webnovel

Bab 6

"Kenapa kamu ada disini, setelah semalam perampok datang dan merusak semua perabotanku!" tanya Nara.

"Nah, justru aku kemari untuk menyelidiki itu! Sebenarnya ... oh, maaf aku belum bisa menceritakannya pada kalian. Yang pasti aku bukan perampok atau perompak atau apalah itu yang ada di pikiran kalian!" tegasnya.

Tanpa rokoknya, Sapto seperti bocah kecil yang kehilangan mainannya, seakan itu menjadi nyawa keduanya. Setelah padam, semangatnya pun redup, sungguh pria pecandu yang tak mungkin meninggalkan kebiasaan itu.

"Hey ... tu—tunggu, apa kalian melihat korekku?" Sapto mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya .

"A—aku tidak tahu!" tangkis Nara mencoba mengelak. Korek itu telah melambung tinggi akibat tebasannya melintasi taman bunga dan entah mendarat dimana.

"Pakai punya ku saja!" Rendra menyalakan rokok yang digigit Sapto.

"Oh, iya. Kenapa kau melakukan siaran langsung dirumahku?"

"A—aku penggemar bunga. Hahaha!" balas Sapto. Semakin ia mencoba menyembunyikan sesuatu, semakin jelas bahwa itu bohong.

"Ren? Bukankah halte rumahmu masih satu jam perjalanan lagi dari sini? Kenapa bisa tiba-tiba muncul di pekaranganku?" tanya Nara.

"Oh, i—itu a—aku ...."

"Kalian ... tak sengaja mengatur ini semua, kan?" tunjuknya ke arah pria-pria yang duduk di sofa ruang tamunya.

Sapto tak sengaja melihat foto keluarga Nara yang menggantung di dinding. Prasangkanya benar, Nara memang anak dari perawat yang meninggal lima belas tahun silam, namun yang membuatnya penasaran kemana perginya dua orang laki-laki yang ada di foto itu.

Malam semakin larut dengan kabut yang mulai memasuki ruang tamu itu, Rendra kembali melanjutkan perjalanan menuju rumahnya, hanya Sapto dan Nara yang tersisa di ruang tamu itu. Setelah tahu apa yang terjadi kepada Nara malam itu, ia memintanya untuk membuat laporan ke kantornya.

"Kamu yakin, akan tetap tinggal di rumah ini sendirian?" tanya Sapto.

"Aku akan tinggal sampai surat pengajuan pindah ke asrama rumah sakit disetujui oleh pimpinan!" sahutnya.

"Baiklah, kalau begitu jangan lupa besok pagi, ya! Temui aku di kantor, aku akan mengurusnya!" Pamit Sapto meninggalkannya berjalan melewati pekarangan yang di kelilingi oleh bunga-bunga Hortensia milik Nara. Satu-satunya jalan penghubung antar desa yang sepi, hanya lampu-lampu remang sebagai sumber cahayanya. Ketika menyebrangi ruas jalan itu, tiba-tiba titik merah tertanda tepat di jantung Sapto. Ia menyadari bahwa seseorang telah membidiknya dari kejauhan, "Sial!"

Peluru kaliber 7,6 senyap meroket malam itu, namun meleset menciderai bahu kanannya. Kemanapun Sapto mencoba melarikan diri peluru-peluru itu tetap saja mengikutinya. Sapto kembali ke rumah tua itu, menyadari bahwa Nara juga akan dalam bahaya, jika menginggalkannya seorang diri.

Tangan kekar itu dengan mudah mendobrak pintu rumah Nara, masuk untuk berlindung di balik tembok-tembok bata. Nara beranjak dari tempat tidurnya mendengar suara dobrakan, terkejut melihat Sapto memegangi bahunya yang tertembak.

"Dokter! Cepat berlindung!" bentak Sapto.

Hujan peluru memecahkan kaca jendela, puluhan peluru bersarang pada dinding ruang tamu.

