webnovel

Joe Ricard

Seorang bocah lelaki tampak tersenyum melambaikan tangan ke arah seorang pria dewasa dengan tahi lalat di hidungnya.

"Hati-hati, Ayah!" teriak bocah itu sebelum mobil sang Ayah ditabrak oleh sebuah mobil hitam dengan plat B11L.

Wajah kaget pun tergambar jelas. Bocah itu segera berlari mendekati mobil untuk memastikan keadaan sang ayah. Suara ledakan yang cukup kuat membuat Ibunya turut berlari keluar mendekati Joe yang tampak terus mencari sosok sang ayah. Dengan penuh kasih dan tangis haru, sang ibu terus memeluk Joe. Namun tak sedikit pun Joe menunjukkan wajah sedih. Ia terus mencari keberadaan sang ayah yang ia yakini masih hidup.

Joe Ricard kini sudah tumbuh dewasa, dengan tubuh jangkung berkulit putih dengan rambut kecoklatan, ia tersenyum ramah dan tampak menikmati setiap langkahnya.

Dari arah pintu masuklah seorang gadis dengan tubuh yang berisi memakai pakaian ketat. Ia berjalan melenggok hingga menonjolkan bokongnya. Beberapa pemuda tampak menatap ke arahnya. Mereka saling berbisik yang kemudian bersiul. Namun wanita itu tampak tak perduli.

Disaat wanita itu melewati meja para pemuda tadi, salah satu dari mereka menepuk bokong gadis itu dengan telapak tangannya. Hingga membuat ia berbalik badan dan menatap penuh kemarahan kepada Joe yang sedang berdiri di belakangnya.

Tanpa ragu wanita itu melayangkan telapak tangan kanannya tepat di pipi kiri Joe. Lalu pergi begitu saja meninggalkan Joe yang tengah meringis kesakitan.

Semua pengunjung tampak tertawa melihat keadaan Joe. Begitu pula para pemuda yang tampak begitu senang akan penderitaan Joe.

Tak mampu menahan emosinya, Joe segera mendekati meja para pemuda itu. Ia meletakkan nampannya dengan sangat keras hingga menimbulkan bunyi yang cukup kuat. Membuat banyak mata beralih ke arah mereka.

"Apa yang kalian lakukan?" teriak Joe dengan tatapan kebencian.

Para pemuda itu mengabaikan Joe dan mereka terus menertawakan ke arahnya. Joe dengan berang menarik salah satu kerah baju pemuda yang tertawa paling keras. Dia pemuda yang menyentuh bokong wanita itu dengan tangannya.

"Sialan kau!"

"Apa yang ingin kau lakukan? Memukulku? Silakan saja!" ungkap pemuda itu dengan angkuhnya.

Merasa tertantang, Joe pun tak segan-segan melayangkan pukulan tepat diantara hidung dan pipinya. Hingga membuat tubuh pemuda itu kembali terduduk dan terdorong hingga menimpa teman yang duduk di sampingnya.

"Kau pikir, kau siapa?" teriaknya dengan nada tak senang.

"Kau!" teriak Joe yang kembali ingin menarik tubuh pemuda itu. Namun manajernya datang untuk menengahi keduanya.

Pemuda itu kembali terduduk, ia merasa ada sesuatu yang menetas dari lubang hidungnya. Tangannya mulai meraba dan benar saja, ada darah segar keluar dari sana. Ia pun mulai meringis karena rasa sakit yang mulai terasa.

"Aku akan menuntut tempat ini!" teriak pemuda itu yang kemudian pergi meninggalkan kafe begitu saja.

"Joe, ikut aku!" pinta si manajer dengan nada tegas.

Para pengunjung tampak kesal akan sikap pemuda tadi. Mereka mengetahui kejadian yang sebenarnya, namun mereka juga tak menyangka kalau Joe berani meninju pelanggannya sendiri.

Joe diminta duduk di sebuah kursi yang ada di hadapan meja kerja manajer. Sedangkan manajer itu sendiri duduk membelakangi Joe dan menatap ke arah jendela.

