"Kak, sakit," ucap Gisel ketika Kenzo menariknya paksa. Bahkan pria tersebut mengabaikan Gisel yang tertatih ketika mengikuti langkah lebarnya. Beberapa kali Gisel harus terkilir karena ulah sang kakak yang tidak memiliki hati sama sekali. Genggaman di tangannya pun terasa semakin mengerat.
"Kak Kenzo, sakit," kata Gisel kembali, berusaha menyadarkan sang kakak yang seakan begitu tuli.
Namun, hasilnya tetap saja sama. Kenzo masih terus melangkah masuk dengan langkah lebar. Beruntung Gisel menggunakan sepatu kets dan bukan sepatu berhak tinggi. Kalau menggunakan sepatu dengan model seperti itu, dia yakin kakinya akan semakin terasa sakit karena perlakuan Kenzo yang memang tidak pernah ramah dengannya. Pria tersebut bersikap manis hanya di depan kedua orang tua. Selebihnya, dia memperlakukan Gisel tanpa kelembutan sama sekali. Semua pekerja di sana tahu, tetapi tidak ada yang berani memberitahu sang papa karena mereka masih cukup tahu diri, tidak ingin menjadi korban Kenzo selanjutnya.
Kenzo menghentikan langkah ketika berada di depan pintu kamar. Dengan cepat, dia membuka pintu dan kembali melangkah masuk. Tangannya langsung mengunci pintu dan melepaskan genggamannya kasar, membuat Gisel terdorong dan hampir jatuh.
Hening. Gisel hanya diam dengan napas ngos-ngosan. Kepalanya mulai mendongak, menatap Kenzo yang mulai melangkah pelan dan mendekatinya. Aura tidak bersahabat dengan tatapan tajam membuat Gisel semakin bungkam dan menelan saliva pelan.
Astaga, apa lagi yang mau dia lakukan, batin Gisel dengan penuh waspada. Kakinya melangkah pelan, berusaha menghindari Kenzo yang terus mendekatinya. Bahkan, pandangan pria tersebut tidak beralih sama sekali, membuat Gisel merasa ada hal tidak beres yang akan terjadi. Hingga tanpa sadar, kakinya sudah berada di pinggir ranjang, membuat dia terduduk dan menatap ke arah Kenzo.
Gisel berniat bangkit dan kabur, tetapi niatnya gagal karena Kenzo yang sudah lebih dulu berdiri di depannya, meletakan tangan di sisi kanan dan kiri Gisel. Perlahan, Kenzo mulai menundukkan tubuh, mendekat ke arah Gisel yang sudah terlihat cemas. Bahkan, gadis tersebut mulai menatap kiri dan kanan, mencoba mencari celah untuk kabur dari sang kakak.
Namun, semua harapannya hanyalah sia-sia karena nyatanya tidak ada celah sama sekali untuk dia kabur. Hingga Kenzo yang melihat mengapit pipi Gisel, membuat gerakan gadis tersebut terhenti.
"Kamu kenapa, Gisel? Mau melarikan diri?" tanya Kenzo dengan penuh penekanan.
Iya karena aku tidak mau dekat dengan kamu, batin Gisel dalam hati. Dia begitu ingin mengatakan hal tersebut, tetapi lidahnya benar-benar kelu. Mulutnya terasa sulit untuk mengatakannya. Ditambah dengan tingkah Kenzo yang sudah berubah seperti semula, membuat Gisel semakin tidak berani mengatakannya. Dia hanya menatap ke arah Kenzo yang sudah menaikan sebelah bibir, memandang dengan raut wajah mengejek.
"Kenapa hanya diam, Gisel? Pita suara kamu juga mulai menghilang ketika mama kamu pergi?" Kenzo kembali berucap. Kali ini dia benar-benar menatap dengan senyum sinis, seakan merendahkan gadis di depannya.
Gadis? Kenzo terkekeh geli ketika mendengar sebutan yang baru saja dia berikan dengan Gisel. Dia tidak yakin jika sebutan tersebut cocok diberikan untuk adik tirinya. Meskipun dia tidak pernah memasukkan pusakanya ke dalam lubang Gisel, tetapi rasanya hampir setiap hari dia menyentuh tubuh perempuan tersebut, menikmati desah dan tangis yang selalu keluar secara bersamaan. Hingga dia menegakan tubuh dan menatap Gisel lekat.
Kenzo mulai melepaskan jas yang dia kenakan, melempar asal tanpa mengalihkan pandangan. Tangannya mulai mengendurkan dasi yang sudah terpasang rapi di lehernya, membuat Gisel tahu apa yang akan Kenzo lakukan.
