webnovel

Hilang Akal

"Jangan terlihat terkejut seperti itu. Semua orang tahu jika kau hanya bermain peran dengannya. Sekenario kalian sangat mudah ditebak. Setelah kasus ini selesai, kalian akan bercerai. Maka biar ku-ulangi lagi, sampai kapan kau akan bermain-main dengan acting pernikahan kalian?"

Apa yang ada dibenaknya? Pikirku dalam hati.

"Lux Hemel Immanuel, aku sudah tahu semua tentangnya. Aku meminta orang untuk mencari tahu semua tentangnya. Ia hanya memanfaatkanmu. Dan kau hanya memamanfaatkannya saja. berhentilah Vina." Katanya.

Aku mejawab setenang mungkin.

"Aku memiliki akta pernikahan sah tuan Budayana."

"Aku tak peduli dengan semua itu. Kau tak pantas melakukan semua itu demi dia. Kau pantas mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik. Jika masalahnya ada pada saham, aku yakin, kau juga bisa menghitung berapa besar kekayaan yang aku miliki. Berhentilah Vina, ini tidak baik!"

Aku mengambil nafas dalam-dalam. Apa yang terjadi denganku, tiba-tiba semua laki-laki menginginkanku? Apa aku memang sebaik itu sehingga pantas untuk diperebutkan. Bahakan sebelum ini, Andrew Lau pergi begitu saja meninggalkanku.

"Aku tak mengerti maksud anda Tuan."

Dia menyelaku.

"Ceraikan dia sekarang dan menikahlah denganku." Katanya lugas. "Aku tak memiliki apapun saat ini. Aku tidak akan mengecewakamu."

Aku tertawa dan mengambil tas tangan yang aku bawa. Aku berdiri.

"Aku bingung dengan kalian semua. Uang itu, ternyata untuk membuatmu mau menikahiku? Apa yang salah denganku sampai aku harus mengalamai semua ini. Kalian semua munafik!"

Puas mengatakan itu, aku pergi. Tuan Buyana terdiam di sofa besarnya. Ia terlihat shock dengan perkataanku. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin segera lari dan pergi dari semua ini.

"Nyonya, anda baik-baik saja?" tanya Hilda dari kursi kemudi.

"Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Terima kasih"

Di rumah, Lux sudah menunggu dengan Luke pengacara kami. Aku baru ingat hari ini aku harus bersaksi dalam kasus Georgia.

"Kau tidak tidur semalam dan matamu terlihat tidak baik" kata Lux menghampiriku.

Aku hanya terseyum dan bersiap. Aku tak mengatakan apapun. Aku lelah dengan semua orang dan semua laki-laki di sini. Aku mengambil ponsel dan melihat materi yang Luke tulis. Lux mengantarku ke persidangan hari ini. Luke terus mengoceh sepanjang perjalanan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh aku katakan.

Ini terdengar memusingkan.

"Luke, biarkan dia menjawab sesuai keinginannya." Kata Lux. Dan Luke segera diam. Tanpaknya Lux mengerti jika aku tak nyaman dengan arahan Luke.

Turun dari mobil, seperti biasa wartawan segara menyambut kami. Aku hanya memberikan pernyataan secukupnya. Aku segera masuk ke ruang persidangan den melepas kacamata hitamku.

Persidangan segera dimulai. Aku hanya satu-satunya saksi hari ini. Ini akan menentukan banyak hal. Hansel sudah datang bersaksi di hari sebelumnya.

"Nyonya Immanuel, anda tak menjawab satu pun pertanyaan saya."

Suara orang itu membuyarkan lamunanku.

"Anda tak memiliki apapun untuk dijelaskan bukan? Yang Mulia, kurasa sudah sangat jelas. Nyonya Immanuel, tidak bisa menjelaskan apapun. dengan demikian , klien saya bisa dipastikan adalah korban."

"Tidak tunggu!"

Kuasa hukum Georgia duduk. Aku kehilangan kesempatan untuk bicara. Para juri mulai berembuk. Apa yang aku sudah lakukan? Aku melamun?

