Kudengar suara gaungan di lorong kini tidak terdengar lagi, namun kami masih takut untuk mencoba membukanya kembali. Mataku kini menyisiri area sekitar, disini gelap-hanya ada remang-remang cahaya yang terpancar dari celah pintu kayu. Saat kucoba membukakan pintu, rasanya percuma-pintu ini dikunci. Dan jangan minta kami untuk kembali ke Lorong itu lagi, membayangkannya saja sudah membuatku takut setengah mati.
"Kalian gapapa?" tanya Doyoung.
"Sayangnya gue gak bisa bilang gapapa Doy, ini diluar nalar. Abis ini pasti gue trauma." Sahut Taeyong.
"Untungnya gapap-astaga, darah? Doy, lengan kamu terluka?" tanya Emily yang melihat darah menetes di lengan kanan Doyoung.
Ternyata benar, sepertinya Doyoung terluka saat menolong Mark tadi. Lengan bajunya pun sedikit robek, mungkin hanya luka gores-tapi bagaimanapun dia harus segera diobati.
"Sorry, lo harusnya gak nolong gue tadi." Gumam Mark.
"Terus lo nanti gimana-hah?" sahut Doyoung menyela. "Ini cuma luka gores kok, bentar lagi kering-cuma harus ditutup aja pendarahannya."
Lantas aku mencari sesuatu untuk menutupi luka Doyoung-dan kini penglihatanku menyesuaikan dengan kegelapan di ruangan ini. Tanganku meraba-raba ke daerah sudut kiri pintu lorong. Oh ya, pintu itu tertutup lukisan besar-sepertinya keluarga pemilik rumah ini. Ada sepasang suami istri dengan anak kecil yang duduk di atas kursi, dia seorang laki-laki.
"Astaga," umpatku ketika sadar ada sepasang gaun pengantin di depanku. Warnanya hitam, rasanya agak menakutkan jika membayangkan sepasang pengantin berpakaian serba hitam saat upacara pernikahan. Sontak aku merobek ujung gaun itu dan melilitnya di lengan Doyoung yang terluka.
Sekarang kami mulai sibuk menjelajahi ruangan ini, terdapat lemari besar di sebelah kanan lukisan dan barang-barang kuno berserakan di sudut lantai.
"Mau lihat ke sana?" tanya Jaehyun.
Aku pun melirik ke arah yang ditunjuk Jaehyun, arahnya menuju sebuah keranjang besar yang terbuat dari kayu. Saat aku mendekat, terlihat tumpukan mainan anak yang sudah usang. Sebagian besar mainan itu terbuat dari kayu. Aku rasa ini mainan jaman dulu, rasanya aku pun baru sekarang melihat mainan-mainan yang bentuknya seperti ini. Mark mendekat dan mengambil beberapa mainan di keranjang itu. Okey-sifat kepo nya mulai kumat.
"Wah, semua ini mainan aneh." Sahut Mark yang memegang sebuah kotak besar yang mempunyai lubang diatasnya.
"Game time?" ujar Taeyong.
"Seriously?" pekik Emily. "Disaat kayak gini kalian mau main game?"
"Come on," ujar Mark memelas. "Terus kita mau balik lagi ke lorong?"
Emily mendengus kesal, aku bisa merasakan begitu cemasnya dia disaat seperti ini.
"Sam, Doy! ayo!" sahut Taeyong.
"Well-aku sih ikut-ikut aja." Ucapku, tapi aku kasihan pada Jaehyun yang tidak bisa bermain bersama.
Doyoung mendekati Mark dan merebut kotak itu. "Let's see the rules."
"Oke, judul permainannya Finding Christ-aturannya cuma tertulis ambil kartu dan temukan benda itu di sekitarmu. Kalau tidak bisa, kamu kalah." Jelas Doyoung.
"What? So boring," sahut Emily.
Taeyong terkekeh melihat ekspresi Doyoung dan Emily yang menunjukkan senyum cemberut mereka. "Wajar lah, permainan anak kecil."
"Okey, let me first." Sahut Emily yang langsung merogoh isi kotak itu.
Kami hanya terdiam saat Emily mengeluarkan sebuah kartu berbingkai motif aneh yang ia telungkupkan di dadanya. Saat ia melihat isi gambarnya, ekspresinya tak berubah-malah kedua sudut bibirnya makin terjun bebas ke bawah.
"Kunci," ujar Emily. "Relate sih sama yang kita cari sekarang, dan pasti kalaupun ada aku langsung buka pintu itu dan keluar dengan cepat."
"Jadi kamu kalah Em?" ujar Doyoung mencibir.
Emily hanya mengangkat kedua bahunya tanda tak peduli. Dilanjut dengan Doyoung yang sedari tadi sudah menggoyang-goyangkan kotak itu, kupikir banyak sekali kartu bergambar di dalam sana-terlihat sepertinya kotak itu lumayan berat.
"What?" sahut Doyoung saat langsung melihat kartu yang ia dapat.
"Apa?" tanya Taeyong.
Saat kami benar-benar penasaran dengan isi kartu Doyoung, terdengar suara langkah kaki dari luar sana. Bunyinya terdengar mendekat saat kami sadar langkah kaki itu terdengar semakin kencang. Kami pun membatu saat melihat ada bayangan kaki terhenti di depan pintu-seperti cahaya yang ada di celah bawah pintu terhalang kaki seseorang. Napasku tertahan saking tegangnya, bagaimana jika Jess menunggu kita di belakang pintu itu?
"S-siapa itu?" tanya Mark berbisik.
Doyoung menyodorkan kartunya di hadapan kami.
"Yang jelas gue harap bukan orang ini." Ucapnya.
