webnovel

Bab 10 Perang Antar Negara

Perasaan itu terus tumbuh tanpa Aini sadari. dia yang selama ini selalu insecure karena statusnya sebagai janda, kini mulai sedikit percaya diri. Apalagi setelah mendengar kalimat-kalimat dari Zamrun.

"Nanti malam kau kosong, Raini?" tanya Zamrun setelah menerima pesanan rotinya.

"Kosong." Aini menjawab cepat.

"Mau nonton film baru dari aktor favoritmu?" Zamrun memperlihatkan foto dari smartphonenya yang membuat Aini langsung tersenyum.

"Ayo," ucapnya dengan ceria.

Kemudian Zamrun pamit keluar.

"Bu, siap-siap saja dari sekarang. masalah toko serahkan saja padaku." Reva menghampiri Aini yang menatap punggung Zamrun yang meghilang.

"Siap-siap apa, Rev?" tanya Aini belum paham.

"Malam ini ibu akan kencan, jadi sebaiknya siap-siap dari sekarang. Persiapan yang matang itu membuat hasil yang matang juga, Bu." Reva menarik lengan Aini, membawanya ke pintu keluar.

"Rev, apa-apaan ini?" Aini melawan.

"Tidak usah banyak lawan, Bu. Saya ingin yang terbaik buat ibu. Walaupun sedikit sakit hati karena Pak Zamrun tak membalas pesan saya beberapa hari ini. Tapi demi ibu, saya akan mengorbankan apapun. Asalkan gaji saya dinaikkan." Reva terkekeh lantas sedikit menunduk, mempersilakan Aini untuk keluar.

Aini tidak paham, tanpa sadar keluar dari toko miliknya sendiri.

Tidak banyak melawan Aini pulang ke rumah, membuka lemari baju dan memilih pakaian terbaik untuk dia pakai malam ini, dan bodohnya itu masih pagi.

Entah berapa jam Aini memilih baju terbaiknya, tidak terasa matahari mulai tenggelam. Aini bahkan belum memilih pakaian apapun. Ditambah lagi dia belum bersih-bersih, baru sadar ketika membuka smartphone nya dan melihat jarum sudah di angka tujuh. Bergegas bersih-bersih dan menyolek diri, lantas keluar dari rumah melewati beberapa rombongan ibu-ibu. Aini tersenyum ramah, sudah lama juga dia tidak melihat Bu Asih dan kawanannya.

"Cantik kali ya si janda itu." salah satu teman Bu Asih terkesima ketika melihat Aini yang lewat.

"Kita dulu waktu muda juga cantik begitu, jeng." Bu Asih membalas, tidak mau kalah.

"Tapi, kira-kira mau pergi kemana ya si Aini?" tanya ibu satunya lagi.

"Palingan juga lagi berburu laki di luar sana. Dengan postur tubuh seperti itu mudah saja baginya mendapat laki diluar sana. Apalagi laki yang banyak duitnya, pasti digoda sama si Aini, mah." Bu Asih kembali bertitah, tidak ada ibu lain yang berani membalas.

Ibu -ibu yang lain mengangguk.

Aini menunggu mobil di tepi jalan, hingga beberapa menit kemudian sedan hitam metalik menepi.

"Sudah menunggu lama, Tuan Putri?" sapa Zamrun setelah membuka jendela.

Aini hanya membalas senyum lantas masuk ke dalam mobil.

Beberapa menit kemudian mereka sampai di salah satu mall terdekat. Keluar dari mobil dan langsung menuju bioskop. Dua jam kemudian keluar dari ruangan dan Aini tidak berhentinya mengoceh tentang aktris favoritnya, Meryl Streep.

"Meryl Streep tidak pernah mengecewakan," seru Aini sembari menatap langit ruangan. "Yakin sekali aku tahun ini dia akan menyabet Penghargaan Oscar untuk ketiga kalinya."

Zamrun tertawa tipis, mendegar ocehan Aini sudah cukup menghiasi malamnya itu.

Keluar dari bioskop dilanjutkan makan malam di salah satu restoran diluar mall dengan suasan jalanan yang ramai oleh penggunan kendaraan.

"Bagaimana kabarmu, Raini?" tanya Zamrun, mencomot topik sembarang.

"Eh, baik-baik saja." Aini tidak paham maksud pertanyaan Zamrun. "Kok tiba-tiba bertanya kabar?"

"Mana ada tiba-tiba, kan sudah lama aku tidak bertanya kabar. Jadi sudah sepantasnya aku bertanya kabar, bukan begitu?"

Sejenak, Aini memikirkan maksud kalimat Zamrun, lantas mengangguk.

Tiga puluh menit kemudian mereka lahap dalam atmosfir makan malam. Steak favorit Aini.

"Kau menikmati malam ini?" mereka berdua sudah masuk dalam mobil.

"Ya, aku sangat menikmatinya." Aini tersenyum lebar.

Mobil melaju di kecepatan standar, membelah jalan jakarta yang dipenuhi kerlap kerlip lampu jalanan.

