Ibu sedang menyisir rambut Juju yang baru saja diikat dengan rapi. Mereka berdua sedang berada di kamar mandi untuk mengganti pakaian Juju dengan sebuah dress berwarna putih, bukan gaun pengantin yang seharusnya ia kenakan di hari istimewa ini. Tapi hanya dress sederhana dari bahan brukat yang biasa Juju kenakan saat pergi ke acara tertentu, mungkin pesta ulang tahun sahabatnya.
Apa mau dikata, pernikahan ini terjadi secara mendadak ketika kakeknya yang saat ini sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit memperkenalkan sahabatnya (yang juga kakek-kakek) dan menceritakan janji mereka untuk menikahkan keturunan mereka. Karena anak mereka masing-masing laki-laki, maka perjodohan itu turun ke generasi berikutnya yaitu Juju dan Prayuda, cucu dari sahabat kakeknya itu.
Meski awalnya terjadi perdebatan dengan perjodohan ini, tapi karena kondisi kakek yang semakin melemah dengan keinginan besarnya dan sahabatnya yang juga memaksa, akhirnya Juju dan orang tuanya menyetujui pernikahan ini.
"Siapa namanya, Ma? Om-om itu?" Tanya Juju. Kemarin adalah pertama kalinya Juju melihat pemuda yang dijodohkan dengannya, dan pertama kalinya ia mendengar niat kakeknya untuk menikahkannya dengan pria yang belum dikenalnya bahkan memiliki jarak usia yang berbeda jauh dengannya.
"Prayuda. Dan dia belum jadi om-om, masih 28 tahun, Ju. Dia masih cukup muda koq!" Jawab ibu lembut berusaha menenangkan hati anaknya.
Sebenarnya, ibunya lebih terluka oleh pernikahan ini. Ia tidak menyangka akan melepaskan anaknya menjadi istri seorang pemuda yang juga belum dikenalnya secara mendadak. Seharusnya masih banyak hal yang perlu dipelajari Juju untuk menjadi istri yang baik, tapi ia dipaksa untuk menerima tanggung jawab itu secepat ini. Bersyukur, ibu masih diberi waktu tiga tahun untuk mempersiapkan Juju sebelum mereka menjadi suami istri seutuhnya.
Ya, orang tua Juju menerima pernikahan ini dengan syarat Juju harus tinggal bersama mereka sampai ia berusia 18 tahun dan pernikahan ini harus dirahasiakan agar Juju bisa melanjutkan sekolahnya ke tingkat SMA.
"Umurnya lebih tua 13 tahun dariku, Ma...", Juju mulai mengeluh. Ia berbicara pelan, tak ingin mereka yang berada di luar mendengar. "Dia sudah punya kumis!"
Ibu tertawa kecil mendengar alasan anaknya. Juju sejak duly memang tidak menyukai pria dengan bulu di wajahnya. Bahkan ayah Juju dipaksanya untuk mencukur kumis dan jemggotnya setiap hari.
"Anak SMA juga banyak yang punya kumis koq ah!" Jawab ibu. "Tapi... Prayuda memang lebih tua, dan lebih dewasa dari kamu, karena itu... Juju harus belajar bersikap dewasa ya... Karena Juju akan menjadi istrinya, Juju harus belajar untuk menjadi istri yang baik yah...", ibu membalik tubuh anaknya, dan meremas bahunya.
"Aku takut, Ma...", rengek Juju. Ia tidak menemukan kata lain untuk menjelaskan perasaannya saat ini. Meski pemuda di luar itu terlihat tampan dan mapan, ia sama sekali tak mengenalnya.
"Nggak apa... Juju anak yang baik, makanya menuruti kemauan kakek kan? Wajar Juju takut, tapi setelah menikah, Juju belum tinggal sama dia, masih sama Ibu dan Ayah koq... Setelah Juju dewasa, Juju pasti sudah nggak takut lagi...", kata-kata ibu selalu menenangkan Juju.
