webnovel

BAB 17

Adrian melihat adiknya yang sedang duduk di kursi tepi kolam renang. Terkadang dia lupa bahwa itu bukan Alexa tetapi Kaylee. Kaylee masih berada di tubuh Alexa dan mereka masih menunggu kedatangan guru spiritual bu Rina yang akan datang besok. Adrian memutuskan untuk mengenal wanita yang berada di tubuh adiknya. Dia berjalan mendekati Kay yang tengah sibuk menulis sesuatu di buku dengan sampul berwarna merah muda berbahan kulit. Adrian berdeham untuk menarik perhatian Kay dan tidak mengejutkannya. Kay berhenti menulis dan menoleh ke arahnya dengan senyum terpampang di wajah. Adrian membalas senyuman dan meminta ijin untuk bergabung dengannya yang dijawab anggukan oleh Kay. Adrian duduk di kursi sebelah yang menghadap kolam renang dengan meja kecil yang memisahkan mereka berdua.

"Apa yang kau tulis?" tanya Adrian setelah beberapa menit hening.

"Aku menulis beberapa kejadian yang terjadi selama aku di sini. Kupikir Alexa perlu tahu sehingga dia tidak akan bingung ketika dia kembali." Ujar Kay yang melanjutkan tulisannya.

Adrian mengangguk. Dia pikir itu adalah keputusan yang tepat meski Alexa mungkin tidak perlu mengetahui kejadian tentang penculikan tapi Adrian percaya Kay tidak akan melakukannya. Keduanya terdiam. Adrian menatap Kay yang masih sibuk menulis. Dia mengamati Kay yang sebenarnya tidak perlu karena bagaimana pun juga Kay masih ada dalam tubuh adiknya. Entah mengapa Adrian mulai membayangkan tubuh Kay yang masih terbaring di rumah sakit kini duduk di tempat adiknya sekarang. Dia bisa melihat bagaimana rambut panjangnya yang berwarna cokelat mengalir indah di pundaknya ketika Kay membungkuk. Bagaimana bulu matanya yang lentik berkibar ketika Kay mengedipkan matanya. Dan bagaimana bibirnya yang tampak lembut tersungging senyum lembut padanya. Khayalannya berhenti ketika dia mendengar suara seseorang membersihkan tenggorokannya. Adrian mengedipkan matanya berkali-kali dan melihat Kay kini tengah memandangnya sambil tersenyum geli. Kay menempatkan tangan kirinya di atas lutut sambil menopang dagunya. Adrian merasa panas di wajahnya. Dia pasti sudah menatap Kay terlalu lama.

"Jadi, apa ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?" tanya Kay yang masih tersenyum padanya.

"Apa?"

"Aku yakin kau datang menghampiriku bukan hanya untuk menatapku, bukan?"

Adrian menatap Kay terkejut dan melihat Kay yang kini tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Dia berdeham untuk menghilangkan kecanggungan dan memikirkan sebuah pertanyaan untuk Kay. Kay benar, Adrian memang sengaja mencarinya untuk menanyakan tentang Kay.

"Sudah berapa lama kau bekerja di Red Moon?" tanya Adrian yang kini menghadapnya.

Adrian melihat Kay menyandarkan tubuhnya di kursi. Kay menatap ke arah langit dengan kernyitan di dahinya, menunjukkan dia sedang mengingat.

"Aku tidak ingat tapi kupikir itu dua atau tiga tahun. Awalnya aku dan Daniel bukan anggota tetap Red Moon karena pada saat itu pak Erwin menghubungi kami untuk bantuan. Kami selalu bekerja sama hingga akhirnya dia menugaskan kami untuk menjadi pengawal pribadi ketika melihat aku dan Daniel tidak melakukan apa pun. Dan semuanya berjalan begitu saja. Aku dan Daniel bahkan tidak memiliki ID Card yang menunjukkan kami anggota Red Moon. Meski begitu semua orang dan anggota yang lain tahu kami adalah bagian dari Red Moon." Jelas Kay.

"Jika aku boleh tahu, apa pekerjaanmu sebelumnya?" tanya Adrian merasa tertarik.