"Kak, jangan. Aku harus ke kamps," cicit Gisel dengan wajah berubah cemas. Dia mulai mundur, berusaha menghindar dari Kenzo.
Namun, Kenzo yang melihat hanya diam. Dia terus mendekat ke arah Gisel yang sudah mulai takut, membuat senyum setan di bibirnya semakin terlihat. Inilah yang dia suka setiap kali melakukannya. Wajah takut Gisel seakan membuat hatinya menjadi begitu senang. Hingga dia yang melihat Gisel semakin menjauh langsung menarik kaki Gisel, membuat perempuan tersebut langsung berbaring.
"Kak, jangan. Aku harus ke kampus," ucap Gisel kembali.
Namun, nyatanya Kenzo tidak mendengarkan apa yang baru saja Gisel katakan. Tangannya langsung melepaskan kancing kemeja Gisel beserta kait penyangga, membuat dua gundukan besar terpampang di depannya. Gisel yang melihat tangan Kenzo mulai beralih ke bagian bawah langsung menutup kaki rapat.
"Kak, jangan sekarang," ucap Gisel dengan serius.
Kenzo yang melihat tangan Gisel menghalangi langsung menatap lekat dengan rahang mengeras. "Singkirkan tangan kamu atau mama kamu akan melihat seperti apa kamu di ranjang, Gisel. Supaya mama kamu juga tahu kalau kamu memiliki bakat yang sama dengannya," kata Kenzo penuh penekanan.
Mendengar hal tersebut, tubuh Gisel langsung menegang dengan kedua mata melebar, cukup terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia tidak ingin melihat mamanya bersedih apalagi kembali sakit karena hal tersebut. Mamanya memiliki penyakit jantung dan dia tahu kabar yang akan Kenzo katakan akan membuat kesehatan mamanya kembali memburuk. Hingga dia memilih mengalah, mengendurkan perlawanan dan membiarkan Kenzo melakukan apa yang pria tersebut mau.
Kenzo yang melihat Gisel mulai melemah langsung tersenyum sinis. Tangannya segera menaikan androk yang Gisel kenakan, menarik celan segitiga tersebut dengan geralan cepat. Dia memang selalu melarang Gisel mengenakan celana dan semua pakaian yang berada di lemari perempuan tersebut adalah pilihannya.
Kenzo mulai mendekat, menyamakan tubuhnya dengan tubuh Gisel. Senyum puas langsung terlihat ketika Gisel mulai menunjukkan raut wajah memucat dan air mata mengalir. Perlahan, jemarinya mulai mengelus pelan pipi Gisel, menghapus air mata perempuan di bawahnya.
"Jangan seperti seorang gadis yang belum tersentuh, Gisel. Aku bahkan setiap hari sudah menyentuh tubuh kamu, tahu seperti apa kondisi badan kamu. Bahkan kita sudah melakukan hampir tiga tahun dan aku harap kamu jangan bertingkah seperti gadis yang suci," ucap Kenzo tanpa ekspresi sama sekali. Bahkan tidak terlihat rasa bersalah di wajahnya.
Gisel yang mendengar hal tersebut langsung menutup mata, merasa sakit mendengar semua ucapan Kenzo. Dia memang sudah menjadi boneka Kenzo sejak dia tinggal di rumah tersebut, tepatnya setelah satu tahun dia menjadi keluarga Ainsley. Saat itu Kenzo memasuki kamarnya dan melepas paksa pakaiannya, tepat saat kedua orang tua mereka pergi. Gisel yang melawan pun tidak berhasil karena tenaga yang jauh berbeda, membuat Kenzo melakukan perbutaan kurang ajarnya.
Kenapa tidak melawan? Gisel pun ingin melakukannya. Namun, saat akan melakukannya, Kenzo memberikan sebuah rekaman di mana dirinya tengah mendesah dalam kukungan pria tersebut, membuat Gisel mengurungkan niat. Dia tidak ingin sang mama menjadi sakit karena dirinya. Ditambah belum tentu Kenzo akan disalahkan karena memang kamera tersebut hanya menyorot wajahnya, tanpa menunjukkan siapa pria yang tengah mempermainkan tubuhnya. Meski di satu sisi Gisel masih bisa bernapas lega karena Kenzo yang tidak pernah mencoba mengambil keperawannya, dia tetap saja takut karena hampir setiap hari Kenzo menyentuh tubuhnya.
Lamunan Gisel terhenti ketika sebuah lumatan dia rasakan, membuat air matanya kembali luruh. Tuhan, sampai kapan hal ini akan terjadi, batin Gisel mulai merasa lelah.
***