Beberapa saat kemudian akhirnya Juju keluar dari kamar mandi. Ia sudah mengganti bajunya dan merapikan diri. Ibu membubuhkan sedikit make up-nya untuk memberi kesan momen istimewa ini.
Kamar pasien VIP rumah sakit ini menjafi sedikit sesak karena kehadiran beberapa orang. Selain kakek yang hanya bisa berbaring di ranjang pasien, ada ayah Juju, seorang kakek lain yang adalah sahabat kakek Juju yang juga datang untuk menagih janji masa muda mereka, lalu seorang pemuda dengan kemeja berwarna merah maroon dan celana hitam. Juju bahkan bisa melihat sepatu kulit yang dipakai pemuda itu terlihat licin dan mengkilat. Ia adalah orang yang tahu cara berpenampilan. Pemuda itu hanya sedikit menoleh pada Juju, tapi tidak menatap wajah Juju.
Selain mereka, seorang pendeta dengan jubah hitam sudah siap memulai ritual pernikahan. Seorang dokter dan perawat turut hadir sebagai saksi pernikahan.
Mereka menunggu Juju yang melangkah menghampiri ranjang pasien. Pernikahan ini memang dirancang untuk kakeknya. Juju pun berdiri tepat di samping Prayuda, nampak jelas perbedaan tinggi badan mereka. Juju hanya setinggi lengan atas Prayuda.
"Baik, karena semua sudah hadir, kita akan melangsungkan pernikahan ini. Acara akan dilakukan dengan singkat agar bapak dapat segera beristirahat...", pendeta memulai acara. Dengan sedikit nasihat pernikahan dan ritual tukar cincin, Juju dan Prayuda mengucapkan janji pernikahan mereka. Akhirnya keduanya sah sebagai suami istri. Meski menerima ucapan selamat dari dokter dan perawat, pasangan pengantin baru itu sama-sama hanya bisa tersenyum masam.
***
Hari sudah agak siang, pendeta sudah lama pergi. Tapi orang tua Juju masih membahas berbagai hal dengan sahabat kakek dan suami Juju, Prayuda. Sementara Juju tidak ingin tahu apa yang mereka bicarakan, ia memilih duduk di samping ranjang kakek.
"Ju... Apa kamu marah sama kakek?" Tanya kakek di sela nafasnya yanh berat.
Juju yang sedari tadi menundukkan kepala berusaha tersenyum dan menggeleng kepalanya pelan.
"Maaf... Kakek tahu kamu berat menerima ini, tapi kakek yakin kamu akan bahagia...", lanjut kakek. "Dia pemuda yang baik... Juju juga anak yang baik... Kalian cocok...".
Juju tidak menjawab perkataan kakeknya. Meski masih belia, Juju tahu sakralnya sebuah pernikahan. Dan membangun rumah tangga, tak semudah mencocokkan sepatu dengan pakaian. Juju paham itu karena bagaimana pun ia tahu kedua orang tuanya saling mencintai, kadang ia bisa mendengar pertengkaran di antara mereka.
"Sekarang hutang kakek sudah lunas, kakek bisa beristirahat dengan tenang... Kakek sangat berterima kasih dengan Juju... Kakek janji, Juju akan bahagia...", itu adalah kalimat terakhir yang kakek ucapkan sebelum mesin yang terhubung ke tubuhnya mulai mengeluarkan bunyi aneh. Mendengar itu, ayah dan ibu bergegas menghampiri kakek, mereka semua terlihat panik, mungkin karena terpengaruh bunyi sendu yang dikeluarkan mesin tersebut. Ayah bahkan memencet tombol panggilan yang ada untuk memanggil perawat.
Semua masih dalam kepanikannya. Juju yang bertubuh kecil hanya bisa tersingkir dari sisi ranjang. Ia mengerti apa yang terjadi di hadapannya. Tapi untuknya yang masih belia, tidak ada yang bisa ia perbuat selain meneteskan air mata.
***