webnovel

Swords Of Resistance: Endless War [Indonesia]

Sebuah kisah fantasi di Alam Semesta paralel tentang pertarungan politik dari para Raja dan Penguasa. Dimulai dari peperangan, intrik politik, hingga drama kehidupan. Cerita ini hanya fiksi belaka. Kesamaan nama tokoh, tempat, kejadian, dan sebagainya hanyalah kebetulan dan atau terinspirasi dari hal-hal tersebut.

VLADSYARIF · ファンタジー
レビュー数が足りません
99 Chs

Bab 20, Mereka Tidak Seburuk Yang Aku Pikirkan

Puluhan orang tengah berpesta diiringi dengan musik dengan ketukan dan irama yang sangat enerjik. Tua-muda, lelaki-perempuan berkumpul menjadi satu di sebuah diskotik di Kota Esslingen am Neckar. Tidak peduli apapun agamamu, tidak peduli apapun warna kulitmu, tidak peduli apapun etnismu, dan tidak peduli apapun ideologi politikmu. Semuanya berjoget dengan penuh semangat.

Culture Club Esslingen am Neckar merupakan salah satu Klub malam terbesar di Kota Esslingen am Neckar, di mana Klub ini selalu dikunjungi oleh Penduduk Lokal, Mahasiswa, hingga para Migran dari luar Swabia.

"Hari ini jauh lebih ramai dari sebelumnya," kata seorang Lelaki Kurdi bernama Massoud Salahudin.

"Tentu saja, setiap akhir pekan selalu ramai. Namun seperti yang Massoud katakan sebelumnya. Memang hari ini jauh lebih ramai daripada sebelumnya. Aku suka hari ini," kata salah seorang Perempuan Magyar bernama Alma Csilla.

"Ayo semangat. Berdansa mengikuti alunan musik yang enerjik, pertanda masa muda yang sangat membara," imbuh seorang Lelaki Jerman berparas tampan dengan matanya yang berwarna biru.

Seorang Lelaki berpenampilan berandal dan berkepala botak pergi meninggalkan kerumunan para pengunjung klub yang tengah berdansa. Dia meninggalkan sebuah tas di bawah kursi meja bar.

Lelaki berkepala botak itu keluar dari bar bersama dengan para pengunjung bar lainnya dari bar yang penuh dengan orang menuju ke sebuah minimarket yang terletak seratus meter dari klub tersebut.

Ketika dia memencet ponselnya, tas yang dia tinggalkan di dalam bar tersebut meledak. Ledakan tersebut begitu besar dan membunuh sebagian besar orang yang berada di dalam klub tersebut dan melukai yang lainnya.

Tobias Rathjen terlihat santai berjalan ke kasir sambil membawa beberapa kaleng heineken, dua bungkus roti tawar dan sebungkus sosis.

[Tobias Rathjen, seorang Neo-Nazi yang merupakan pelaku penembakan Hanau pada tanggal 19 Februari 2020.]

Kasir tersebut terlihat ketakutan ketika mendengar sebuah ledakan dari arah utara.

"Aku tahu kau ketakutan akan serangan teroris. Namun aku mohon tenanglah. Percayalah pada Pemerintah kita. Mereka akan melindungi kita dari para teroris yang terkutuk itu." Tobias melontarkan sebuah kalimat untuk menenangkan lelaki muda yang berada di depannya.

Joachim Bauer, namanya. Dia tidak tahu bahwa Lelaki yang ingin membayar barang belanjaan di hadapannya adalah seorang teroris neo-nazi.

Mendengar perkataan dari Tobias. Pemuda itu berusaha untuk tetap tenang walau jauh di dalam lubuk hatinya dia sangat ketakutan.

"Semuanya jadi sepuluh schilling delapan puluh groschen," kata Pemuda berkacamata itu.

Tobias memberikan dua lembar uang, yang satu senilai sepuluh schilling dan satunya lagi senilai dua schilling.