Terlihat potret seorang wanita berpakaian serba hitam yang rambutnya terurai bergelombang. Tatapannya mengingatkanku pada seseorang, sangat seram-tapi entah siapa. Dibawahnya tertulis nama yang kupikir nama wanita itu sendiri 'Julia'.
Klek.
Terdengar bunyi gesekan, sepertinya seseorang di luar sana sedang mencoba memasukan kunci ke dalam lubang yang ada di pintu itu. Pegangannya berdecit begitu keras seakan-akan pintunya sudah lama tak dipakai. Rasanya ini mustahil, aku membayangkan jika hal ini terjadi karena permainan Finding Christ tadi. Gambar pertama menunjukkan kunci, yang mana gesekannya dengan lubang pintu terdengar dari suara tadi. Dan yang kedua apa itu berarti-Julia?
"SIAPA KALIAN?!"
Kami terperanjat kaget saat mendengar teriakan itu. Orang yang ada di belakang pintu kini berdiri di depan kami saat pintunya berhasil terbuka. Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya, sosoknya seperti siluet karena terhalang cahaya yang menyorot dari luar sana.
"Kami mohon, kami hanya ingin keluar." Ujar Doyoung.
Samar-samar sekarang aku dapat melihat wajahnya. Dia seorang pria paruh baya berpakaian sederhana, yang jelas bukanlah pria yang ada pada lukisan-apalagi Julia, tentu mereka jauh berbeda.
"A-apa kalian keluar dari sana?" tanyanya sembari menunjuk ke arah lukisan.
Sontak kami mengangguk bersamaan, aku berharap dia pria yang baik. Setidaknya dia percaya kami hanya tersesat disini.
"Ahh-ikut aku sekarang, kita ke atas. Pasti kalian ketakutan" Ujarnya.
Akhirnya kami menghela napas lega, sepertinya pria itu bukan orang jahat. Paman Hyeon, itulah namanya ketika dia memperkenalkan diri. Kami berada di sebuah rumah peninggalan keluarga berketurunan Italia-dan Paman Hyeon adalah penjaganya. Dia membawa kami ke ruangan yang agak luas di atas, dan gudang yang kami tempati tadi berada di basement, tepatnya ruang bawah tanah.
Di atas sini aku melihat ruangan klasik berornamen seperti rumah-rumah yang ada di Eropa. Ruangan ini begitu luas hanya saja banyak tembok yang sudah rapuh termakan lumut-mungkin bangunan ini sudah lama tak terawat.
Saat aku mendengar kisah Paman Hyeon, ternyata lukisan di gudang tadi adalah keluarga pemilik rumah ini. Sepasang suami istri itu Tuan Christ Lue dan Nyonya Carlotta, ditambah dengan anak laki-laki mereka yang bernama Christopher.
Kisah kelam menghiasi keluarga ini, kabar yang beredar-keluarga ini menghilang begitu saja tanpa ada petunjuk apapun. Dan yang anehnya, kasus itu belum terpecahkan sampai saat ini. Merinding bukan? Jangan tanya reaksiku bagaimana, tapi yang jelas aku lebih penasaran dengan Jess sekarang-apa yang akan kami lakukan setelah ini? Apa hanya menunggu pagi datang? Mengingat sekarang langit sudah sangat gelap.
"Sebenarnya paman baru satu tahun menjaga rumah ini, dulu Ayah paman yang menjaganya." Ujarnya.
"A-apa paman sering merasakan hal-hal aneh disini?" tanya Mark.
"Ah, kalau itu Paman juga tidak yakin sanggup menceritakannya pada kalian." Kata Paman Hyeon terkekeh.
Sontak Taeyong menyenggol lengan Mark, berisyarat supaya dia tidak membawa topik pembicaraan ke arah yang menyeramkan.
"Apa kalian lapar?" tanya Paman Hyeon.
Sontak kami mengangguk karena sadar dari tadi siang kami belum makan, saat di rumah Doyoung pun kami sibuk mencari Jess yang hilang.
"Ah, kalian tunggu dulu di sini, Paman akan mengambil makanan di tempat Paman." Ujarnya.
"Mungkin sebagian kami akan ikut Paman, mungkin Paman butuh bantuan." Tawar Doyoung.
"Aku ikut," ujarku. "Doyoung juga membutuhkan pengobatan karena lengannya terluka. Apa ada obat disana?"
Paman Hyeon mengangguk mengiyakan pertanyaanku. Tidak tahu kenapa aku sangat peduli pada Doyoung, padahal dulu dia yang membullyku habis-habisan.
Taeyong mengangkat tangan. "Aku juga."
"Eh, Kalian bertiga disini aja. Emily biar ada yang jaga." Sahut Doyoung.
"What? Kalau ada apa-apa gimana?" ujar Mark menyela.
Tiba-tiba Paman Hyeon mengeluarkan suatu benda dari saku celananya, itu sebuah walkie talkie-dan segera ia menyodorkannya ke arah Mark.
"Pakai ini kalau ada apa-apa, tekan saja saat kalian bicara," ujar Paman Hyeon.
"Sebenarnya Paman biasa ditemani adik paman disini, sayangnya sekarang dia sedang sakit-jadi benda ini tidak terpakai."
Mark mulai mengotak-atik benda itu. Saat dia menekan tombol saluran, terdengar bunyi dengungan disusul dengan bunyi yang sama pada walkie talkie satunya di tangan Paman Hyeon. Sontak Mark pun ber-oh setelah tahu cara kerja benda itu.
Okey-Paman Hyeon, Aku, dan Doyoung meninggalkan yang lain di ruangan itu. Jangan lupakan Jaehyun, sekarang dia selalu di belakangku-setidaknya dia yang selama ini membuatku tidak takut.