"Apakah kau tahu apa yang menjadi kesalahanmu?"

"Dia yang melakukannya. Dia ...."

"Diam, Joe! Apa kau tak tahu betapa sulitnya keadaan kafe saat ini?"

Joe terdiam dan hanya menatap kaku manajernya. Ia benar-benar kesal akan sikap para pemuda itu. Ia begitu nekad memukul mereka bukan hanya sekedar karena tamparan yang ia dapatkan, melainkan karena tindakan mereka yang sudah keterlaluan terhadap pelanggan wanitanya.

"Sepertinya aku tak lagi bisa mempertahankanmu, Joe. Terima kasih dan ambil uang ini. jangan pernah kembali lagi!"

Joe dengan kasar meraih amplop yang sudah dilemparkan ke arahnya. Membuang safron yang ia gunakan ke lantai dan melangkah mendekati loker. Joe mulai mengambil semua barang-barangnya yang ada di sana. Menggunakan topi dan melangkah keluar.

"Joe!" teriak Cecil, wanita cantik yang selalu bersikap lembut padanya. "Apakah kau akan pergi? Mengapa kau mengambil semua barang-barangmu!"

"Selamat tinggal, Cecil!" ungkapnya yang tak ingin banyak tanya. Biasanya ia akan menggunakan banyak cara untuk bisa berbicara dengan Cecil. Namun kali ini, justru ia yang tega mengabaikan Cecil begitu saja.

Joe melangkah kesal, ia terus menendang batuan kecil yang ia temukan di jalan. Tak memiliki kendaraan, membuat ia harus melewati perjalanan dengan bus. Tak tahu harus kemana, ia pun memutuskan untuk duduk di halte sambil menunggu bus yang akan membawanya pulang.

Matanya menatap ke arah amplop putih yang berisi gaji terakhirnya. Ia kini tak memiliki siapa-siapa. Hidup sebatang kara di apartemen kecil peninggalan Ibunya. Wajah Joe terlihat sedih kala melihat jumlah uang yang ada di genggamannya. Uang segitu tak akan mampu memenuhi kebutuhannya sampai sebulan.

Berniat menenangkan hati, Joe kembali melangkah menuju sebuah kafe kecil yang ada di persimpangan. Memilih duduk di kursi yang ada di sudut ruang.

Asik menatap sekitaran, mata Joe pun menangkap sosok gadis cantik dengan rambut disanggul ke atas. Ia terlihat mesra bergelanyut manja ke tangan pria yang ada disebelahnya.

Joe bangkit dan menarik dengan kasar tangan gadis itu. Membuat semua mata melirik ke arah mereka. Pria yang bersama gadis itu tampak tak senang dengan perlakuan Joe. Ia pun menepis kasar tangan Joe. Namun berbalik dengan sikap gadis itu. Ia hanya diam dengan wajah bingung.

"Kau tahu siapa dia? Dia kekasihku!" bentak Joe dengan penuh amarah.

Lelaki itu terdiam dan melirik ke arah gadis yang sedang ia genggam tangannya. Gadis itu pun terdesak, dengan raut wajah penuh penyesalan ia pun berkata, "maaf Joe, itu dulu. Aku tak lagi bisa bersamamu."

"Kenapa? Apa yang bisa kau dapatkan dari pria seperti dia?" tanya Joe dengan tangan yang terus menunjuk ke arah pria yang ada di sebelahnya.

"Dia punya segalanya yang tak kau punyai. Sorry ...."

Gadis itu pun meminta kekasih barunya untuk pergi meninggalkan kafe. Lambaian terakhir penuh kemenangan diperlihatkan lelaki itu. Tersenyum sambil mengejek ke arah Joe. Joe yang dikenal sulit mengontrol emosi pun dengan segera mengepalkan kedua tangannya, ia berniat mempora-porandakan meja kafe. Namun seorang pelayan dengan segera menahan tubuhnya dari belakang.

