"Lo kapan mau ke sini?."
Sheila menatap nanar pesan di dalam ponselnya. Aksa, kakak sepupunya itu mengiriminya pesan seolah sedang memperingati akan hal itu.
"Gue kira dia lupa. Ternyata dia nungguin gue dateng," gumam Sheila dengan senyum kecilnya. Ia mendudukkan bokong di atas tempat tidur sebari memainkan ponsel namun tak berniat membalas pesan Aksa.
"Gue kapan ya, siap pergi ke Bandung?," gumamnya lagi. Sudah berulang kali Sheila menggulingkan tubuh di atas kasurnya dengan gaya yang berbeda.
"Apa besok aja?."
"Eh, apa lusa?."
"Atau malam ini aja?."
Gadis itu mengacak-acak rambutnya sendiri. Kemarin ia sangat semangat karena akan pergi ke tempat Aksa. Namun entah mengapa, hari ini justeru terasa malas.
"Tau ah, pusing gue."
***
Brama sudah terlihat biasa saja dengan hari-harinya saat ini. Penampilannya pun tidak sekacau hari kemarin, sejak Aji memutuskan untuk pergi meningalkannya.
"Den, mau bibi ambilkan makanan?," tanya Bi Sumi menghampiri tuannya dengan sopan.
"Nggak, Bi. Brama mau olahraga dulu," jawab laki-laki itu.
"Ya sudah, kalau butuh apa-apa panggil Bibi aja, ya!."
Brama mengangguk dan memberi seulas senyum. Ia berjalan ke halaman depan hanya dengan mengenakan kolor dan kaus berwarna hitam. Tidak ada sepatu dan perlengkapan olahraga lainnya, karena Brama hanya akan berolahraga kecil saja, seperti lari di sekitar rumah.
"Lho, Brama, tumben kamu jam segini olahraga?."
Brama menoleh ke arah suara. Rupanya suara itu berasal dari Sandy Adhitama Bahtera, pemilik perusahaan Adhitama Corporation sekaligus ayah dari Brama Adhitama.
"Udah lama gak olahraga," jawab Brama singkat.
"Oh iya, Ayah sama bunda pulang malam hari ini. Jadi kamu tolong jaga rumah. Nggak apa-apa, kan?."
Brama mengernyitkan alisnya, menatap Sandy dengan heran. "Bukannya Ayah sama bunda emang selalu nggak ada di rumah, ya? Kenapa harus bilang sama Brama?."
Sandy terlihat menghela nafas pelan, ia pun menghampiri sang putera yang tengah melakukan peregangan sebelum berolahraga.
"Maafin Ayah sama bunda, ya. Kita lakuin semua ini demi kamu, demi masa depan kamu."
Brama menatap wajah Sandy lekat-lekat. Baru kali ini bisa menatap sang ayah dari jarak sedekat ini. Wajah Brama berubah sendu, yang awalnya merasa marah karena kedua orangtua nya jarang berada di rumah, kini hatinya mulai luluh.
Dilihat wajah itu sudah tidak lagi segar dan kencang. Anak macam apa Brama ini? Ia menyesal karena telah berpikiran buruk tentang ayahnya.
Brama memalingkan wajah. Tidak kuat menatap wajah Sandy yang mulai keriput dan sudut matanya yang mulai mengkerut.
"Ayah pergi aja. Brama yang jaga rumah," ujar Brama mencoba acuh seolah tak terjadi apa-apa.
"Kapan kamu mau belajar mengurus perusahaan Ayah? Ayah udah nggak muda lagi, Ma. Ayah sama bunda udah pengen pensiun."
Brama bungkam. Perkataan Sandy memang benar. Di usia yang sudah melebihi setengah abad, ayah dan bundanya tidak harus bekerja keras seperti sekarang.
"Nanti kalau Brama siap," jawab Brama sekenanya.
"Ya sudah, Ayah pergi dulu." Sandy menepuk pundak kekar milik Brama dan meninggalkan anak sematawayang nya itu pergi. Ia bergegas masuk ke dalam mobil dan meninggalkan rumah.
"Gue emang anak yang gak berguna. Harusnya gue ngerti dan udah seharusnya gue nerusin kerjaan ayah."
"Brama! Sini, Nak."
Brama terhenyak ketika mendengar teriakan sang bunda dari pintu utama.
"Lho, Bunda kok nggak ikut sama ayah? Katanya kalian ada perlu?," tanya Brama setelah berada tepat di hadapan Chelina.
