webnovel

Simpanan Sang CEO

Ranezaa Berlian seorang gadis desa yang lahir dengan kesederhanaan dibawah rata-rata, memiliki deretan impian yang belum bisa ia dapatkan. Menjadi tulang punggung keluarga, harus menerima takdirnya menjadi istri kedua seorang pengusaha kaya raya. Lelaki kaya itu bernama Arsenio, yang datang dari Jakarta untuk mengurus proyeknya di Jogja, lalu keduanya terjebak pernikahan. Ranezaa memiliki kekasih yang bernama Enggar, dan Enggar adalah sahabat dari Arsenio. Arsenio menjebak Berlian dan menikah dengannya untuk membalaskan dendamnya pada Enggar karena telah berselingkuh dengan istri pertama Arsenio. Kalian mau tahu kisahnya? Silahkan bersamaku.

Irhen_Dirga · 若者
レビュー数が足りません
4 Chs

Pertemuan

"Kamu tetap di rumah dan jangan kemana-mana," teriak seorang lelaki yang masih mengenakan setelan jas mahal dengan buatan luar negeri. Usaha yang sukses memang selalu bercermin pada pakaian yang dipakai penggunanya.

"Aku harus menemui Denis, Mas!" kata Berlian dengan airmata yang sudah menggenang, seperti akan membanjiri rumah ini. "Mas, Denis adalah adikku, aku nggak mau sampai dia kenapa-kenapa."

"Aku bilang tetap di rumah, ya di RUMAH!" bentak suaminya.

Dulu ... suaminya adalah lelaki yang lembut dan penyayang, namun setelah benerapa bulan menikah, sifat asli suaminya itu terlihat, ia seperti bukan seorang istri di rumah ini, namun seperti seorang sandera.

Wajah bahagia dan senyum tampan dari suaminya itu sudah menghilang, dan sakit hatinya bertambah setelah tahu sifat asli suaminya yang begitu menyiksanya dan ketika tahu suaminya itu sudah beristri.

"Mas, izinkan aku menemui adikku, hanya dia keluargaku satu-satunya, Mas, aku mohon sama kamu," lirih Berlian berlutut didepan suaminya. "Atau ... kamu bisa menceraikan aku."

"Apa? Cerai? Sini kamu ...." Suaminya itu menarik Berlian dan memasukkannya kedalam ruang ganti lalu mengunci ruang ganti tersebut dari luar.

.

.

.

Lima bulan yang lalu ...

Seorang wanita cantik tengah menarik napas dalam-dalam untuk menghirup udara segar, pedesaan yang penuh dengan persawahan. Ini lah desanya, desa yang penuh dengan suka cita dan rasa damai setiap kali sejauh matanya memandang.

Terlihat beberapa anak sekolah menjinjing sepatunya dan menikmati angin sepoi yang begitu sejuk dan mendamaikan hatinya.

Wanita itu terus membayangkan bagaimana dulunya ia menikmati masa kecilnya dipersawahan, menikmati hujan dan lumpur sawah ketika membantu sang Nenek untuk memetik daun-daunan yang akan diolah.

Tak terasa airmatanya jatuh, bulir kristal itu seperti menceritakan betapa rindunya pada sosok neneknya yang sudah meninggalkan dirinya selamanya, nenek yang merawat dan mendidiknya ketika sang Ibu pergi untuk mencari sebongkah dan sesuap nasi untuknya dan sang adik.

Wanita itu bernama Ranezaa Berlian, seorang wanita yang berusia 23 tahun, yang kini tinggal di rumah dan berjualan kue, bukan menikmati waktunya kuliah seperti teman-temannya yang lain.

Ia sering dipanggil Berlian, ia memiliki banyak beban hidup, Berlian memiliki seorang adik kecil yang berusia 9 tahun dan masih bersekolah di sekolah dasar, sedangkan ibunya sedang dirawat di rumah sakit karena penyakit kanker hati yang sudah setahun ini menggerogoti tubuhnya sepulang kerja dari luar negeri.

Berlian menghela napas, bagaimana bisa berjualan di kampung ini membuatnya bisa tentram? Ijazah SMA yang ia miliki pun tak mungkin membuatnya bisa bekerja di kantoran seperti apa yang ia inginkan, hidup di kota pun tak mungkin bisa Widna lakukan, karena hidup yang kian sulit dan beban yang harus ia terima.

Berlian adalah tulang punggung keluarga.

Setiap pulang menjual kue, Berlian selalu mampir ke gubuk yang ada di persawahan untuk menikmati pemandangan dan menjernihkan pikirannya, Berlian harus melakukan apa yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Air mata Berlian sudah mengering dan menjadi bahan cibiran teman-temannya juga tetangganya.

Berlian melihat jam tangan yang melilit dipergelangan tangannya, mengabaikan seseorang yang kini duduk disampingnya.

"Sudah sore," kata lelaki itu, membuat Berlian menoleh.

"Kamu siapa?" tanya Berlian.

"Aku? Aku seorang pria," jawab lelaki itu.

"Ha ha. Aku juga tahu kalau kamu seorang pria, lihat pergelangan tanganmu yang besar saja aku sudah tahu bahwa kamu pria," geleng Berlian lalu menggeser duduknya. Ia seorang wanita yang juga takut sesuatu terjadi ketika di gubuk ini hanya ada dirinya dan pria yang duduk di sampingnya.

"Aku sering melihatmu ada di sini."

"Jadi ... kamu sudah memperhatikanku sejak lama?"

"Aku punya mata loh, jadi tentu saja aku pasti akan melihatnya," geleng lelaki itu.

"Aku nggak pernah melihatmu di sini," kata Berlian.