"Aku kuliah dan bekerja di sekolah inteligen. Di sanalah aku bertemu dengan Daniel. Kami berusia 19 tahun saat kami mulai diturunkan ke lapangan."

"Bukankah itu terlalu muda?"

"Memang, biasanya orang-orang akan ditugaskan ketika lulus tapi aku dan Daniel unggul dalam segala bidang sehingga kami mulai ditugaskan. Aku berhenti menjadi anggota inteligen ketika usiaku 23 tahun setelah mendapat kecelakaan yang membuatku koma selama satu bulan. Daniel masih bekerja di sana pada saat itu hingga usia 25 tahun dia berhenti bekerja."

"Kecelakaan apa?"

"Ah, itu karena salah satu anggota kami membuat kesalahan kecil dan semuanya menjadi kacau. Kau bisa membayangkan bagaimana lima agen berada di tengah-tengah pengedar dan bandar narkoba. Terjadi baku hantam dan tembakan di mana-mana, itu benar-benar kacau. Kami meminta bantuan, tentu saja, tapi itu memakan waktu cukup lama. Salah satu anggota tewas dan aku tertembak di bagian kepala. Daniel mengatakan bahwa dia pikir aku mati tetapi aku cukup beruntung. Dokter bilang peluru itu tidak mengenai saraf dan otakku sehingga tidak menyebabkan kematian atau cacat meskipun aku sering mengalami migrain di daerah yang tertembak."

Adrian menatap Kay yang sedang menceritakan pengalamannya. Kay tampak tenang dan bahkan tersenyum seolah-olah dia mengenang sesuatu yang indah, bukan tentang dia yang berada di ambang kematian.

"Apa kau dan Daniel bertemu pak Erwin ketika kalian bekerja sebagai agen?" tanya Adrian.

Adrian sangat tertarik dengan cerita Kay meski itu agak menakutkan baginya. Dunia yang digeluti Kay jauh berbanding dengan dunianya. Jika Adrian salah mengambil langkah maka perusahaannya akan jatuh bangkrut. Sedangkan Kay, jika dia salah melangkah maka nyawa menjadi taruhan. Itu lebih mengerikan untuk Adrian. Setidaknya dia akan membangun kembali perusahaan selama dia masih hidup.

"Tidak, aku bekerja sebagai agen lepas setelah dua tahun kejadian itu. Daniel keluar dari pekerjaannya dan memutuskan untuk menjadi agen lepas yang di dapatkan dari salah satu atasan kami juga. Tentu saja Daniel akan mengajakku setelah melihat keadaanku membaik. Pak Erwin pada saat itu membutuhkan jasa kami untuk menyelidiki tentang kasus kliennya yang terancam, seperti keluargamu. Dan dari situlah kami selalu bekerja sama."

"Jadi kau berhenti menjadi agen lepas dan menjadi anggota Red Moon."

"Eh tidak juga, aku dan Daniel masih mendapatkan kasus sebagai agen lepas dan pak Erwin tahu itu. Bagaimana pun menjadi agen lepas lebih menguntungkan dibanding pengawal pribadi."

"Benarkah? Berapa banyak untuk menyewa jasamu sebagai agen?"

"Tergantung pada kasus apa yang kami dapatkan. Aku bahkan pernah mendapatkan 200 juta rupiah untuk melacak keberadaan dan menangkap koruptor yang melarikan diri keluar negeri. Dan aku tidak mengeluarkan uang akomodasi sepeser pun."

Adrian menatap takjub pada Kay yang sekarang tersenyum lebar padanya. Itu sangat mengesankan tetapi terdengar pekerjaan yang sulit. Untuk melacak seseorang yang berada di luar negeri tidaklah mudah terutama ketika kita tidak tahu di negara mana orang itu akan pergi. Adrian masih menatap Kay dengan kekaguman. Senyuman lebar Kay kini tergantikan dengan senyum lembut dan dibalas oleh Adrian. Mereka saling menatap dengan senyuman terpampang di wajah.

