Baiklah, lakukan sesukamu, besok sudah hari pembuka setiap minggunya, kamu dan aku tentunya akan sama-sama sibuk.
Malam merangkak naik, waktu terus bergulir dan dua orang di kamar itu tak kenal waktu untuk terus hanyut pada perasaan tersembunyi itu.
Toel, toel, toel ....
Manis sekali, Gio mainkan ujung hidung Lisa, sesekali dia cium bibir tipis itu, menyecapnya singkat.
Semalam, jangan ditanya seberapa keras dia menunjukan kalau hatinya itu milik Lisa. Namun, jangan salahkan wanita yang masih terpejam itu, masalahnya Gio tak mengungkapkan secara jelas.
"Giiiii, mmmm, masih ngantuk aku!" berbalik, menghindari sentuhan suaminya itu. "Nanti ya, sarapannya beli ya, Gi. Badanku capek sekali ini," imbuhnya bergumam-gumam.
"Aaarrrrghhhh!"
Gosok dan gosok, Lisa terperanjak duduk, hilang kantuk dan lelahnya, bahkan selimut yang menutupi tubuhnya itu terjatuh, menampilkan bagian dadanya utuh. Buru-buru Lisa tarik dan tutupi, dia masih malu tampil tanpa busana di depan suaminya itu sekalipun mereka sudah sering melakukannya selama hampir satu tahun ini.
"Sakit, Gi!" kesal, digigit tentunya sakit, membekas lagi di pundaknya.
"Salah sendiri tidak mau bangun, kan aku lapar!"
"Ish, iya, kan tadi aku bilang beli aja, Gi. Capek!" kesal, tapi tetap manis menjawab Gio, tidak membentak dan bersuara keras, bahkan manyun-manyun dan membuat Gio ingin menciumnya saja, beruntung dia bisa tahan tampil cool di depan Lisa. "Iya, Gi, Iya. Aku pakai baju dulu, tunggu!" berseru membalas ocehan Gio yang sudah ke luar kamar.
Pria bercelana kolor pendek selutut itu sungguh menyebalkan, dia yang sudah membuat Lisa kelelahan, dia juga yang tidak merasa bersalah.
Daster seadanya yang Lisa sambar dan rambut yang dia gulung tinggi, Lisa tampil lebih lincah di sini, bukan sengaja membuat Gio kesal, dia belum membersihkan diri, mau tampil cantik tentu membutuhkan waktu, sementara pria itu sudah lapar.
"Ica!"
"Iya, Gi?" tidak menoleh, membuat bakso simple dengan bumbu seadanya, butuh sepuluh menit di pagi buta ini, lalu dia harus segera mandi mengejar waktu, astaga suami memang harus nomor satu, mungkin dia bisa berlutut di depan suaminya itu. "Auh!" Lisa gosok lehernya.
Gio benci rambut Lisa terangkat begitu, kalau harus Lisa angkat, tentu waktu mereka endak bercumbu dan mungkin dia yang minta, kalau tidak dia suruh tentu itu hal yang dia benci.
"Coba kamu cicipi, Gi, enak tidak gitu, eheheheh." Lisa alihkan ke hal lain.
Namun, duda mudanya itu malah memeluknya.
"Tidak suka aku masak bakso ya pagi-pagi, hem?" niat hati melupakan sentilan di lehernya itu.
"Hiks."
Loh, kok terisak di lehernya.
"Kenapa, Gi?" Lisa intip masakannya, mau mendidih, hampir matang. "Hei, kenapa?"
Lisa terkejut, leher itu, bekas sentilan Gio, mendapatkan kecupan dalam dari suaminya.
Ah, kalau begini Lisa paham, Gio pasti merasa bersalah dan menyesali emosinya itu, memang duda satu ini susah sekali dipahami.
Drama itu baru berakhir ketika Lisa menggelitik pinggang Gio, mau tidak mau Gio jauhkan wajahnya, melepas pelukan dan menghindari Lisa.
Seperti ini rumah tangga yang katanya dimulai tanpa cinta dan belum ada pernyataan cinta itu, orang menilainya akan hambar dan penuh duka, tapi yang terjadi sebaliknya di mana sepanjang hari keduanya bila bertemu selalu ada suka dan duka yang lengkap.