"Ambil kembaliannya untukmu," kata Tobias segera pergi meniggalkan minimarket tersebut.

"Bagaimana jika didonasikan?" Joachim hanya terdiam menatap kosong di depannya, ketika Tobias sudah pergi meninggalkan tempatnya.

Suasana terasa mencekam dengan banyaknya suara sirine Mobil Ambulans dan Mobil Polisi menuju ke lokasi ledakan.

Kota Esslingen am Neckar kini sedang berduka.

.

.

Minggu pagi yang kelabu setelah semalma terjadi aksi terorisme di Kota Esslingen am Neckar.

Kanselir Wolfgang Albert dari Stuttgart, segera pergi menuju ke Kota Esslingen am Neckar untuk menyampai berita duka langsung dari lokasi kejadian. Sang Kanselir berbadan gendut ditemani dengan istrinya menaruh sekuntum bunga bakung berwarna putih sebagai bentuk penyampaian rasa duka cita yang mendalam.

"Duka Swabia adalah duka Eropa. Luka Swabia, adalah luka Eropa," katanya. "Terorisme adalah hal terburuk yang ada di dunia yang hanya dilakuken oleh para pengecut dan pecundang. Ketahuilah semuanya, bahwa aksi terorisme ini tidak ada kaitannya dengan Agama atau etnis apapun. Siapapun bisa menjadi korban terorisme, tidak peduli dia itu beragama atau atheist dan berkulit putih atau berkulit hitam. Aku meminta tolong kepada seluruh Rakyat, Tentara, dan Polisi Swabia untuk bersatu melawan teroris, dan melindungi Swabia tercinta dari ancaman teroris."

Orang-orang bertepuk tangan mengapresiasi pidato dari Kanselir Wolfgang.

Para Pemimpin Negara, baik dari North Atlantic Alliance maupun Collective Security Organization menyampaikan rasa duka mereka untuk Rakyat Swabia, khususnya Orang-orang tak berdosa yang menjadi korban terorisme. Meskipun kedua belah Blok tersebut memiliki hubungan yang panas, namun untuk masalah seperti ini, mereka sepakat untuk mengesampingkan urusan politik dan ideologi demi terwujudnya perdamaian di kawasan.

.

.

Maximilian, Beatrix, Charla, Charlemagne, dan Athena tengah menaruh bunga lili putih di depan Kantor Duta Besar Swabia untuk Prussia.

"Meskipun kita memiliki hubungan yang buruk dengan mereka. Namun kita perlu berduka cita atas apa yang terjadi tadi malam," kata Maximilian dengan nada bicara yang rendah. "Aku harap kita bisa bersahabat dan bersama-sama memberantas radikalisme."

"Perkataanmu sungguh bijak, jadi wajar jika Ayah memilihmu untuk menjadi Stadtholder selanjutnya," timpal Beatrix.

"Di saat ada yang berduka, kita harus menyampaikan kalimat yang tidak menyinggung perasaannya. Meskipun dia adalah musuh. Namun kita harus bersikap bijaksana," balas Maximilian dengan kalimat yang bijaksana.

"Kau berkata seperti itu, padahal waktu perang kau membunuh musuh dengan brutal," celetuk Athena menyeringai tipis sambil melirik ke arah diri Maximilian.

Maximilian menjawabnya dengan santai, "Itu dalam situasi perang dan bukankah kau menikmatinya juga."

"Yah, namanya juga perang. Wajar jika aku menikmatinya. Lagian hanya dua pilihan, membunuh atau dibunuh," balas Athena dengan santai.

"Kalian berdua itu seperti anak kecil saja. Tiada hari tanpa bertengkar," ungkap Charlemagne.

"Diam, kau!" teriak Maximilian dan Athena secara bersamaan.

Beatrix segera menarik kakaknya pergi meninggalkan kerumunan orang, sedangkan Maximilian tidak memberikan perlawanan.