Joe memilih keluar setelah menyadari ada banyak mata yang menatap benci ke arahnya. Ia pun memilih duduk di pinggir jalan mencoba menenangkan hatinya.

Dari seberang jalan terlihat seorang nenek tua melangkah lambat. Sepertinya ia ingin menyebrang. Namun ada sebuah mobil besar yang melaju kencang, menyadari keadaan si Nenek, Joe pun dengan berlari menarik sang Nenek untuk menyelamatkannya.

"Terima kasih, Nak! Bisakah kamu mengantarkanku pulang? Rumahku berada di apartemen pahlawan nomor delapan C."

Tak bisa menolak, Joe pun setuju mengantarkan Nenek itu ke rumahnya. Sepanjang jalan Nenek itu berbicara sendiri. Awalnya Joe terlihat kesal mendengar ocehan si Nenek. Namun lama kelamaan ia tampak menikmatinya. Karena si Nenek hanya butuh didengarkan bukan dikomentari.

Si Nenek pun bercerita tentang kedua tetangganya yang tinggal tepat di sebelah kanan dan kiri si Nenek. Wanita tua yang sok muda, begitulah Nenek ini menjulukinya. Wanita yang bekerja sebagai guru dan terlalu ramah hingga membuat banyak penghuni apartemen itu kesal.

Sedangkan yang bagian kanannya tinggal seorang duda yang terlihat jarang pulang. Ia bekerja pada pagi hari dan pulang ditengah malam. Menyebabkan si Nenek terbangun karena langkahnya yang kuat.

Joe pun tiba di apartemen dimana si Nenek berada. Ia bermaksud hanya mengantarkan si Nenek sampai di sana saja. Namun si Nenek memaksa dan memintanya masuk.

"Tak memberikan apapun kepada orang yang sudah menolong kita itu sikap yang buruk. Secangkir teh setidaknya," ucap si Nenek yang kemudian menarik tangan Joe untuk menaiki lift bersamanya.

Joe terlihat pasrah. Hari ini merupakan hari terburuk baginya. Meski ia diminta ikut untuk ditraktir segelas teh, namun entah mengapa ia merasa tak senang. Padahal ia tak pernah melewatkan sedikit pun tawaran yang diberikan padanya, apalagi ia tak perlu mengeluarkan uang. Maka semua akan diterimanya dengan senang hati.

Nenek itu tinggal dengan seorang pembantu yang pulang hari. Namun hari ini pembantu itu tidak datang, hingga membuat si Nenek harus pergi sendirian. Nenek itu meminta Joe duduk dengan tenang, sedangkan ia membuatkan segelas teh melati kesukaannya.

Joe begitu ingin segera pergi dari sana dengan cara menghabiskan teh itu secepat mungkin. Namun yang terjadi, si Nenek duduk di pegangan sofa. Tangannya membelai lembut dada Joe yang membuatnya merinding. Nenek itu semakin berani dan membuat Joe menolak si Nenek dengan keras dan ia pun terbangun.

"Apakah kamu begitu lelah? Teh melati selalu berhasil membuatku tidur pulas, Nak!"

Entah sejak kapan Joe tertidur. Namun ia segera pamit pulang setelah memastikan gelas teh sudah kosong.

"Kau akan menemukan yang kau cari. Ikuti kata hatimu! Kejayaanmu hampir tiba," ucap sang Nenek tepat sebelum langkah kaki Joe keluar dari apartemennya.

Saat ia melangkah keluar, ia melihat ada beberapa polisi yang tengah memasuki kamar apartemen yang ada di sebelah si Nenek.

Joe pun melanjutkan langkahnya. Sesuatu terjatuh dan tanpa sadar tertendang olehnya. Benda itu masuk ke dalam apartemen yang dijaga polisi. Dengan menyelinap ia pun melangkah masuk ke sana. Tanpa sadar ia pun diketahui oleh polisi yang tengah berjaga. Joe pun berlari keluar untuk menghindari para polisi. Niat hanya untuk mencari bendanya yang terjatuh, Joe justru membuat dirinya menjadi kejaran polisi.