"Bagaimana kalau minggu depan kita jalan-jalan lagi, tentunya di mall yang berbeda," ungkap Zamrun di perjalanan pulang.

Aini menunduk, dia masih ragu-ragu dengan keputusannya yang bersangkutan dengan Zamrun.

"Kalau kau tidak mau, tidak usah dipaksakan, Raini. kan seperti yang kubilang, langkah demi langkah," lanjut Zamrun setelah melihat ekspresi Aini.

"Tidak, Zam. Aku mau, tapi apakah ini tidak apa-apa? Aku mengganggu waktu kerjamu," ucap Aini lembut.

Zamrun mendesah pelan. "Pekerjaanku baik-baik saja dan tidak terganggu, Raini. Kau tidak perlu khawatir."

Mendengar itu Aini kembali tertunduk.

"Kuanggap diammu adalah setuju, Raini." Zamrun tersenyum. Beberapa menit kemudian dia sampai di depan rumah Aini, turun dan berpamitan.

***

Pagi harinya.

"Bagaimana, bu, kencan semalam?" Reva memasang wajah penasaran.

"Apaan sih, Rev?" Aini melambaikan tangan, tidak ingin membahas.

"Eleh, jangan malu-malu gitu, bu. Kalau ibu malu-malu nanti Pak Zamrun saya rebut, loh." Reva tertawa. Aini juga ikutan tertawa. Beberapa menit kemudian yang dibicarakan muncul.

"Halo, Raini." Zamrun dengan setelan jas lengkap masuk dari pintu masuk, rambutnya disisir rapi.

"Hai." Aini langsung menyerahkan bungkusan roti yang sudah dia bungkus.

"Lah, kau ingin aku cepat-cepat keluar dari sini?" ungkap Zamrun ketika menerima bungkusan.

"Eh," Aini salah tingkah.

"Tidak usah panik, Raini. Aku hanya bercanda." Zamrun balas tersenyum.

Beberapa detik kemudian Zamrun keluar dari toko. Berpamitan dengan Aini dan Reva.

"Zam, tunggu." Kalimat itu menghentikan langkah Zamrun, berbalik badan, Aini berlarian kecil menuju pintu keluar.

"Aaa…kau mau datang nanti malam ke acara makan-makan karyawan?" Aini menunduk, malu-malu bertanya.

"Siap, aku akan datang." Zamrun kembali melangkah.

***

Malamnya Aini berdiri di pintu restoran, meninggalkan para karyawan di dalam restoran.

"Rev, bos dimana?" tanya Syafri yang baru balik dari kamar mandi.

"Di luar." Reva menunjuk pintu keluar.

"Kenapa?"

"Tunggu pangeran."

Syafri mengangguk-angguk paham, tidak bertanya lagi.

Lima menit menunggu di pintu masuk akhirnya yang ditunggu datang. Zamrun keluar dari pintu mobil menuju pintu masuk.

"Kau sudah menunggu lama, Raini?" sapa Zamrun.

"Enggak, baru beberapa menit, kok." Aini balas tersenyum.

"Ayo, masuk." Zamrun melangkah masuk.

"Tunggu dulu, ada satu orang lagi."

Zamrun berhenti, siapa satu orang lagi? batinnya.

Semenit berlalu, dari kejauahan tampak seorang laki-laki berpakaian kemeja rapi datang.

"Hai, Fer," sapa Aini.

"Hai, Anggraini. Terima kasih atas undangannya." Feri tersenyum ramah menatap Aini dan melipat senyumnnya ketika menoleh ke arah Zamrun.

Zamrun tidak peduli dan masuk dalam restoran, diikuti Aini dan Feri.

Aini langsung duduk di salah satu kursi. Feri dan Zamrun berebut kursi disamping Aini. saling dorong-dorongan.

"Maaf, kawan, tapi kursi ini sudah ditandai milikku," ucap Zamrun sembari tangannya memegang kursi di kanan Aini.

"Aku tidak paham maksudmu, terkahir kali yang kutahu, restoran ini tidak ada booking kursi. Dan bisa kupastikan kalau kursi tersebut tidak ada namamu." Feri tidak mau kalah. Mereka berdua saling tatap tajam.

Aini yang melihat Feri dan Zamrun yang bertengkar.

"Sudahlah, jangan bertengkar seperti anak kecil," tatap Aini galak. Feri dan Zamrun memperbaiki baju mereka.

"Zam, kau bisa duduk di samping Reva. Dan Feri kau bisa duduk di samping Syafri." Aini menunjuk dua kursi yang bersebrangan dengannya.

"Itu berarti kami duduk bersampingan?" tanya Zamrun sembari melihat dua kursi tersebut.

"Iya, supaya hubungan kalian leibih baik." Aini tersenyum ramah, Zamrun dan Feri tidak bisa membantah.

"Malam ini sepertinya akan terjadi perang antar negara api." Reva yang melihat tiga orang tersebut menghela nafas panjang.

"Perang negara api?" Syafri mengernyitkan dahi, tidak paham.