"Kau memang kakak yang bodoh, yang selalu ribut karena hal sepele dengan Athena. Itu terlihat memalukan?" ungkap Beatrix akan kelakukan menyebalkan kakaknya tersebut. "Kau terkadang tidak ada bedanya dengan ayah dan ibu."

"Jangan terlalu dipikirkan," kata Maximilian. "Lagian pertengkaran itu adalah bukti betapa akrabnya kami. Aku juga sadar bahwa marahmu kepadaku sebagai bentuk kepedulian seorang adik yang melihat kedua saudaranya bertengkar di tempat umum, di mana keadaan sedang berduka. Aku minta maaf jika membuatmu sedikit kesal karena tindakan kami berdua di depan umum."

"Aku bisa memakluminya. Hanya saja, sebagai Adik-mu. Aku hanya ingin mengingatkan kakakku yang kadang bertingkah konyol," ungkap Beatrix dengan ekspresi kesalnya yang membuat dirinya terlihat semakin manis.

"Terima kasih atas kepedulianmu, Bea."

.

.

Tobias Rathjen tengah berolahraga mengangkat beban di dalam kamarnya yang dinding kamernya dipenuhi dengan poster dari seorang Lelaki berkumis kotak, Wolfgang Hitler. Setelah selesai mengankat beban, dia berdiri di foto sang Fuhrer dan memberikan salam ala Nazi.

Tobias keluar dari dalam rumahnya untuk bekerja sebagai seorang Pedagang Hamburger di Kota Esslingen am Neckar. Dia melayani dengan ramah dan baik kepada para pembeli. Hamburger buatan Tobias dikenal sangat enak dan lezat.

"Hamburger buatanmu memang yang terbaik jika dibandingkan dengan yang lain, terlebih kau bisa menyajikan sebuah daging dengan sangat sempurna," puji seorang Lelaki berambut pendek berwarna merah kecoklatan dengan pakaian yang mencolok, yang sebenarnya adalah seorang Perempuan sedang menyamar. Dia adalah anggota Stasi yang bertugas di kawasan Swabia.

"Terima kasih atas pujiannya," kata Tobias dengan senang hati.

"Aku memujimu karena rasanya memang lezat," jelas Perempuan itu.

Lucia Tischler namanya. Pasca aksi terorisme di Esslingen am Neckar, dari Stuttgart dia pergi ke Kota ini untuk mencari tahu tentang aksi terorisme tersebut.

"Dia memiliki aura yang berbeda, ciri khas kaum Neo-Nazi. Aura ini sama seperti dengan beberapa Orang yang aku temui di sini. Dengan berbisnis, mereka menggunakan uang itu untuk mendanai aksi mereka," gumamnya. "Oh, sepertinya dia tengah memerhatikan diriku."

Tobias menatap punggung Perempuan itu dengan tatapan penuh waspada.

"Aku memiliki firasat buruk tentang orang itu dan aku rasa aku harus segera menghabisinya sebelum terlambat."

Tobias menghubungi beberapa rekannya dan meminta bantuan mereka untuk membuntuti Lucia Tischler.

Lucia Tischler tengah berjalan menuju ke sebuah minimarket, sedangkan dari jauh tiga orang lelaki yang berjalan mengikutinya.

Sebagai seorang dengan kemampuan supranatural, Lucia Tischler bisa merasakan bahaya, dan ancaman yang tengah mengarah ke arahnya. Meskipun begitu, dia berusaha untuk tetap tenang dalam menghadapinya.

"Sepertinya mereka bertiga disuruh oleh Orang itu," pikirnya. Lisa memasuki minimarket tersebut dan berjalan ke arah showcase untuk membeli beberapa minuman kaleng, sedangkan mereka bertiga mempercepat langkah mereka, dan memasuki minimarket tersebut. Salah seorang di antara mereka berdiri di dekat kasir dan menatap tajam kasir tersebut.

"Kalau kau mau aman, anggap saja kita tidak pernah bertemu dan tidak bertemu dengan kami," ancam seorang Lelaki bermata biru cerah dengan rambutnya yang gondrong berwarna pirang.

