Fayez, Adi dan Sheila masih berada di arena. Tak hentinya mereka menunjukkan bakat dan saling beradu keahlian. Hal ini cukup membuat Sheila terhibue, apalagi dengan kehadiran Fayez. Ia senang karena akhirnya Fayez mau datang untuk kembali latihan setelah beberapa minggu disibukkan oleh tugas sekolah.
"Ngaso dulu, ah. Gue capek," ucap Sheila sebari melipir ke tepi arena dan duduk di sembarang tempat.
"Huh.. Gila! Gue baru latihan lagi, rasanya seger banget ni badan," seru Fayez sebari ikut duduk di samping Sheila.
"Lo ke mana aja, sih? Lagian so sibuk banget," balas Sheila.
"Gue sibuk beneran, She. Gue kan ketua osis, dan sekarang di sekolah itu mau ngadain acara besar, makanya gue sibuk."
"Halah.. Tugas lo itu kalau di sekolah doang, jangan dibawa-bawa ke rumah," sela Adi yang juga ikut duduk dengan kedua temannya.
"Sialan lo. Emang lo pikir gue ini ketua osis ecek-ecek?."
Sheila dan Adi terkekeh karena berhasil menggoda Fayez.
"Oh ya, gue butuh saran dan pendapat dari kalian berdua," kata Fayez tiba-tiba.
"Apa?," tanya Adi.
"Hmm.. Gue kayaknya lagi suka sama cewek."
"Uhukk.. Sial, pake muncrat segala, lagi."
Fayez dan Adi menoleh ke arah Sheila karena botol yang sedang ia tenggak jatuh dan airnya menyiram wajah gadis itu.
"Kenapa lo buang-buang itu minum?," tanya Adi dengan nada meledek.
"Bukan gue buang, tapi gue kaget aja denger Fayez suka sama cewek," jawab Sheila dengan mengulum tawa.
Fayez sedikit berdecak kesal, "Lo jangan gitu lah, She. Gue belum yakin sih kalau gue suka sama dia. Tapi entah kenapa, tiap kali deket sama dia gue ngerasa bahagia. Dan gue juga nggak mau kalau ada yang gangguin dia."
"Fiks lo jatuh cinta!." Adi mengubah duduknya hingga berhadapan dengan Fayez. "Lo itu jatuh cinta, Yez. Udah jelas banget ciri-ciri yang lo sebutin," lanjutnya.
"Lo yakin? Emang lo sendiri punya pacar?."
"Bhuahahahaha..."
Sheila tertawa puas tatkala melihat air muka Adi yang langsung berubah ketika Fayez menanyai perihal pasangan.
"Emang enak! Makanya nggak usah so ngerti soal cinta!," ledek Sheila dengan sisa-sisa tawanya.
Adi hanya mendengus kesal dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.
"Gue punya pacar kok. Kalian aja yang nggak tau."
Fayez dan Sheila saling menatap satu sama lain.
"Serius? Kok kita nggak pernah liat?," tanya Sheila sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Y-ya nggak, lah. Kan gue belum pernah ajak dia ketemu sama kalian."
Sheila menoleh ke arah Fayez, sepertinya Adi sedang berbohong. Karena gerak gerik yang ditunjukkan oleh laki-laki itu terlihat aneh dan janggal.
"Terserah deh, lo mau punya pacar atau nggak. Gue ini lagi curhat sama kalian, supaya gue nggak salah pilih nantinya," lanjut Fayez.
"Oke. Lo cerita aja, siapa tau gue sama Adi bisa ngasih solusi."
Adi mengangguk, menyetujui apa yang Sheila katakan.
"Cewek itu namanya Dania. Dia itu cantik dan manis menurut gue. Tapi, gue gengsi buat nembak dia."
"Gengsi? Lo cowok bukan sih, hah? Masa nembak cewek aja gengsi," ujar Adi dengan nada sedikit tinggi.
"Diem dulu, Di. Biar Fayez cerita semuanya," imbuh Sheila.
"Kalian inget, sama mantan gue yang namanya Ainina Denaya? Atau gue manggilnya Nay?."
