"Selamat Datang di Maheswari."
Kata sapaan Ayah membuatku tersadar, pikiranku kembali sempurna, sesempurna senyumanku.
Malam yang begitu indah Dnegan ribuan bintang dan ombak-ombak yang saling bersahutan.
"Ini tepat jam istirahat Maheswari, sedikit lagi jam makan malam, kita tidak boleh ketinggalan" Ucap Ayah memimpin rombongan. Ayah sejak tadi terus bercerita dengan temannya, seru sekali. Aku yakin mereka adalah teman pendidikan di sini dulu.
Berjalan bersama rombongan ini, aku sembari melihat-lihat pantai indah ini, pasir yang bercahaya ketika tersenyum. Seperti di dunia-dunia fantasi.
Tapi tepat di belakangku ada sebuah hutan. Bukan hutan, namun pagar hidup dari pepohonan besar yang rapat dan tinggi-tinggi.
"Hei Aru," Yeksa berjalan di sampingku dengan dua koper di tangannya. "Aku tidak sabar bertemu Lingga, Penjagaku."
Aku memutar bola mataku, sudah sering kali Yeksa memuji-muji penjaganya. Dia bilang Lingga itu terkuat ke tiga di Maheswari, Lingga memiliki banyak teman perempuan dan banyak lain. Menyebalkan.
Tidak lama berjalan, ada sebuah gerbang besar berwarna emas dengan corak aksara-aksara Jawa. Sangat megah dan indah. Sepertinya terbuat dari berton-ton besi.
Drrrttt
Gerbang itu bergerak membelah menjadi dua membuka jalan untuk kami. Dan liat, besi setebal satu meter ini di buka oleh dua orang. Satu laki-laki dan satu perempuan.
"LINGGGAA." Yeksa meninggalkan dua koper di tangannya dan memeluk lingga seperti teman lamanya, padahal belum pernah sama sekali bertemu.
"INTANNN." suara kali ini berasal dari Bestari yang tiba-tiba memeluk perempuan yang membukakan pintu gerbang.
Aku tau itu pasti penjaga mereka. Intan dan Bestari seperti sahabat yang lama tidak berjumpa, berlompatan sembari memeluk.
Dan ada satu orang laki-laki tinggi di depan sana. Berdiri tegap dengan gagah, rahang yang begitu tegas dan rambut berhitam legam. Sangat tampan.
Laki-laki itu berjalan menghampiri kami.
"SUAARR." Teriak Ayah langsung memeluknya.
Suar?
Penjagaku?
Setampan ini?
Pelukan mereka terlepas, Suar sempat menatapku lalu dengan cepat menatap ke arah lain. Dengan suara berat, serak dan intonasi yang jelas, dia berkata, "Selamat datang di Maheswari, kami tiga Penjaga terbaik menyambut kalian. Kedatangan kalian di tunggu di rumah makan, tapi sebelum itu kalian akan menaruh barang bawaan kalian di asrama masing-masing."
Tepat di kata itu, Suar menghampiriku, dia tersenyum kecil, "Ayo, biar aku bawakan kopermu."
"Ehh, iya, makasih." Entah kenapa jantungku merasa berdebar kencang, gugup sekali.
Suar mengambil koperku yang di tinggalkan Yeksa, dia berjalan menuntun kami semua. Kami di persilahkan istirahat sebentar dan menaruh barang bawaan, setelah itu baru kami ke ruang makan.
Aku melirik Suar di sampingku, dia sangat tinggi, bahkan aku hanya sedadanya. Dari tangannya menyembul urat-urat besar, aku yakin itu adalah hasil dari kerja kerasnya.
Belum lagi dengan tubuh kekar berototnya, dia melebihi ekspektasiku. Tapi, itu, nafsu.
"Kamu memperhatikanku?" Tanya tiba-tiba suar menatapku. Sedangkan aku menatap ke arah lain.
Sial! Kenapa aku memperhatikannya seperti itu. Jangan sampai dia berpikir lain. Dengan nada cuek, "Tidak, aku hanya melihat Lingga dan Yeksa di samping sana."
"Benarkah?"
"Iyah."
Kami berjalan melewati gerbang, di sana sudah ada puluhan penjaga yang sedang menunggu tuannya.
Sebagai penjaga membawa para orang tua ke asrama yang mereka siapkan, sedangkan kami, di tuntun sendiri oleh penjaga kami ke asrama yang akan kamu tinggali selama 1 tahun.
Aku dan Suar hanya berdiam saja, tapi yang lain sibuk bercanda gurau, saling merangkul dan memeluk. Seru sekali.
Berjalan memutari taman yang luas dan cantik. Banyak kelap-kelip lampu di sana. Di sana pula banyak sekali para Mahes dan penjaga sedang mengobrol dan saling bermain.
15 menit berjalan, ternyata sejauh itu. Kami di hadapkan dengan asrama-asrama di depan. Bukan asrama yang bertingkat tinggi dengan kamar-kamar bersebelahan, melainkan asrama seperti rumah panggung di pisahkan oleh satu pohon yang menyatu dengan di setiap sisi kamar dari satu dengan yang lainnya.
Asrama juga di bagi menjadi dua, kiri untuk perempuan dan di kanan untuk laki-laki. Asrama di pisahkan oleh sungai yang cukup deras.
