webnovel

Suamiku Duda Muda

"Apa!" Lisa melebarkan matanya. "Aku harus mau nikah sama dia, si duda itu, haruskah?" Siang itu tanpa badai, Lisa harus menerima permintaan kedua orang tuanya untuk menikah sekaligus menjadi istri kedua dari seorang pemuda yang baru saja berpisah dari istrinya, namanya Gionino. Hanya berbekal hubungan baik keluarga yang tercipta diantara kedua orang tua mereka, urutan bisnis memang nomor satu. Ancamannya kalau dia tidak mau, perusahaan ayahnya yang sudah mulai goyang itu akan jatuh, tak akan bisa bangun lagi. Tapi, kenapa harus dengan anak terakhir mereka, bukan yang pertama, bahkan belum menikah. "Ica!" "Lisa, namaku Lisa!" dia pasti jahat pada mantan istrinya sampai digugat begitu. Lisa yakin. Bagaimana kehidupan rumah tangga mereka? Apa Lisa bisa menerima dan tahu alasan rahasia suaminya menjadi duda diusia muda? Mohon dukungannya, semua. Spesial dari Pelantun_Senja.

Pelantun_Senja · 都市
レビュー数が足りません
32 Chs

Panggilan Khusus

"Hem, kita hanya menginap semalam di rumahmu?" Lisa mencoba mencerna kalimat yang baru saja suaminya katakan itu, setelah mereka larut dalam kecupan di bibir yang Gio ulangi berulang kali.

Malam pertama mereka itu berciuman begini, tidak ada hal lebih, tapi sudah membuat Lisa kelabakan, dia seperti anak gadis muda yang menjadi primadona kampus, lalu mempunyai pacar dan dicelah waktu yang ada, mereka pergi berdua, nonton mungkin, lalu menikmati yang namanya kedekatan.

"Kenapa tidak menunggu keluargamu pulang semua, Gi?"

Gio sibak selimutnya, "Kamu tidak tahu mereka, tidak penting mau mereka pulang hari ini atau besok-besok." jawabnya.

Wajah keras itu mengisyaratkan kalau Gio sudah menahan diri, dia tidak mau dibantah sama sekali, apa yang dia putuskan harus Lisa penuhi, patuhi, tanpa dia bisa banyak bertanya dan menyangkalnya.

Sama seperti saat perjumpaan mereka sebelum akhirnya menikah, mendadak dia membuat kesepakatan sendiri akan nama panggilannya yang dirasa khusus dan hanya Lisa yang boleh memanggilnya begitu, atau mungkin keluarga Lisa kalau memang akhirnya ikut-ikutan.

"Aku mau kita lebih banyak bertemu di rumahmu, bertemu ibu dan ayahmu, aku juga mau mulai sekarang kau memanggilku 'Gi' terus, awalnya aku tidak suka kamu panggil seperti itu diawal bertemu, tapi aku rasa kamu yang berhak memanggilku khusus begitu, kamu harus setuju!"

Hah?

Ya Tuhan, Lisa ingin sekali menarik lidah duda di depannya ini, bisa semanis itu mengatakan hal yang seharusnya menjadi sangat menyakitkan untuk seorang gadis yang baru saja kenal.

Lagipula, ada juga duda banyak maunya seperti ini, biasanya kalau duda bertemu gadis, tentu gadisnya berkuasa, ini terbalik, Lisa yang sedari tadi hanya iya-iya saja, sedangkan Gio yang membuat aturan.

"Aku buatkan minum dulu, tunggu!" Lisa beranjak, dia ikat rambutnya sebelum pergi masuk, sesuai permintaan yang mulia, mereka selalu bertemu di rumah Lisa sebelum akad nikah tiba. "Apa?"

Gio menunjuk ikat rambutnya, "Turunkan, aku suka kalau kamu membuka ikatanmu!" sudah membuat aturan yang harus Lisa ikuti.

Apa Lisa langsung takut pada duda di depannya ini? Jawabannya tidak, dia tidak takut, hanya saja dia takut pada dua orang yang tengah mengintip dari balik selambu ruang tamu itu, ada ibu dan ayah yang memperhatikannya, sekali saja Gio marah, ikut marah dan kecewa juga mereka.

Ada duda se-aneh di depannya ini, ada juga orang tua yang begini, mau menikahkan dan sangat jatuh hati pada calon menantunya yang jelas-jelas tak putrinya kenal, ditambah lagi duda satu bulan menikah.

"Buatkan Gio minuman yang enak, Lisa. Kamu sudah bertanya kan apa yang dia mau, hem?" ibu mulai ikut campur, jelas dia tidak tahu, kan dia tuan rumahnya, jadi suka-suka saja, begitu pikir Lisa.

