webnovel

Suamiku Duda Muda

"Apa!" Lisa melebarkan matanya. "Aku harus mau nikah sama dia, si duda itu, haruskah?" Siang itu tanpa badai, Lisa harus menerima permintaan kedua orang tuanya untuk menikah sekaligus menjadi istri kedua dari seorang pemuda yang baru saja berpisah dari istrinya, namanya Gionino. Hanya berbekal hubungan baik keluarga yang tercipta diantara kedua orang tua mereka, urutan bisnis memang nomor satu. Ancamannya kalau dia tidak mau, perusahaan ayahnya yang sudah mulai goyang itu akan jatuh, tak akan bisa bangun lagi. Tapi, kenapa harus dengan anak terakhir mereka, bukan yang pertama, bahkan belum menikah. "Ica!" "Lisa, namaku Lisa!" dia pasti jahat pada mantan istrinya sampai digugat begitu. Lisa yakin. Bagaimana kehidupan rumah tangga mereka? Apa Lisa bisa menerima dan tahu alasan rahasia suaminya menjadi duda diusia muda? Mohon dukungannya, semua. Spesial dari Pelantun_Senja.

Pelantun_Senja · 都市
レビュー数が足りません
32 Chs

Mudah Cemburu

"Kenapa ke sini?" terkejut karena Gio menurunkannya di depan rumah makan seafood tempo dulu, tempat di mana mereka pertama kali bertemu. "Gi, kamu-" ah, pasti dia marah, dia akan meluapkan ketidaksukaannya di sini, masalah bertemu dan kumpul dengan teman-teman kantor meskipun di sana ada Renata, dia tidak mau makan masakan rumah malam ini, dia akan makan di luar, itu artinya Lisa harus memasak besok malam, dia Lisa juga tak bisa ke luar rumah sepulang kerja. "Gi, tunggu sayang!" kalau sudah memanggilnya begini, Lisa berada pada posisi merayu, masa bodoh sudah mendengar kata cinta suaminya atau belum, yang penting merayu. "Sayang, tunggu!"

Lihat, Gio berhenti tepat di pintu masuk, hanya sisa dua langkah saja, kalau marah dan tidak suka akan selalu meninggalkan Lisa berjalan seorang diri, itulah Gio, pemuda yang menjadi duda kesayangan Lisa, biar saja.

"Apa?" tanyanya menelisik sebal.

Lisa raih dan genggam tangannya, "Iya, aku besok tidak akan ke luar rumah, aku pulang bersamamu dan tidak akan kumpul dengan teman-teman."

"Kamu pikir aku ke sini karena itu?" lah, terus apa. Lisa bingung dibuatnya. "Aku mau makan menu itu, menu yang kamu sukai, malas makan di rumah, besok aku mau beli ayam, tidak, aku pesan ayam siap panggang ke temanku, kamu buat bumbunya!" memicing, tapi langsung berpaling takut Lisa tahu dia sedang mencari alasan-alasan saja. "Masuk!"

"Iya, ini masuk."

Panggilan sayang itu sebenarnya menebar benih merona pada diri Gio, dia suka kalau Lisa mulai merayunya begitu, itu artinya dia menang atas diri Lisa. Kalau tidak begini, tentu Lisa tidak akan menyebutnya begitu, dia merasa istimewa malam ini.

Buku menu terbuka lebar di depan Lisa, sengaja Gio begitu karena tahu itulah kesukaan Lisa, wanita itu tidak suka dipandu soal menu makanan, dia akan memilih sendiri dan mengoceh lengkap pesanannya yang aneh terkadang pada pelayan di sana.

Gio masih ingat saat pertama kali bertemu Lisa, jujur dia tak suka awalnya, melihat foto Lisa saja dia muak karena hampir mirip mantan istrinya, tapi begitu dia bertemu langsung, Lisa jauh berbeda, dia adalah wanita yang merdeka, dewasa dan obyektif dalam segala hal, ditambah lagi dia pandai menutupi kekesalan yang dirasakan demi perasaan orang di sekitarnya, lalu mencari waktu untuk membahasnya.

Buku menu sudah penuh dengan tulisannya, dia tahu apa yang Gio suka di sini, menu makanan yang menyusahkan tangannya.

Kepiting asam manis, menyebalkan kalau Gio memakan itu dan Lisa yang harus mengupas cangkang kepiting seperti ibu pada anak-anaknya.

"Ica," panggilnya.

"Iya, aku mau ke toilet, tunggu ya!"

"Jangan lama-lama, kalau sakit perut ditunda dulu!"

"Ahahahahah, iya-iya, aku tahu kepitingmu, kan?" lihat, suaminya itu tersenyum sambil manggut-manggut.

Hampir satu tahun bersama Gio membuat Lisa mulai mengingat banyak hal yang suaminya suka dan tidak suka, ekspresinya sudah bisa ditebak maunya apa, tanpa Gio banyak bicara saja Lisa dipastikan mengerti dengan baik.