"Kau tahu, sudah berkali-kali aku harus menghentikan diriku untuk menciummu." Ujar Kay sambil tersenyum.

Ucapan berani Kay membuat Adrian merona. Degup jantungnya semakin meningkat Kay tidak berhenti menatapnya dengan senyuman lembut di wajahnya.

"H-hei, kau tidak bisa berkata begitu ketika kau masih ditubuh adikku." Ucap Adrian dengan tergagap.

Adrian mendengar Kay menghela nafas berat.

"Aku tahu, itulah yang membuatku frustrasi."

"Aku ingin mengenalmu, Kay." Ucap Adrian berani.

Adrian menatap Kay yang tersenyum lembut padanya.

"Tanyakan apa yang ingin kau ketahui tentang aku."

"Tidak, tidak sekarang. Aku ingin mengenalmu ketika keadaan sudah kembali normal. Bisakah?"

Kay hanya menatap Adrian yang menunggu jawaban darinya. Bukannya sombong, Adrian tidak pernah mendapatkan penolakan dari wanita mana pun dan dia tidak pernah merasa gugup dengan wanita mana pun. Tetapi dengan Kay itu berbeda. Kaylee adalah wanita independen dan kuat, secara fisik dan karakter. Adrian merasa nyaman hanya berbicara dengannya. Keduanya menghabiskan banyak waktu dengan membicarakan hal acak terutama setelah Adrian mengetahui keadaan yang sebenarnya. Adrian sangat menyukai berbicara dengan Kaylee dan semakin tertarik untuk mengenalnya lebih jauh.

"Apa kau tertarik padaku?" tanya Kay.

"Iya."

Keduanya saling menatap dan tersenyum. Adrian melihat Kay menganggukkan kepala sebelum memalingkan wajah. Adrian tersenyum lebih lebar ketika mendapatkan jawaban dari Kay. Adrian memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan membiarkan Kaylee melanjutkan apa pun yang dia tulis di buku merah muda itu. Sayangnya Adrian tidak mendengar ucapan terakhir yang keluar dari mulut Kay.

"Hanya jika takdir memberiku kesempatan."

Adrian membawa Kay yang masih ada di dalam tubuh Alexa dan juga bu Rina ke apartemennya. Butuh usaha keras untuk meyakinkan orang tuanya untuk membawa Kay keluar dari rumah karena mereka masih cukup trauma dari penculikan yang terjadi. Adrian memberikan alasan kesehatan mental adiknya jika dia dikurung di dalam rumah sehingga orang tuanya memberikan persetujuan dengan syarat membawa salah satu pengawal, tentu saja atas bantuan dari Kaylee. Adrian melirik ke arah Kay yang menatap ke langit pagi dengan wajah datar. Dia tidak tahu apa yang ada di pikiran Kay. Ekspresi wajahnya tampak sedih ketika dia memberitahu bahwa dia bisa kembali ke tubuhnya. Apakah dia tidak senang? Apakah ada yang salah? Dia ingin bertanya tapi memutuskan untuk mencari tahu nanti. Mobil perlahan masuk ke dalam gedung apartemen bertingkat dan terparkir di antara mobil lainnya.

Adrian berjalan di samping Kay yang hanya diam sementara bu Rina berjalan di belakang mereka dengan pengawal. Adrian meminta pengawal untuk menunggu di ruang tunggu apartemen ketika mereka memasuki gedung. Untungnya pengawal itu hanya menurut tanpa bertanya. Ketiganya kini memasuki lift. Tidak ada yang berbicara. Ketegangan bisa dirasakan dari ketiganya dengan pikiran yang berkecamuk tentang hari ini. Guru spiritual bu Rina mengatakan bahwa dia akan melihat situasi dan kapan untuk melakukan pemindahan. Adrian memimpin jalan pada keduanya untuk memasuki kamar apartemennya setelah pintu lift terbuka.

"Apartemen yang bagus." Ucap Kay setelah memasuki ruangan.

"Terima kasih." Ucap Adrian singkat.