Asrama Mahes berada di barat, sedangkan asrama penjaga di Utara.
kami semua di tuntun oleh penjaga kami masing-masing. Aku terpisah dengan Yeksa dan Bestari.
Suar menuntun jalanku ke depan. Aku berfikir, dengan kehebatan dia, kerja keras dia sampai seperti ini. Bagaimana dengan nafsunya. Bukankah semakin terang sinarnya, semakin pekat pula bayangan nya.
Asrama ini sangat banyak dan panjang, aku rasa asramaku paling belakang. Suar tidak berhenti-henti berjalan. Bagaimana jika aku bangun terlama saat ada pelajaran, pasti sangat merepotkan.
5 menit kami berjalan, akhirnya Suar berhenti di satu Asrama paling belakang dan dekat sungai.
Drtttt drttt
Suar berjalan menaiki tangga kamar itu. Dia mengeluarkan kunci dari sakunya.
Clek clek
Pintu kayu terbuka dan menampilkan kamar sederhana di dalamnya. Satu kasur untuk tidur satu orang, meja belajar yang sudah terisi vas bunga dengan bunganya yang cantik dan harum, serta satu lemari dan meja.
"Bagaimana perjalananmu?" Tanya Suar yang sedang duduk di kursi belajar.
Aku membalas tatapannya, tatapannya begitu dalam dan entah apa yang dia pikirkan. Aku membuka koperku dan mengambil beberapa pakaian, sembari menjawabnya, "Baik, jauh dan melelahkan melewati gunung."
"Cepatlah mandi, akan aku tunggu di sini."
Aku mengangguk dan segera masuk ke kamar mandi. Membersihkan diri dan berganti pakaian. Sangat tidak mungkin aku memakai baju yang penuh dengan keringat.
Selesai mandi aku keluar dan mendapati Suar yang masih duduk di kursi. Dia memperhatikan setiap gerak dan tingkahnya. Sangat risih.
"Bagaimana hubunganmu dengan pacarmu Edi?" Tanyanya berhasil membuat sisir di rambutku berhenti.
Bagaimana dia tau tentang Edi?
"Baik, bagaimana denganmu, pacarmu?" Tanyaku untuk basa-basi, entah rasanya berdebar-debar sekali bersama Suar. Apalagi beberapa hari yang lalu aku menolaknya menjadi Penjagaku.
"Tidak ada, aku tidak pernah berpacaran." Suar menatapku dengan dalam, "Aku tidak tertarik dengan wanita di sini."
Maksudnya? Pikiranku bertanya-tanya kembali, "tapi bagaimana dengan itu?"
"Kamu sudah selesai?" Suar mengalihkan pembicaraan.
"Eh iya." Aku berdiri dan berjalan menuju pintu, namun saking gugupnya aku, aku tidak berjalan dengan benar, kakiku saling menubruk dan hampir saja aku terjatuh jika Suar tidak memegangiku.
Posisiku dengan Suar sangat intim. Dia memegang pinggulku dengan tangannya yang kuat.
Aku menatap matanya dan dia menatapku dengan mata coklatnya. Suara di kamar di penuhi oleh gemercik sungai.
Suasana kami hening. Aku mendengar detak jantungku begitu berdebar. Berbeda sekali ketika aku dekat dengan Edi.
Suar, dia mendekatkan wajahnya. Dia berkali-kali menatap bibirku. Apa dia akan menciumiku? Bagaimana ini?
Semakin dekat dan semakin dekat. Sedikit lagi bibir kita bertemu.
Suar menutup mata dan 'cup'
Suar menciumiku. Mataku terbelalak sempurna, bingung harus apa dan bagaimana. Sedangkan Suar dia melumat lembut bibirku.
Suar membawaku berdiri tanpa melepas ciumannya, dia memojokkanku ke tembok.
Aku mencengkram kemeja hitamnya, aku menutup mata dan mulai membalas ciumannya.
Kamar ini berbunyi bertautan kami berdua dengan musik sungai sebagai pengiringnya.
Suar sepertinya merasa menang ketika aku membalas ciumannya. Suar memperdalam ciumannya, dia memasukkan lidahnya ke dalam mulutku.
Aku yang sudah kehabisan nafas memukul dadanya untuk berhenti, namun dia tidak berhenti sama sekali. Dia semakin agresif, tangannya yang merasa di kepalaku kini berpindah ke pinggang, lalu ke perut.
Merasakan tanda bahaya dari Suar. Aku mendorong dadanya, namun nihil, Suar terlalu kuat dan sulit di jauhi.
Tangan suar mulai ke atas, menuju dadaku yang terbungkus oleh kaus.
Aku terus memukul dadanya, namun suar seperti sudah terbawa nafsu. Maka inilah bayangan pekatnya di balik terang cahayanya.
"Ahhh." Desahku kataku membuatnya berhenti. Saat tangan suar berhasil meremas dan main di dadaku.
Aku merasa lemas. Suar menatapku begitu dalam. Mulutnya dan mulutku penuh dengan air liur kami berdua.
Nafas kami beradu begitu cepat. Suar membuat matanya bulat sempurna. Dia seperti baru merasakan hal ini.
Dengan nafas terengah-engah, "Aruna, aku minta maaf."
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius