webnovel

Mbah Ali VS Parno Sewu

Mbah Ali tengah memutar dua kampak kembar di tangannya. Angin di sekitarnya mulai memutar bersama dedaunan kering ikut terbawa angin. Ada pula kerikil-kerikil mengikuti pula putaran arah angin. Semakin lama angin semakin membesar sealur dari putaran kampak yang dibuat Mbah Ali.

Sementara itu seperti tak mau kalah dari Mbah Ali. Parno Sewu ikut mengeluarkan senjata berupa tombak angin beringin tua. Menggerakkannya selayaknya sinetron laga dalam acara sinetron televisi nasional.

Walau badan mereka tetap di tempat sambil menggerakkan senjata masing-masing. Namun ruh mereka sedang tak berada pada jasad. Melainkan sudah keluar dari tubuh kasar. Tengah bertarung habis-habisan di tengah-tengah dari mereka berdiri. Untuk membela kepentingan masing-masing.

Kali ini bergantian mendung berarak gelap yang semula menutupi area rumah Kasturi Berganti menutupi rumah Mbah Ali. Bahkan sambaran kilat dan petir semakin kerap dengan intensitas sering terus menyambar-nyambar. Walau demikian tetangga sekitar, sudahlah tahu dan memaklumi. Sebab Mbah Ali jua terkenal sebagai dukun penyembuh orang sakit tak wajar di desanya.

Bahkan tetangga Mbah Ali hanya bergumam dalam hati masing-masing. Halah paling Mbah Ali sedang mengobati pasiennya. Mungkin seperti demikian kalau dijabarkan suara hati dari para tetangga Mbah Ali.

Prok, Perak, Brak,

Suara-suara benturan antara senjata terus melengking. Walau hanya ruh tanpa rupa, tetapi suara dari gesekan dan benturannya terdengar jelas. Percikan serta cahaya kilatan dari benturan jua jelas terlihat.

"Rupanya benar pula kabar angin yang aku dengar tentangmu Ali. Kau memang piawai dalam seni senjata. Ternyata walau badanmu tua tapi tenagamu selayaknya anak muda," ruh dari Parno Sewu tampak terengah-engah meladeni serangan-serangan dari ruh Mbah Ali. Sedangkan ruh dari Mbah Ali tak tampak letih sedikit jua. Hanya tegak berdiri sambil tersenyum tipis.

"Bahkan kali ini kau memilih lawan yang salah Parno. Kau boleh saja menang di luaran sana, bahkan namamu boleh saja masyhur di luar desa Mojokembang. Tetapi tidak untuk di desa yang aku jaga. Aku memang tak pernah suka pamer kekuatan, bahkan aku cenderung diam tak pernah keluar desa. Tapi bukan berarti aku adalah orang yang gampang kau kalahkan," jawab Mbah Ali kembali menyerang melesat ke arah Parno.

Parno jua kembali meladeni serangan Mbah Ali. Kali ini sial bagi Parno, tombak di tangannya patah saat beradu kekuatan dengan kampak kembar milik Mbah Ali.

Tang,

Tombak angin beringin milik Parno Sewu patah pas di tengah. Tak ingin kehilangan momen, Mbah Ali menyabet kembali patahan tombak pas di tengah-tengahnya. Sehingga tombak pecah menjadi beberapa bagian, hingga hancur lebur tak bersisa.

"Bagaimana Ki Parno Sewu tombakmu telah hancur. Bahkan tombak angin beringin adalah senjata terakhirmu. Apa kau tidak ingin mengakhiri pertarungan ini lalu berdamai dan mengakui kalah. Lalu mari bersamaku mengucap lafaz syahadat tiga kali. Agar engkau tak lagi tidak beragama?" Mbah Ali mulai merayu Parno Sewu agar mau memeluk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat dan satu kalimat syahadat sebagai pengukuh keimanan.

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله

"Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah".

"Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah."

"Juih, aku tak akan sudi memeluk agamamu. Lebih baik aku memeluk kepercayaan nenek moyang tanah Jawa, daripada aku memeluk agama pendatang," celetuk Parno Sewu sambil meludah menghina agama dan keyakinan Mbah Ali.

"Orang bodoh tak pernah makan bangku sekolahan begini. Agama Islam bahkan sudah dianut suku Jawa sedari dahulu kala. Sebelum datangnya Islam dari suku bangsa Arab. Tanah Jawa sudah menganut kepercayaan leluhur serupa Islam. Sama dengan Islam tingkah laku cara berbicara bahkan keseharian. Sebagai wahyu dari Sang Tunggal. Namun belum sampai saja pada mereka tentang bagaimana syariat Nabi Muhammad pada mereka. Lalu yang kau anut kepercayaan Jawa yang mana Parno?" ucap Mbah Ali tertawa sinis.

"Sudah jangan banyak bicara kau Ali. Mari kita lanjutkan pertarungan kita. Sampai benar-benar ada yang kalah dengan cara dijemput oleh maut dari salah satu antara kita," teriak Parno Sewu mulai berdiri kembali setelah beberapa saat yang tadi terduduk lemas.