Itu adalah apartemen yang cukup besar bagi Adrian. Ada dua kamar tidur, dua kamar mandi, satu dapur dengan bar mini, ruang tamu yang digabung menjadi ruang TV. Adrian selalu merasa kesepian jika berada di sini sehingga dia lebih memilih untuk tinggal di rumah orang tuanya. Keduanya berada di ruang tamu sedangkan bu Rina menyiapkan minuman untuk keduanya dan tamu yang akan datang. Adrian menatap ke arah Kay yang saat ini berdiri di depan jendela yang menampilkan suasana kota. Kay hanya berdiri termenung sendiri. Adrian melihat tampilan sedih lagi di matanya. Dia tidak tahu kenapa Kay terlihat seperti itu. Adrian juga ingat tatapan Kay yang diarahkan pada Daniel setelah penculikan.

"Hei, apa hal pertama yang akan kau lakukan jika ini berhasil?" tanya Adrian. Itu terdengar bodoh tapi dia sangat putus asa untuk mengalihkan apa pun yang ada di pikiran Kay.

"Entahlah, aku belum memikirkannya. Mungkin aku hanya ingin Daniel membawaku ke suatu tempat." Ucap Kay yang kini menatap langit.

"Kalian tampak sangat dekat. Aku pikir dia adalah pacar atau tunanganmu." Ucap Adrian pelan dan berusaha untuk tidak terdengar cemburu.

Kay tertawa kecil mendengar ucapan yang dilontarkan Adrian lalu menggelengkan kepalanya, masih membelakanginya.

"Orang-orang selalu menganggap kami seperti pasangan tapi itu tidak benar. Aku mencintainya tapi bukan cinta seperti pasangan. Itu lebih dari itu. Aku hanya memiliki Daniel dan dia pun sama. Jadi begitulah kami berteman dan bersama." Ujar Kay.

Adrian ingin mengatakan sesuatu ketika suara bel pintu terdengar. Dia bangkit dari sofa dan membuka pintu yang menampilkan pria berusia 50 tahun berdiri di depan apartemennya. Pria itu memakai celana bahan berwarna hitam dengan atasan kemeja putih polos dengan lengan pendek serta sandal kulit berwarna cokelat sesuai dengan usianya. Meski begitu, pria itu memancarkan kebijaksanaan dan aura yang kuat. Pria itu tersenyum dan mengangguk tanda hormat pada Adrian yang kemudian dipersilakan masuk oleh Adrian. Dia mengantarkan pria itu ke ruang tamu di mana Kay menunggu dengan bu Rina yang kini meletakkan minuman dan camilan di atas meja. Adrian melihat Kay masih menatap langit tanpa menoleh ketika mereka duduk di sofa. Sebelum Adrian bisa memanggil Kay, dia mendengar pria itu memperkenalkan dirinya.

"Nama saya Agus, guru spiritual bu Rina. Jika kau tidak keberatan, nak, bisakah bapak melihatmu?" tanya pak Agus yang ditujukan untuk Kay.

Adrian mendengar Kay menghela nafas lalu mengangguk. Dia bisa melihat Kay seperti mempersiapkan dirinya sebelum berbalik dan berjalan ke arah sofa. Dia duduk di samping Adrian dan menatap langsung ke pak Agus. Adrian melirik ke arah bu Rina yang menatap pertukaran aneh antara Kay dan pak Agus melewati tatapan masing-masing. Adrian bisa mengerti kenapa, ketika pak Agus menatapnya seolah dia membaca jiwamu yang paling dalam. Adrian tidak begitu menyukainya karena seolah dia merasa ditelanjangi.

"Kamu wanita yang baik, nak. Meski begitu auramu sangat kuat sehingga bisa menakuti lawanmu hanya dengan tatapan." Ucap pak Agus sambil terkekeh, yang diikuti oleh Kay sambil menganggukkan kepalanya.

"Apa kamu sudah melihat tubuhmu sendiri? Kapan terakhir kalinya?" tanya pak Agus.

Adrian dan bu Rina hanya terdiam mendengarkan percakapan mereka.

"Aku tidak begitu ingat kapan tepatnya, mungkin beberapa hari yang lalu." Ucap Kay.

