karena itu adalah pistol palsu. Hanya untuk menakuti korban.

Lima menit sudah pukulan dan tendangan Feri melayang ke seluruh tubuh si pembegal. Aini menatap kengerian itu dari jauh.

"Anggraini, kau baik-baik saja?" Feri menghampiri Aini yang terduduk.

Aini mengangguk. Feri membantunya berdiri, wajahnya sudah pucat sejak tadi.

"Ayo, aku antarkan kau pulang. Aku sudah menelpon beberapa pemuda desa, mereka akan datang sebentar lagi. Si pembegal itu tidak akan bisa lari, aku sudah mengikatnya." Feri menyelimuti Aini dengan jaket kulitnya. Rambut Feri sama berantakannya seperti Aini.

Sepuluh menit kemudian mereka sampai di rumah Aini. Desa sepi sekali malam itu, tidak tahu apa alasannya.

"Kalau begitu aku akan pergi dulu mengurus pembegal tersebut. Kau bisa sendiri, kan?" kata Feri sesampai mereka di depan rumah Aini.

Feri berbalik badan sebelum akhirnya tertahan oleh Aini yang menarik lengan bajunya.

"Ada apa?" Feri menoleh ke belakang.

"Jangan… pergi," bisiknya kecil.

"Apa?" Feri maju lebih dekat.

"Jangan pergi. Aku takut." Kalimat itu terdengar jelas.

Feri menghela napas. Mengurungkan niatnya yang akan membantu para pemuda desa mengurus si pembegal. Ia masuk ke dalam rumah bersama Aini, memegang dua pundak Aini yang masih bergetar sejak berjalan tadi. Wajahnya juga tidak berhenti pucat.

***

Paginya. Wajah Aini langsung memerah ketika melihat wajah Feri yang tertempel di ujung kasur tidurnya. Ingatannya tentang tadi malam sedikit samar-samar. Ia menutup mulutnya yang ingin berteriak ketika wajah yang ia lihat pertama kali adalah wajah Feri.

"Fer." Aini menggoyang pelan bahu Feri. "Feri," panggilnya lagi.

Mata Feri terbuka sedikit, mengerjap-ngerjap.

"Jam berapa sekarang?" ia langsung melihat jam tangannya. "Oh, tidak, aku akan terlambat kerja hari ini." Feri tidak tahu menahu di situasi apa ia sekarang. Tidak peduli ada Aini di depannya, sekonyong-konyong ia langsung berlari keluar.

Aini setengah membuka mulut. "Apa yang baru saja terjadi?" gumamnya.

Tentu saja hari itu tidak akan berjalan seperti biasa baginya. Semalam ada perampok yang mengambil paksa tasnya dan ingin memperkosanya. Paginya ia baru sadar kalau ada laki-laki lain yang masuk ke dalam rumahnya dan bermalam disana. Memang mereka tidak melakukan hal 'mengerikan' lainnya. Tapi episode itu ditutup dengan Feri yang panik terlambat kerja. Aini tersenyum tipis ketika mengingat kembali sepotong kisah tersebut.

Sayangnya, pagi itu ada ibu-ibu yang melihat Feri keluar dari rumah Aini. Tidak butuh waktu lama kabar tersebut tersebar ke warga lainnya.

"Eh, jeng, sudah habislah pangeran kampung ini direbut oleh janda itu." Ibu-ibu yang selalu memulai gosip mencomot topik.

"Iya, loh. Tadi pagi, Feri anak pak tito kelur dari rumah si jand. Baru aja dua bulan ia ditinggal suaminya, sudah berburu laki-laki lain." ibu-ibu yang lain menimpali.

"Bener tuh. Kayaknya nafsunya tinggi. Boleh jadi suaminya dulu tidak sanggup memuaskannya." Kali ini ada ibu-ibu ketiga yang sudah punya bahan dan referensi yang sama.

Ibu-ibu yang lain mengangguk.

"Ehem…ehem." Reva menghampiri Aini yang sedang duduk di kasir. "Ada yang baru saja ditolong pangeran nih semalam," godanya.

Aini menatap Reva, ia sadar kabar itu sudah sampai pada Reva yang bukan penduduk kampung. Tapi, Reva menanggapi dengan caranya sendiri, bukan malam melebih-lebihkan kabar yang belum sempurna itu.

"Sudahlah, Rev, tidak ada apapun yang terjadi." Aini berusaha menghiraukan Reva. Bukan bagian ia ditolong oleh Feri yang ingin ia lupakan. Tapi bagian ketika pikirannya kembali ke kejadian masa lalu itu.

"Weleh, weleh, siapa sih pangeran tersebut?" Reva tidak berhenti menggoda.

Aini hanya membalas dengan senyum.

"Anggraini, boleh aku pinjam kunci rumahmu? Sepertinya hanphone ku tertinggal disana." sekonyong-konyong Feri datang.

"Ehhh," Reva berseru kencang. Ia baru tahu kalau sang pangeran adalah Feri.

Tidak hanya Reva yang menatap Aini, seisi karyawan toko juga ikut.

Aini menoleh kanan kirinya., ia kira Reva sudah tahu sampai selesai apa yang terjadi semalam. Ini buruk, ia bisa jadi bahan bulian Reva selama satu minggu.

"Kenapa Anggraini? Ada yang salah?" Feri tidak tahu menahu di situasi apa ia sekarang.

Aini tersenyum dan tertawa tipis, sepertinya ini menyenangkan.

Bibit itu sudah mulai tumbuh. Pertanyaan selanjutnya, apakah hanya satu bibit yang hanya akan disiram Aini?