Namun, hati lemahnya itu kembali membuatnya rapuh, dia berjalan setengah berlarian ke luar, menawari tamu agungnya. "Kamu mau aku buatkan minum apa, Gi?" ingat harus panggilan itu.

Gio mendongak, "Apa aku boleh memilih?"

"Iya, ada kopi susu, teh, jahe, jeruk, vanila, coklat-" sudah seperti warkop keliling saja aku. Lisa.

"Apapun, buat aku apapun asalkan aku meminumnya bersamamu di sini, tidak di tempat lain."

Iyalah, masa iya cangkir di rumah ini dibawa ke mana-mana, atau mungkin sampai jalanan besar dan mall, yang ada malu sendiri meskipun tidak ada yang cacat, kan aneh.

Lima menit Lisa kembali lagi, dia simpan tepat di meja kecil samping Gio, duda itu sibuk dengan ponselnya, tampak senang, pasti melihat status para gadis cantik atau mantan istri.

"Ica."

Eh, iya? Menoleh.

"Aku mau membeli seprei warna kuning nanti setelah kita punya rumah sendiri, lucu dan bagus kan?"

Eh, dia melihat motif seprei rupanya, lucu-lucu sih, pilihannya bahkan konyol, motif pisang ujung coklat dengan dasar kuning, memangnya mau pamer kalau nanti di rumah baru dan kamar baru ada pisang coklat utuh.

Plak!

"Kenapa memukul kepalamu sendiri?"

Lisa terkejut juga, spontan saja karena isi kepalanya berlarian ke mana-mana.

"Tidak, ada lalat barusan, eheeheh, diminum, Gi!" mengalihkan pada minuman saja, bisa salah tingkah dia dengan duda satu bulan ini.

"Kamu memang sudah menyiapkan nama panggilanku ya, lumer sekali di lidahmu, aku suka."

Spontan!

Tidak pernah aku membuat atau mempersiapkannya, tolong!

***

Dia sudah menunggu di depan kantor, tahu kalau Lisa pasti mencari waktu lain agar bisa berkumpul dengan teman kerja, naik ojek pun bisa dia larang kalau mau hanya karena ada tujuan kumpul di kantor Lisa.

Hari akhir pekan biasanya Lisa akan pulang cepat, itu kesempatan kalau dia mau main atau apa, tapi pria yang sudah menjadi suaminya itu tidak akan melepas begitu saja.

Yakin dia gitu karena cinta?

Dia tidak sedang mengekang kan?

Mungkin dia pernah sakit hati karena selingkuh sampai seposesif itu, atau mungkin dia yang selingkuh terus takut karma!

Sekali saja lawan dia, lihat seberapa dia bisa marah padamu, dia kan hanya diam kalau marah, itu tidak jelas!

Aaarrrghh,

Ucapan Renata terngiang terus, mana dia sudah duduk di samping Gio, dia benar-benar akan pulang-pergi bekerja bersama Gio sampai Gio lega dan percaya, entah kapan, jangan ditanya.

"Gi, mau masak saja atau kita beli di lu-"

"Masak," potongnya.

"Oke, baiklah." dia tahu aku merosot, akhir pekan ingin ikut makan sushi bersama teman-temannya di mall besar itu, hiks.

Sepanjang perjalanan tak banyak yang Lisa bahas, dia menahan air liurnya yang terus menawarkan dan ingin merasakan asinnya kecap di sushi itu, ingin sekali.

"Bawa ini!" titah Gio sambil memberikan satu kantong belanjaan, tidak tahu kapan dia beli. "Masuk, Ica!" suaranya sedikit meninggi, itu tandanya harus cepat.

"Iya, iya."

Ritual pulang kerja seperti biasa mereka lalui sampai akhirnya kedua wajah itu dirasa segar bersamaan, Gio suka sekali mencium keningnya setelah mandi, itu dilakukan dalam kondisi apapun, baik setelah Lisa mandi dan dia sudah duduk di depan televisinya, Gio akan berdiri sejenak dan mendekat, lalu mencium keningnya, tanpa berkata apapun, kembali duduk lagi.

Masih saja terus terkejut dengan serangan bibir itu, Lisa.

"Kita buat makanan di dapur, aku sudah belanjakan bahan sushi tadi."

Apa! Sushi?

Lisa lebarkan telinganya, mencoba mencerna ulang dan yang benar saja kalau Gio tahu dia mengidamkan sushi sejak tadi.

"Gi, bisa buatnya? Sungguh?"

Bruk!

Selalu saja berhenti sesuka hati, tidak tahu yang di belakangnya itu remnya blong.

"Suami itu selalu tahu apa yang istrinya mau, Ica!"

Ah, iya. Suami saja yang mengerti, begitu yang dia maksud, istri hanya minta saja seperti dirinya.

"Ayo!"

Iya, aku mau!