"Apa kamu melihat sesuatu?"

"Iya, sebuah cahaya di tubuhku dan itu meredup."

Pak Agus sedikit terkejut sebelum menghela nafas dan menganggukkan kepalanya.

"Kamu sudah tahu apa yang akan terjadi, bukan?" tanya pak Agus

"Tidak juga, tapi aku bisa menebak." Ucap Kay sambil tersenyum pada pak Agus.

Adrian menatap bolak-balik pada keduanya. Dia tidak mengerti dan dia tidak tahan untuk bertanya.

"Apa yang kalian berdua bicarakan?" tanya Adrian.

Pak Agus dan Kay hanya saling menatap sebelum melihat Kay menganggukkan kepalanya hingga Pak Agus mulai menjelaskan.

"Ada kemungkinan bahwa nona ini tidak bisa selamat." Jelas pak Agus.

Adrian terkejut mendengarnya. Dia juga bisa melihat bu Rina juga memiliki reaksi yang sama. Dia menoleh ke arah Kay yang hanya menganggukkan kepalanya dengan ekspresi tenang.

"Ada dua pilihan untuk nona ini. Satu, dia bisa menempati tubuh ini tetapi itu akan membuat pemilik tubuh itu meninggal. Dua, dia bisa merelakan kehidupannya. Pilihan itu ada di tanganmu, nona." Ujar pak Agus.

"Apa?" tanya Adrian dan bu Rina secara bersamaan.

Adrian melihat Kay yang masih menundukkan kepala dengan wajah tanpa ekspresi. Adrian menggeser lebih dekat ke arah Kay lalu menggenggam tangan kanannya. Kay menoleh ke arahnya dan mereka saling menatap. Kay hanya tersenyum sedih dan menepuk tangan Adrian.

"Jangan khawatir, adikmu akan kembali." Ucap Kay.

"Tapi... Bagaimana denganmu? Tidakkah ada kemungkinan dia bisa selamat?" tanya Adrian yang mengajukan pertanyaan terakhir pada pak Agus.

"Itu bisa terjadi tetapi kemungkinannya sangat kecil. Nona ini melihat cahaya kehidupannya semakin memudar dan hanya dia yang bisa melihatnya. Saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk itu." Jelas pak Agus.

"Kau sudah tahu?" tanya Adrian lemah pada Kay.

"Aku tidak paham tapi aku memiliki firasat seperti itu." Ujar Kay.

"Ah, aku harus menyerahkan ini sebelum aku pergi." Lanjut Kay sambil mengeluarkan flashdisk dari saku celana jeans dan menyerahkannya pada Adrian.

Adrian menatap flasdisk sebelum menoleh ke arah Kay dengan tatapan bingung.

"Itu salinan CCTV dari jalan dan mobil yang aku kendarai di malam aku menabrak Alexa. Di sana kau bisa melihat siapa pelaku yang membuat adikmu celaka. Dia tidak bunuh diri. Aku tidak yakin apa Alexa mengingatnya atau tidak tapi seandainya dia ingat, biarkan dia mengambil keputusan. Sebagai kakak, kau hanya harus meyakinkan Alexa agar dia tidak menyesali apa pun keputusan yang diambilnya terutama berdasarkan emosi semata." Jelas Kay.

"Kau...ini...ini tidak adil untukmu, Kay. Kamu melakukan segalanya untuk keluargaku dan kau hanya akan mengorbankan dirimu?" ucap Adrian dengan suara tercekat.

"Kau mengatakan itu seolah aku adalah orang paling baik di dunia ini." Ucap Kay sambil terkekeh.

"Aku sudah menikmati hidupku dengan baik jadi aku ingin memberi kesempatan pada Alexa untuk melakukan hal yang sama. Jika aku memilih tinggal, itu tidak akan adil untuk Alexa. Dia memiliki keluarga yang menunggunya pulang. Jika aku pergi, hanya Daniel yang bersedih dan aku yakin dia akan belajar merelakanku. Aku tidak punya siapa-siapa untuk bersedih, Adrian. Jadi tidak masalah bagiku untuk pergi." Lanjut Kay.