Chelina Adhitama Bahtera. Seorang wanita cantik yang berperan sebagai ibunda dari Brama. Meskipun usianya tidak lagi muda, namun Chelina masih terlihat segar dan wajahnya bak memancarkan kilauan cahaya.
"Nggak, Sayang. Bunda hari ini pengen di rumah, nemenin kamu."
Brama tersenyum hangat. Apalagi ketika Chelina mengusap puncak kepalanya dengan sayang. Hal sederhana yang telah lama hilang itu kini dapat ia rasakan kembali.
"Makasih, Bunda. Brama seneng karena akhirnya Bunda bisa luangin waktu buat Brama," kata Brama menatap Chelina dengan mata yang berkaca-kaca.
"Maafin Bunda dan ayah ya, Sayang. Kita terlalu berambisi untuk kerja, sampai Bunda lupa kalau Bunda sudah mengabaikan anak Bunda yang tampan ini." Chelina menangkup wajah Brama. Puteranya tumbuh dengan tampan dan gagah, persis seperti Sandy di masa muda dulu.
"Kalau gitu, sekarang kita masuk, yuk! Bunda mau masak makanan spesial buat kamu."
"Ayo Bunda!."
Brama berkali-kali mengucap syukur dan terima kasih dalam hatinya. Tuhan memang baik, setelah ia kehilangan Aji dan Sheila, kini ia mendapat pengganti yang jauh lebih baik. Yaitu kehadiran kedua orangtua nya kembali.
***
"Jadi Sheila boleh berangkat ke Bandung besok, Ma?."
"Iya, Sayang. Papa juga pasti setuju sama keputusan Mama."
Sheila dan Ratna tengah berbincang di sofa ruang tamu. Tanpa ada Farel dan hanya mereka berdua.
"Tapi nanti gimana? Apa Aksa bakal jemput Sheila?."
"Jangan ngerepotin Aksa, She. Kamu dateng aja sendiri, pake taksi. Kasian Aksa, dia kan harus sekolah. Jadi nggak ada waktu buat jemput kamu," terang Ratna dengan kedua mata yang tetap fokus membaca majalah.
"Iya juga, sih. Mending Sheila bikin kejutan aja buat Aksa ya, Ma. Supaya dia kaget karena ada Sheila di rumahnya," ucap Sheila dengan sejuta rencana di dalam otaknya.
"Ya. Terserah kamu. Yang penting kamu jangan nyusahin Aksa di sana."
"Siap, Ma! Kalau gitu Sheila pergi ketemu Adi dulu, ya. Dah, Mama!."
"Hati-hati!."
Dengan suasana hati yang senang Sheila pergi untuk bertemu dengan Adi. Namun ada yang berbeda dengan gadis itu, ia pergi dengan tangan kosong tanpa membawa papan skateboard yang biasa selalu menemaninya.
"Kira-kira Adi ada di mana, ya? Di tempat latihan, atau masih di rumah?," gumam Sheila sebari terus berjalan di atas trotoar.
"Sheila!."
Sheila menoleh. Terlihat Fayez dengan sepeda motornya yang sangat jarang sekali ia pakai.
"Eh, Fayez. Baru balik sekolah lo?," tanya Sheila.
Fayes melepas helm full face yang sedari tadi menutup bagian kepalanya.
"Iya, nih. Lo mau ke mana? Tumben gak bawa papan skate?," tanya Fayez menatap heran pada Sheila yang berjalan dengan hanya membawa tubuh.
"Oh ini, gue mau ketemu Adi. Tapi gue nggak tau dia di mana."
"Kita ke tempat latihan aja, yuk! Kebetulan gue juga mau ke sana. Ada yang mau gue ceritain sama lo," ucap Fayez dengan raut wajah serius.
"Apaan? Soal cewek itu lagi?," tanya Sheila menahan tawa.
Fayez mengangguk malu, "Iya. Dia cewek yang gue ceritain kemaren," jawabnya.
"Ya ampun! Sejak kapan lo jadi bucin kayak gini, Yez? Bukannya lo cuek dan dingin ya sama cewek?."
Fayez berdecak kesal, "Nggak usah banyak ngomong deh. Mending lo sekarang naik. Kita ke tempat latihan sekarang."
Sheila mengangguk patuh dan menaiki motor Fayez. "Lo jangan ngebut, jangan ngerem mendadak, dan jangan curi kesempatan dalam kesempitan!."