Pandangan Nara terpaku pada peluru yang merobek lapisan cat di dinding rumahnya. Ia terdiam seperti patung di depan pintu kamarnya, kelopak matanya tak bergerak sedikit pun.

Cuarrr!!! Duarrr!!! Prankk!!!

Peluru-peluru itu semakin membabi buta menghancurkan ruang tamu. Sapto berlari menghampirinya, memasang punggung kekarnya untuk melindungi Nara.

"Hei, kita harus lari!" bisiknya.

Prankkk!!! Crankk!!! Duarrr!!!

Satu peluru lagi bersarang di tubuh Sapto,"Arghhh, Dokter! Kita harus cepat!"

Dalam dekapan tubuh kekar itu, air mata Nara pun jatuh. Seseorang berdarah di hadapannya, namun ia tak sanggup mengobati lukanya.

"Tenang, kamu akan baik-baik saja!" Ucap Sapto memeluk Nara yang ketakutan.

Laser itu membidiknya, tak henti menyoroti dinding-dinding dalam rumah itu diikuti peluru-peluru yang melubangi semua jendela yang ada. Sapto membawanya keluar melalui pintu belakang rumahnya menyusuri kebun bunga yang membelukar.

"Sstt! Lihat pria bersenjata itu?" tunjuk Sapto ke orang yang sedang mengobrak-abrik rumah Nara.

"Iya, aku melihatnya. Tapi ... Kamu ... bahumu terluka ...."

"Dokter, tunggu aku di mobil itu! Aku segera kembali ...." pinta Sapto.

"Jangan, hey!"

Sapto kembali kerumah itu tanpa berbekal senjata apapun. Ia mematikan saklar listrik rumah itu, seluruh ruangan menjadi gelap gulita, hanya tersisa cahaya bintang di atap-atap malam.

Di dalam ruangan yang gelap ia mencari sumber cahaya merah yang menggaris di dalam rumah itu. Kamuflase dalam gelap merupakan keahlian Sapto. Suara langkah kaki terdengar menuju dapur, sontak ia menempelkan punggungnya di balik lemari es, sedangkan tangannya mengepal keras menunggu suara pijakan orang bersenjata itu mendekat.

Gubrak!!! Duarr!!! Prakkk!!!

Mereka berkelahi, Sapto berhasil menyingkirkan senjata api dari tangan pria itu. Ia menyeretnya keluar dari dapur yang gelap menuju halaman belakang. Senjata api nya terlempar kedepan pintu, pria itu mengeluarkan pisau lipat sebagai senjata kedua nya. Mereka bertarung dengan sengit, Sapto menambah luka ditubuhnya, sayatan demi sayatan di tubuhnya terlihat sangat dalam. Satu tusukan sengaja dihujamkan pria itu di bahu tepat di luka tembak Sapto sebelumnya. Sapto tak berdaya, pipinya nya lebam, wajahnya memar, telinga nya mengelupas mengeluarkan darah akibat sayatan pisau.

Pria itu kembali memungut senjata apinya. Pengunci pelatuknya terlepas, pertanda satu peluru siap meledak. Kedua tangannya menodongkan senjata itu ke kepala Sapto dengan sombongnya.

"Hey, anak buah Gustaf, berengsek! Sudah berapa kali kami peringatkan bosmu, jangan coba-coba menarik perhatian untuk kasus itu!" Ancam pria itu pada Sapto yang terlentang lemas di tanah.

"Hahaha ... apa kau bilang ... anak buah? Aku anak kandungnya, bukan anak buahnya! Bodoh!" tegasnya dengan muka babak belur.

"Hey, tenang! Jangan panik begitu, haruskah aku yang mengurus biaya pemakamanmu? Hahaha ...." Pria itu terus mengancam Sapto seolah-olah ia telah menjadi juara.

"Satu ... dua ... tiga ...." Sapto melipat tiga jari kanannya, telunjuknya menunjuk tanda merah di hidung pria yang sedang menodongkan senjata ke wajahnya.

"A ... apa ini? Sial!" ucapnya dengan panik.