Mau lima menit dan Lisa belum kembali, Gio berdiri tepat saat pesanan itu diantarkan.

"Letakkan saja, aku mau mencari istriku, kau melihatnya? Dia tadi ke kamar mandi."

Glek,

Pelayan itu tahu logo perusahaan besar ada di ikat dasi Gio, bisa mampus dia kalau memberikan pelayanan buruk, perusahaan itu bekerja sama dengan rumah makan ini.

"Malam, Pak. itu-" aku bilang apa. "Mungkin istri Anda sedang dalam antrian."

"Apa, antrian? Berapa toilet di sini?" sudah marah, menatap tajam pelayan itu, entah kenapa, tapi bukan sekali Gio begini, di rumah orang tuanya bahkan berlaku sama kalau sekelebat saja bayang Lisa tak dia lihat, dia punya ketakutan dan kecemasan yang sulit dikendalikan.

"Pak, itu-" aku jawab apa, ya Tuhan. "Itu istrinya!" mau berteriak menjawab, untung, dia usap dadanya lega.

Lisa berjalan mendekat, dia melihat beberapa menu sudah ada di meja.

"Kenapa?" bertanya pada suaminya yang kembali duduk, Lisa melihat pelayan yang gemetaran itu sejenak. "Terima kasih banyak ya, Kak." baru pelayan itu bisa bergerak menjauh. Lisa ditarik duduk ke samping Gio, tidak mau berhadapan, takut ketahuan sisi cemasnya, tapi Lisa paham, dia berpikir dan mencoba menghubungkan kalau ini dampak dari perpisahannya kala itu. "Cuminya duluan ya, kamu belum berarti, aku tunggu saja, kita makan bersama."

"Ica."

"Iya?" menoleh, tahu ekspresi itu, belum lagi bibirnya yang berkedut. "Hem?" mendekatkan kepala ke bahu Gio, bersandar di sana, satu tangan menggenggam yang gemetaran dan hampir terkepal. "Ka-"

"Jangan pergi lebih dari lima menit!" kan, mulai lagi dia. Lisa mengangguk, baru tangan itu mengendur dan membiarkan Lisa membagi nasi, masih duduk berdampingan, sampai semua menu tiba dan dia menjadi ibu yang baik untuk suaminya sendiri. "Enak?"

"Hem."

Dia ini kenapa? Lisa bergeleng, sampai hari ini dia bahkan kesulitan membaca alasan suaminya, menebak apa maunya mungkin mudah, tapi alasan dibalik semua tingkah anehnya cukup sulit.

Satu lagi, sejak menikah, mereka jarang berkunjung ke rumah utama, rumah orang tua Gio, padahal di sana ada kakak lelaki pertama Gio dan perempuan yang sudah menikah, entah karena apa. Gio tampak membuat tembok besar di sana.

***

"Iya, menantunya Ibu yang belikan, dia membeli banyak sekali dan minta aku kirimkan ke Ibu, Naya bagaimana kabarnya?" ingat pada anak asuh ibu dan ayah untuk mengisi kesibukan, Lisa anggap adiknya. "Dia sudah lulus ujian kan, Bu?"

"Sudah, dia kan sudah lulus kemarin, bulan lalu, sekarang mau fokus biar ranking di SMP negeri. Oiya, jangan lupa bilang terima kasih ya ke Gio, Ibu suka banget seafood begini, dia memang menantu kesayangan Ibu!"

Iya, Lisa tahu itu, memangnya dari siapa lagi ibu akan mendapatkan menantu kalau bukan dirinya, dia kan anak tunggal, baru ini punya adik angkat yang harus ibu asuh karena sudah yatim piatu, sebenarnya itu cucu ibu kalau diurutkan.

"Ica!" suara Gio menggema.

"Bu, aku tutup dulu ya, Gio baru-"

"Iya, Ibu tahu dia pasti baru mandi dan minta kamu keringkan rambutnya, kan?"

Astaga, benar sekali karena memang rumah yang kami tempati sebelum bisa membeli lunas rumah ini adalah rumah orang tua Lisa, ibu sampai hafal maunya Gio, jangan-jangan ibu juga tahu kalau Gio baru meminta malam pertama itu di rumah ibu, malam pertama sesungguhnya di mana bercak merah membuat Gio berdebar dan senang.

"Sini aku keringkan, Gi!" melihat suaminya, ternyata masih di kamar mandi, jangan bilang mau yang aneh-aneh. "Sudah selesainya mandinya belum?"

"Masuk ke sini, Ica!"

Kan, benar, dia pasti ingin yang aneh-aneh, dingin lagi, kalau lama di dalam pasti masuk angin.

"Katanya gantian mandinya!" protes kecil.

"Ahahahahah, katanya dong!" langsung menutup pintu kamar mandi itu rapat-rapat, suka seperti ini kalau cemburunya tersulut atau Lisa berencana pada hal yang tidak dia suka, menandai Lisa dengan hujamannya.