Tiba-tiba muncullah dua sosok anjing setan dari kedua sisinya. Sosok anjing serupa dalam film Box Office jambe luar negeri. Anjing tanpa kulit hanya daging selayaknya kambing dikuliti saat hari raya kurban.

Lidah kedua anjing setan terus menjulur. Terlihat jua menetes air liur beracun dari setiap sisi moncong dimulutnya. Gigi-giginya seumpama gergaji besi kerap dan tajam terus menggonggong. Cakarnya serupa belati dapur begitu tajamnya.

"Bersiaplah menjemput ajalmu Ali. Bahkan mungkin Panglima kumbang dan Pocil, hewan-hewan peliharaanmu telah terkapar tak berdaya kali ini. Kau tak akan ada yang membantu, saat ini kau sendirian Ali. Anakmu mungkin sudah tidur bersama Sukari, tubuhnya mungkin kini tengah dijilati oleh Sukari. Apalagi menantumu mungkin sudah menjadi santapan monyet siluman. Anjing-anjing kesayanganku serang Ali, makan dia hingga ketulang-tulangnya," ucap Parno Sewu tanpa iya tahu kalau yang ia katakan semuanya tiada benar.

"Parno, Parno, dari dahulu kau tak pernah berubah. Walau kau dapat melihat gaib secara gamblang. Tapi karena kesombonganmu yang menutupi keahlianmu. Kau tak mampu membedakan mana bisikan dan mana penglihatan. Bahkan yang kau katakan semua salah besar. Mereka semua yang kau sebutkan tadi masih hidup sampai sekarang. Panglima Kumbang dan Si Pocil sahabatku, mari kita bermain sejenak," kata Mbah Ali berjalan perlahan lalu berlari menuju Parno Sewu.

Ki Datuk Panglima Kumbang dengan wujud macan kumbang hitam besar dan sosok Si Pocil yang berwujud manusia kucing. Bahkan telah muncul di sisi-sisi Mbah Ali secara tiba-tiba. Membuat Parno Sewu begitu terkejut akan kedatangan dua sahabat Mbah Ali dari alam gaib tersebut.

Sontak dengan kompak macan kumbang dan Si Pocil berwujud manusia kucing. Langsung menyerang ke dua anjing siluman. Terkaparlah seketika kedua anjing siluman di hadapan Ki Parno Sewu lalu terbakar menjadi abu.

Kali ini Ki Parno Sewu tak berdaya lagi. Sebab kedua tangannya tengah dipegangi Si Pocil dan Ki Datuk Panglima Kumbang yang sudah mengubah wujud menjadi sosok petapa. Ruh dari Parno sewu di dudukkan selayaknya orang tengah tunduk pada rajanya. Kedua tangannya direntangkan dengan paksa oleh Datuk Panglima Kumbang dan Si Pocil. Sedang di depannya telah berdiri Mbah Ali sambil memegang sebilah pedang berselimut api.

"Sekali lagi kau akan aku beri kesempatan Parno. Sebelum aku berubah pikiran untuk membunuhmu. Sebab seharusnya kau memang aku habisi. Karena ingin menodai kesucian dari kehormatan seorang Ibu yakni dari anakku Amanah. Cepat kau lafazkan dua kalimat syahadat. Aku tunggu agar kau dapat memeluk Islam dengan penuh keindahan seperti kami," teriak Mbah Ali sambil mengacungkan sebilah pedang api ke arah leher Parno Sewu.

"Aku tak sudi memeluk agamamu Ali. Bahkan bila kau membunuhku. Aku tiada sudi untuk memeluk keyakinan seperti keyakinanmu. Bunuh saja aku, sebab kalau aku membaca dua kalimat yang engkau mau. Aku jua akan dimusuhi bangsa dari setan dan aku tak mau itu," teriak Parno Sewu tetap kekeh dengan pendiriannya.

"Baiklah kalau itu maumu dan aku anggap perkataanmu adalah permintaan terakhirmu. Terimalah ajalmu Ki Parno Sewu!" teriak Mbah Ali menghunuskan pedangnya ke dada Ki Parno Sewu lalu mencabutnya kembali.

Tubuh Ki Parno Sewu mulai terbakar. Perlahan dari arah kaki hancur menjadi Abu. Namun sebelum semuanya sirna dari tubuh Ki Parno Sewu. Mbah Ali sempat membisikkan di telinga kanan Ki Parno Sewu dua kalimat syahadat. Namun malang Ki Parno Sewu sudah tak bias berucap kembali.

Bruk,

Tubuh kasar dari Ki Parno Sewu ambruk ke tanah. Karena ruh yang meraga sukma telah hancur menjadi abu. Sementara ruh dari Mbah Ali kembali lagi ke badan kasarnya. Sambil meneteskan air mata seraya mendekati tubuh tak bernyawa Ki Parno Sewu.

"Sudah aku bilang teman dari dahulu kala. Jangan kau mengikuti hawa nafsumu. Bahkan engkau tidak ingat saat kita masih muda kita pernah menjadi lima sekawan penguasa jalanan bersama teman-teman. Maaf aku sahabat yang payah yang harus membunuh sahabatnya sendiri," ucap Mbah Ali menangisi kepergian Parno Sewu.

Like it ? Add to library!

Bagus_Effendikcreators' thoughts