"Boomm!" Teriak Sapto sembil mencium telunjuknya.

Peluru asing meledak dari atas pohon, melubangi kepala yang sedang menodongkan senjata api di jidat Sapto. Hidungnya hancur ditembus peluru panas, serpihan daging dan darahnya menjatuhi tubuh Sapto yang terbaring lemah.

"Ndan, anda baik-baik saja?" Ucap pengawal yang diminta oleh Gustaf untuk mengawasi Sapto. Ia keluar dari persembunyianya yang telah seharian mengamati Sapto dan Nara.

Dibantu pengawalnya Sapto tertatih menuju mobilnya. Nara cemas menunggu di sebelah mobil dengan mata yang berkaca-kaca.

"Tolong, bantu aku tahan dibagian ini!" tunjuk Nara ke bahu yang terluka.

"Aku ... baik-baik saja. Jangan khawatir!" balasnya menahan rasa sakit.

"Diam!" Nara melepas sweaternya untuk menahan darah yang terus mengalir di bahu Sapto.

Mobil Jeep yang dikendarai pengawal itu melaju secepat kilat menuju rumah sakit polisi atas perintah Nara, sedangkan Sapto terbaring lemas di pangkuannya. Rahang dan giginya berkontraksi menahan sakit diseluruh tubuhnya, bibirnya pun memucat akibat kehilangan banyak darah.

"Maaf ... gara-gara aku, Dokter harus terlibat dalam situasi seperti ini ...." ucap Sapto berusaha membuka matanya yang berat.

"Tidak ... justru aku yang berterima kasih. Karenamu, aku masih bernafas saat ini! Maaf, aku telah mencurigaimu sebelumnya," balas Nara sambil menggenggam tangannya.

***

Sapto dirawat di ruangan khusus rumah sakit polisi oleh Dokter yang biasa menangani keluarganya. Dini hari itu, Nara tarik ke ruang pemeriksaan untuk dimintai keterangan. Ia dipaksa menceritakan kronologi penembakan terhadap Sapto, namun tak dapat mengelak tentang tayangan langsung yang menampilkan dirinya sedang memukuli Sapto hingga pingsan. Hal itu langsung membuatnya dinyatakan bersalah dengan pasal kekerasan terhadap Penyidik dan memungkinkan untuk mendapatkan hukuman tambahan atas percobaan pembunuhan terhadap Sapto.

Usai pemeriksaan itu, ia dibawa ke sebuah rutan wanita, ditempatkan di ruangan sempit dengan minim pencahayaan, hanya serangga-serangga yang menemaninya malam itu.

"Ada apa dengan hari-hariku? Mengapa begitu menyebalkan, ah!" Kakinya memanjang di lantai yang menjijikan, mengetok dinding ruangan itu dengan kepala bagian belakangnya

***

Nara yang tak sempat tidur harus menjalani pemeriksaan kedua di pagi itu, sedangkan Sapto masih menjalani perawatan di gedung rumah sakit polisi yang bersebelahan dengan tempat Nara ditahan.

"Syukurlah, kamu tidak ...." ucap Gustaf yang mondar-mandir di ruangan itu semalaman.

"Kesepakatan apa lagi yang ayah buat dengan gangster-gangster itu?" ketus Sapto yang baru saja sadar.

"Apa maksud kamu?"

"Ah ... sudah, lah. Dimana dokter itu? Aku harus menemuinya. Banyak hal yang harus aku bicarakan padanya!" imbuhnya sambil mencopot selang infus.

"Tungu ... dia sedang menjalani pemeriksaan. Wanita itu, yang telah menyebabkanmu jadi seperti ini, bukan? Dia harus menebus kesalahannya!" tegas Gustaf menahan selang infus.

"Lagi-lagi, ayah! Argh ... lepaskan!" Sapto menepis tangan Gustaf, ia keluar dari ruang perawatannya, berlari melewati koridor demi koridor dengan perban di seluruh tubuhnya dan menjadi pusat perhatian di gedung itu.