"Aku perantauan, yang datang kemari mengerjakan proyek," jawab lelaki itu.

Berlian menatap rahang lelaki itu, wajahnya putih, rambutnya di cukur perwira, tubuhnya ideal dan idaman semua wanita, wangi parfum menyerbak dan memanjakan penciumannya, lelaki yang kini duduk disampingnya sangat lah tampan, bahkan tak ada yang dapat mengalahkan ketampanannya.

Berlian tersanjung dan terpana melihat lelaki tersebut, lelaki yang begitu sempurna, namun seperti memiliki niat yang terselubung.

Lelaki itu menoleh dan menggelengkan kepala. "Apa aku setampan itu?"

"Apa? Haha. Kamu pede sekali kalau bicara," geleng Berlian lalu memalingkan wajahnya.

Lelaki itu tertawa perlahan dan melihat tempat yang kini menjadi perantara antara dirinya dan Berlian.

Lelaki itu menyodorkan tangannya, membuat Berlian menautkan alis.

"Perkenalkan nama saya Enggar," kata lelaki itu. Berlian menyambut tangan itu dan merasakan desir darahnya mengalir hebat, lelaki itu terlalu tampan jika diabaikan.

"Aku ... Berlian," jawab Widna dan menarik tangannya.

"Berlian? Oh. Nama yang bagus. Kamu jualan kue?"

Berlian mengangguk. "Iya."

"Setiap hari sering buat kue berapa banyak?"

"Sekitar 100 biji," jawab Berlian lagi merasa seperti sefang di introgasi.

"Habis?"

Berlian menggelengkan kepala. "Boro-boro habis, laku 20 biji aja udah syukur."

"Lalu kenapa buat sebanyak itu?"

"Aku nggak tahu, emang sebanyak itu juga jadinya," jawab Berlian.

"Kamu bisa ke kantor sana," tunjuk Enggar, membuat Berlian menoleh dan melihat sebuah rumah yang ada di ujung kompleks.

"Untuk apa?"

"Jualan kue, aku akan menyuruh beberapa teman untuk membeli kuemu, bahkan aku akan merekomendasikan kue buatanmu," jawab Enggar.

"Nggak deh. Aku dengar bos di sana sangat galak," jawab Berlian membuat Enggar menautkan alis.

"Galak?" Enggar tertawa.

"Siapa yang bilang?"

"Salah satu temanku yang tinggal didekat rumah itu, aku sudah ingin ke sana, namun kata temanku, bosnya garang dan kasar, bahkan mesum katanya," jawab Berlian membuat Enggar tertawa dan menggelengkan kepala.

"Ya sudah. Sekarang kan kamu mengenalku, jika bos di sana galak, biarkan saja, yang penting kamu jualan kue."

"Tidak apa-apa aku ke sana?"

"Nggak apa-apa," jawab Enggar.

"Kamu di sana karyawan?"

Enggar mengangguk. "Iya."

"Oke deh. Karena sekarang aku mengenalmu, aku pasti nggak akan takut masuk ke rumah itu, rumah itu rumah siapa?"

"Rumah bos sekalian kantor, semua pekerjanya tinggal dibelakang rumah itu dan bangunan yang sedang kami kerjakan ada di seberang sawah ini."

"Oke oke. Aku akan ke sana besok pagi," jawab Berlian. "Terima kasih karena sudah mau merekomendasikanku."

"Tenang saja."

"Salam kenal, Enggar," kata Berlian.

"Oke deh. Kalau begitu ... aku pulang dulu," kata Enggar bangkit dari duduknya.

"Iya. Kamu pulang gih, takutnya bos kamu marah."

Enggar mengangguk dan berkata, "Baiklah."

Enggar melangkah meninggalkan Berlian yang masih duduk di gubuk tengah sawah, gubuk ini dulunya yang sering anak-anak pakai untuk bermain, namun karena gubuk ini sudah tua, anak-anak dilarang lagi kemari, namun bagi Berlian bukan tuanya gubuk ini, namun gubuk ini menyimpan banyak kenangan bersama neneknya yang sudah tiada.

Neneknya dulu kerja di sawah ini, ia dibayar dan disewa untuk menanam padi, Berlian sering membantu neneknya.

Berlian bangkit dari duduknya, hari sudah mulai sore, ia harus pulang karena Denis pasti sudah menunggunya, Denis adalah adiknya yang usianya sudah 9 tahun. Berlian sangat senang bisa berkenalan dengan seorang lelaki tampan. Bahkan ketampanannya mengalahkan selebriti.

Sampainya di rumah, Berlian melihat barang-barangnya dikeluarkan oleh beberapa orang, sedangkan Denis menangis didekat pintu.

"Kakak!" teriak Denis yang ketakutan.

"Kalian siapa? Kenapa kalian kemari?"

"Kami adalah tempat dimana nenek kamu berhutang, jadi rumah ini akan menjadi milik kami," kata orang sangar tersebut.

"Apa? Jangan. Jangan usir kami dari sini, saya janji akan membayar hutang nenek saya."

"Kapan? Nenek kamu meninggal sudah 7 bulan yang lalu dan kami sudah memberikan keringanan. Kami tidak bisa lagi mentolerir ini."

"Saya mohon, Pak, tolong beri kami kesempatan, saya akan membayarnya dan mencicilnya. tapi jangan usir kami dari sini."

"Bunganya sudah besar."

"Saya akan membayar bunganya, Pak," rengek Berlian.

.

.

Mudah ditebak kan? Ayo tebak! hehe. Happy Reading semuanya.

Jangan lupa voted dan komen, ya, aku butuh apresiasi dari kalian untuk terus melanjutkan cerita ini.

Salam sehat.