Kasir itu hanya mengangguk menuruti instruksi orang itu, sedangkan kedua temannya berjalan berpencar menuju ke arah Lucia Tischler yang tengah memilih beberapa minuman kaleng.

Mereka berjalan menghampiri Lucia Tischler dari dua arah seraya mengeluarkan belati yang mereka bawa. Lucia Tischler telah dikepung oleh dua orang Lelaki dari dua arah.

Lucia Tischler melempar kedua minuman kaleng dengan keras ke arah mereka berdua.

Mereka memegangi pelipis mereka yang berdarah. Lucia Tischler menjatuhkan salah satu lawannya, mengambil belatinya dan mematahkan tangan kanannya.

"Lepaskan dia, bajingan!"

Rekannya berlari menuju ke arah Lucia Tischler. Namun dia menarik jaket musuhnya dan mendorongnya tubuh orang yang dia lumpuhkan ke arah musuhnya yang lain sehingga tubuh orang itu menindih rekannya. Lucia Tischler melompat dan sepatunya menghantam wajah orang itu.

Karol Adolf yang berjaga ke kasir segera menyandera sang kasir dan menodongkan belati ke arah lehernya. Dia berjalan menghampiri kedua rekannya yang telah dilumpuhkan oleh Lucia Tischler.

"Angkat tanganmu atau perempuan ini akan dibunuh!" ancam Karol.

Kasir itu menghantamkan kepalanya ke belakang dengan keras sehingga Karol kehilangan keseimbangan. Dia langsung menjatuhkan Karol Adolf dan mematahkan tangannya.

Lucia Tischler tersenyum takjub seraya menginjak wajah dan leher kedua musuhnya dengan keras.

"Aku tak menyangka bahwa aku telah berhutang nyawa padamu," ucap Lucia Tischler takjub.

"Terima kasih," katanya. Kasir itu memutar tubuh Karol Adolf dan menginjak properti berharga milik lelaki yang merupakan anggota kelompok Neo-Nazi tersebut.

Karol Adolf berteriak kesakitan ketika properti berharganya diinjak oleh Kasir tersebut dan Lucia Tischler segera memberikan sebuah tendangan dengan keras yang tepat menghantam wajahnya sehingga membuat dirinya langsung terkapar tak berdaya.

"Namaku Lucia Tischler." Lucia Tischler meperkenalkan dirinya dengan menggunakan Nama asli.

"Namaku Asenath Melinda," balas Kasir itu memperkenalkan dirinya.

"Aku kira kau hanya pelayan biasa, ternyata kau bisa Aikido dengan baik."

"Aku adalah Pelatih Aikido yang menyambung hidup sebagai seorang Kasir di sebuah minimarket," balas Melinda, seorang Perempuan Yahudi berambut hitam bergelombang.

"Kau harus berhati-hati ke depannya, mengingat kau akan diincar oleh kelompok Neo-Nazi," Lucia Tischler memberikan sebuah peringatan kepada kenalannya.

"Jangan khawatirkan diriku," balasnya dengan tersenyum.

"Aku ingin bayar minuman-minuman ini."

"Baiklah."

Melinda kembali ke tempatnya, sedangkan Lucia Tischler masih sibuk dengan ketiga tubuh lawannya. Dia menyita ketiga ponsel milik lawannya tersebut.

"Semuanya jadi berapa, Melinda?" tanya Lucia Tischler.

"Total sembilan mark delapan puluh sen, Lucia Tischler."

Melinda memberikan dua lembar uang senilai lima mark, "Ini sepuluh mark, dan kembaliannya adalah untukmu. Senang bertemu denganmu, Asenath Melinda." Lucia Tischlertersenyum ke arahnya.

"Terima kasih, Lucia Tischler," balas Melinda dengan senyuman cantiknya.

Lucia Tischler segera pergi meninggalkan minimarket tersebut.

"Mereka tidak seburuk yang aku kira," gumam Lucia Tischler.