"Gi, ampun!" sampai mau berangkat kerja pun tetap menggoda Lisa.
***
Brakk!
Renata tidak percaya ini, sungguh dia tak percaya sama sekali. Mungkin ini akan dia catat dalam buku sejarah hubungan temannya itu bersama pewaris perusahaan besar yang telah mengikat hidup Lisa.
"Dia bahas anak sama kamu, serius? Terus?"
"Terus apa lagi, Ren? Ya, jelas aku tidak akan bisa menolak dia, badanku sakit semua sekarang, aku mau pijat saja, tapi mana mau dia memberiku izin begitu!" Lisa jadikan Renata satu-satunya teman dekat yang mengerti akan kehidupan drama rumah tangganya itu. Dari Renata, terkadang dia mendapatkan solusi, hanya temannya inilah yang bisa dia ajak bicara karena orang tuanya tentu mengibarkan bendera mendukung Gio, bukan Lisa yang anak mereka. "Aku takut dia serius, Ren."
Loh,
Renata kerutkan keningnya, selama ini justru yang berminat itu Lisa, itu juga menjadi ikatan pasti akan hubungan Lisa dan Gio, tidak akan ada ketakutan lagi kalau sudah ada anak seperti ibaratnya kapal yang bersandar sudah memasang rantai dan menurunkan jalanya, pasti itu.
Namun, ketakutan terselubung di hati Lisa saat ini.
"Kayaknya Gio tidak jujur, ada yang dia sembunyikan dariku tentang keluarganya dan masa lalunya di rumah tangga yang sebulan itu, aku hanya tidak ingin itu menjadi bom yang meledak dan aku menjadi satu-satunya orang bodoh di waktu itu. Kalau aku masih sendiri, aku masih bisa mengobati malu dan hancurnya harga diriku, tapi kalau sudah ada anak, aku seharusnya memikirkan ulang, aku takut Gio justru membuat aku terpojok karena ini." Jelasnya.
Ketakutan itu Renata anggap wajar dan bukan tanpa alasan, seorang wanita pasti ingin ketika dia hamil dan melahirkan, pendampingnya menerima secara jelas anak itu, Renata tahu kecemasan Lisa di mana takutnya Gio nanti akan bersilat lidah dengan menyalahkan Lisa karena merasa anak itu hanya permintaan Lisa, Gio hanya menurutinya, tidak mau mengakui dan bertanggung jawab.
"Aku takut banget, Ren." kesahnya.
"Aku tahu maksudmu, coba kamu ajak bicara Gio, Lis."
"Harus bagaimana aku mengajaknya bicara, Gio itu mendominasi sekali, kalau di belakangnya aku bisa mengatur susunan kata, tapi begitu di depannya, semua hilang, aku kehilangan kata-kataku di depannya, seolah apa yang aku siapkan itu sia-sia adanya, Ren!" wajah Lisa begitu frustrasi.
Saran utama masih sama di mana Renata meminta Lisa mencari waktu yang tepat dan segera memberanikan diri karena masalah anak bukan dan tidak tergantung pada program yang ada, melainkan ketetapan pasti dari Tuhan yang datangnya bisa kapan saja, tentu tak bisa mereka tolak.
"Kalau dia bilang kamu selingkuh lagi waktu melamun, kamu coba pancing jawab ke dia, bilang dia tidak jelas selama ini!" cetus Renata.
"Astaga, bisa digantung aku di rumah, Ren." bukan digantung sungguhan, jawaban begitu jelas menorehkan luka dan mencabik harga diri seorang suami, Lisa tak akan seberani itu berhadapan dengan suaminya. "Dia sudah datang, aku ke sana dulu ya, telat sedikit saja dia pasti-"
"Lisa, mau sampai kapan kamu patuh cuman karena ingat orang tuamu dan takut saja, patuhlah karena hatimu di dia, Lisa!" potong Renata.
Itu, itu yang sulit bagi Lisa, sejauh ini dia merasa sekadar takut menorehkan luka yang nantinya tentu membuat kedua orang tuanya sedih.
Ucapan Renata benar, Lisa akui itu.
"Gi, kenapa?" kenapa cemberut begitu sih!