"Sudah tidak apa-apa." Kata Lux yang sudah ada di sampingku. "Ayo ikut denganku."

"Tapi!" sanggahku.

Luke mendatangi kami. "Nyonya Vina, ini sudah berakhir. Kita harus segera keluar dari ruangan ini."

"Tuan Lux, aku benar-benar minta maaf", kata Luke.

"Sudahlah tidak apa-apa. Aku mengerti." Jawab Lux. Ia menuntunku keluar. Kami keluar paling akhir. Lux meminta Hildan untuk menjemput dari belakang. Kami tak ingin berhadapan dengan wartawan.

Georgia, dengan senyum manis diwajahnya menghadapi semua pertanyaan wartawan dengan penuh percaya diri. Wajahnya menghiasi Breaking news.

"Ini belum berakhir", kata Lux.

Waktu berjalan dengan sangat cepat. Entah apa yang terjadi, semua terasa semakin berat. Angela sudah menunggu dengan Penny dan Moore.

"Nyonya", katanya bangkit. Lux memberi kode agar ia kembali duduk. Lux menuntunku ke kamar. Dan seperti orang yang kehilangan akal sehat. Aku hanya menurutinya.

"Kau harus istirahat." Kata Lux. Ia menelepon dokter begitu aku terduduk di kamarku.

"Ada apa Vina, kau terlihat tidak sehat sejak kembali dari rumah Tuan Budayana. Apa dia melakukan sesuatu padamu?"

Aku hanya diam.

"Aku harus menemui Angela"

Lux menahanku. Ia tak berkata apapun dan hanya memandangiku. Seolah ia ingin mengatakan, diamlah. Jangan pergi kemana-mana.

Melihat tatapannya, aku seperti terhipnotis. Aku menurut dan kembali duduk.

"Leona akan datang sore nanti. Dia akan membantumu menyelesaikan masalah ini." Kata Lux.

Ia bangkit dan membuka pintu. Seorang dokter masuk dan segera memerikasa kondisiku. Entah apa yang ia bicarakan, ia hanya bicara pada Lux di luar pintu.

"Ia meresepkan obat penenang",Lux memperlihatkan padaku. Aku mengambilnya dan mengamat-amati obat itu.

Jika aku meminumnya, aku akan tertidur bukan?

Aku membuka dan mengambilnya. Saat hendak kumasukan mulut, Lux mangambilnya.

"Kau ingin mati?" tanyanya. "Dosis penggunaannya hanya satu tablet untuk satu hari."

Ia kemudian melempar lima butir obat yang ia ambil dari tanganku. Ia juga segera mengambil sisa obat yang ada padaku.

"Kau harus bicara pada Leona." Katanya lagi.

"Tidak, aku tidak mau!", teriakku. Lux menghentikan panggilannya dan mendekat padaku.

"Aku tak bisa membiarakanmu begini. Kau terlihat sakit." Kata Lux lagi. "Kau bahkan tidak bisa terbuka padaku. Ada apa denganmu?"

Tanpa sadar aku menteskan air mata. Itu membuat Lux semakin bingung. Ia segera meminta Leona untuk tidak jadi datang melalui panggilan telepon.

Aku pun tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Hanya menangis dan menangis. Tanpa memikirkan apapun aku juga menangis. Aku ingin menghentikan air mata ini, tapi ini tak mau berhenti. Apa ada yang salah dengan otakku?

"Vina, dengarkan aku. Vina…" kata Lux terus memanggil namaku. Aku menatapnya. Tapi aku merasa kosong.

"Tenang" katanya panik. "Leona tidak akan menganggumu. Tidak akan ada yang menyakitimu. Vina sadar. Vina" teriaknya lagi.

Semakin ia memanggil namaku, dadaku semakin sesak. Air mataku mengucur semakin deras. Aku ingin menghentikannya. Tolong, siapapun hentikan semua ini. Tubuh dan pikiranku semakin tidak terkendali.