Kedua temannya mengangguk seperti seekor kerbau yang sudah dicocoki.
"Nah, masalahnya gue belum bisa move on dari dia!," ucap Fayez sebari memekik.
"Haduh... Kenapa lo belum bisa move on? Bukannya si Nay itu udah pindah ke Jepang, ya?," tanya Sheila.
Fayez mengangguk, "Gue juga nggak ngerti sama diri gue sendiri," ucapnya.
"Ehem." Adi berdeham dan menepuk bahu Fayez, "Kalau menurut gue nih ya, lo harus move on dari si Nay. Lo harus buka hati lo lagi buat Dania. Sebelum lo kehilangan dia," lanjutnya.
"Kehilangan? Maksud lo?."
"Ya, kehilangan. Apa lo yakin, kalau lo belum move on, terus lo sadar kalau lo emang suka sama Dania tapi si Dania malah udah jadian sama cowok lain?."
"Idih, gak mau lah! Liat dia ngobrol sama cowok aja gue gak rela, apalagi liat dia jadian sama cowok selain gue," ujar Fayez sedikit kesal. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya hati seorang Fayez jika harus melihat Dania bergandengan tangan dengan laki-laki lain setiap hari.
"Nah! Makanya, buruan lo nembak dia. Jangan sampe keburu di ambil orang," ucap Adi lagi.
"Apa yang dibilang Adi itu bener, Yez. Lo nggak boleh lama-lama ngeyakinin hati. Kalau denger dari gelagat yang bilang tadi, itu udah jelas kalau lo suka sama dia. Jadi, tunggu apa lagi?."
Fayez menggaruk kepalanya yang gatal. Ia tidak menyangka jika perasaannya terhadap seorang gadis bisa membuat situasi menjadi rumit seperti ini.
"Nanti gue pikir-pikir lagi deh," ucap Fayez.
"Lo gimana, sih? Katanya minta saran dan pendapat, tapi udah kita kasih pendapat dan saran, lo malah mau mikir lagi. Emang orang aneh lo." Adi beranjak sebari berkacak pinggang. Tidak habis pikir dengan anak laki-laki yang ada di depannya ini.
"Udah, Di. Biarin aja Fayez berpikir. Siapa tau dia punya jalannya sendiri. Tugas kita itu cuma kasih saran sama dia, selebihnya biar jadi keputusan dia."
"Tuh, dengerin Sheila. Dia aja ngerti, masa lo kagak," ujar Fayez pada Adi.
"Terserah lo dah. Gue mau lanjut latihan."
Adi pun pergi, dan kini hanya ada Fayez dan Sheila yang tersisa.
"She, lo seriusan udah pisah sama Brama?," tanya Fayez penuh kehati-hatian.
Sheila mengangguk, "Gue emang udah pisah sama dia."
"Lo yang sabar, ya. Lo pasti dapetin yang lebih baik dari Brama, gue yakin itu."
Sheila tersenyum dan mengangguk kuat. Lalu ia dan Fayez saling bertos ria dengan menyatukan tangan yang saling mengepal.
"Gue nggak nyangka aja sih, kenapa Brama bisa lakuin hal menjijikan kayak gitu sama gue."
"Udah lah, She, lo lupain aja semuanya. Tuhan udah ngasih lo petunjuk supaya bisa lupain Brama. Dia itu cowok gak bener," kata Fayez. terlihat raut wajah kesal darinya. Andai saya Fayez berada di sana pada saat kejadian, mungkin Brama sudah habis ia pukuli.
"Gue juga nggak mau lagi nginget semuanya. Gue udah pengen bebas dari apa pun yang berhubungan tentang dia."
"Gue setuju, She. Kalau gue ketemu sama tuh orang, gue jamin dia bonyok sama gue."
"Jangan!."
"Kenapa? Lo masih belain dia?."
Sheila memutar bola matanya malas. "Gue bukan belain dia. Tapi gue nggak mau, lo ngotorin tangan lo sendiri," ucapnya.
"Tapi gue nggak terima karena dia udah berani kurangajar sama lo."
"Biarin aja. Nanti juga dia terima balasan dari apa yang udah dia perbuat sama gue."