"Bagaimana denganku? Kau mengatakan bahwa aku bisa mengenalmu ketika semuanya kembali normal."

Adrian merasakan Kay mengelus wajahnya dengan senyuman lembut di wajahnya.

"Aku akan melakukannya jika itu bisa terjadi. Kau tahu, aku tidak pernah percaya dengan reinkarnasi. Tapi jika aku tidak bisa menjadi Kaylee lagi, aku harap aku terlahir kembali dan bertemu denganmu di kehidupan selanjutnya dalam keadaan yang tidak rumit seperti ini."

Adrian memeluk Kay dengan erat. Tanpa sadar air mata mengalir di wajahnya. Takdir ini tidak adil untuk Kay. Ini juga tidak adil untuknya. Dia bahkan belum mengerti perasaan yang dimilikinya untuk Kay, apakah itu rasa suka atau cinta tetapi dia tidak mendapatkan kesempatan untuk menyelam lebih jauh. Adrian merasakan Kay menepuk punggungnya dengan lembut.

Adrian menarik tubuhnya menjauh secara perlahan dan menatap mata Kay. Dia melihat Kay tersenyum padanya.

"Bapak pikir ini saatnya." Sela pak Agus.

Kay menoleh ke arah pak Agus lalu menganggukkan kepalanya. Adrian bangkit dari sofa setelah pak Agus meminta Kay untuk merebahkan tubuhnya. Adrian berdiri di sisi sofa sambil melihat ritual atau apa pun yang akan dilakukan pak Agus. Dia melihat Kay menatap matanya dan tersenyum sebelum menutup kedua matanya. Lalu pak Agus mulai memegang kepala tubuh adiknya sambil menggumamkan kata-kata yang tidak didengar oleh Adrian.

Adrian merasakan bu Rina menggenggam lengannya tetapi Adrian tidak mengalihkan tatapan pada wajah adiknya yang tampak tertidur. Setengah jam menegangkan telah berlalu dan ia melihat pak Agus melepaskan kepala Alexa dengan wajah yang berkeringat. Dia menunggu untuk melihat mata adiknya terbuka. Adrian bingung dengan apa yang dia harapkan. Di satu sisi, dia ingin adiknya kembali tapi di sisi lain dia ingin Kaylee. Pak Agus meminta Adrian untuk memindahkan tubuh Alexa di kamar, yang dilakukan oleh Adrian. Ketiganya kini duduk di kursi yang disediakan dalam kamar, menunggu Alexa terbangun. Adrian mendengar bu Rina dan pak Agus berbincang-bincang dengan suara pelan tetapi Adrian tidak mengalihkan mata dari adiknya.

Kumohon selamatkan Alexa. Selamatkan juga Kaylee.

Tiba-tiba Alexa menghirup nafas dengan tajam hingga terbatuk yang membuat ketiga orang dewasa itu mendekat ke arahnya. Adrian melihat bu Rina memberikan segelas air putih pada adiknya yang meminum secara perlahan. Adrian kemudian melihat Alexa yang menatap bu Rina dan pak Agus sebelum tatapannya beralih pada Adrian. Tiba-tiba Alexa memeluk Adrian dengan erat yang tidak dibalas Adrian karena dia merasa bingung. Apa ini Alexa? Batinnya.

"Kakak, aku senang melihat kakak. Aku pikir aku sudah mati." Ucap Alexa sambil terisak-isak.

Adrian menjauhkan tubuh Alexa dengan lembut dan menatap wajah adiknya.

"Alexa?" panggil Adrian.

"Iya, ini aku, kak." Ucap Alexa yang masih menangis namun menatap bingung pada Adrian.

Adrian memeluk adiknya kembali dengan erat. Dia senang sekaligus sedih.

Bagaimana denganmu, Kaylee? Apakah kau hidup?

Itu adalah pikiran yang selalu mengganggunya. Dia tidak akan merasa tenang sampai melihat sendiri Kaylee dengan kedua matanya. Dan dia akan mencari tahu secepatnya.