"Atau gue cium saat ini juga."
Adi hanya diam. Ia melirik Sheila dengan menggunakan mata sebelah kirinya.
"Lo nggak waras?," tanya Adi pada Sheila yang masih menatapnya dengan intens.
"Gue nggak main-main. Kalau lo nggak mau jujur, gue bakal cium lo di sini."
Adi mendorong wajah Sheila secara perlahan, nampaknya ia risih dengan keberadaan gadis cantik itu jika terlalu dekat seperti ini.
"Udah deh. Gue nggak ada masalah apapun sama Brama. Lo liat aja sekarang, gimana ceritanya lo mau ngasih hadiah, sedangkan cowok lo itu nggak ada di sini?."
Sheila mendengus kesal. Ia menyandarkan punggung di sandaran kursi dan melipat kedua tangan di dada.
"Lo bener juga, sih. Tapi dia ke mana, ya? Lo ke sini tiap hari, kan? Lo liat ada Brama gak di sini?."
"Gak," jawab Adi singkat dan tanpa menoleh. Ia tengah sibuk memainkan hoodie yang baru saja Sheila berikan.
"Apa jangan-jangan dia sakit? Gue sms dia juga nggak ada balesan. Padahal gue kangen banget sama dia."
Adi mengangkat kepala. Ia merasa iba pada Sheila. Hanya karena menunggu lelaki brengsek seperti Brama, gadis itu harus merasakan khawatir setengah mati.
"Udah, She. Lo jangan pikirin Brama sampai kayak gini. Mungkin dia lagi ada urusan di luar, jadi nggak bisa ngabarin lo," ucap Adi berusaha menenangkan hati Sheila.
"Mungkin, sih. Bodo ah, ayo latihan lagi!."
Adi menatap punggung Sheila yang sudah berjalan lebih dulu.
"Andai lo tahu, She. Gimana brengseknya Brama," batin Adi.
***
"Gimana? Lo mau gue anter pulang atau mau pulang sendiri?."
"Pulang sendiri aja, Di. Gue bisa kok," jawab Sheila sebari merapikan tas nya.
"Gue anter aja deh. Ini udah mendung, takutnya lo kehujanan di jalan," bujuk Adi.
"Nggak usah, Adi. Gue bukan anak kecil lagi."
"Gak! Pokoknya lo harus pulang sama gue!."
Sheila mendengus kasar. Kalau sudah melihat tatapan Adi yang seperti singa begini, ia mana mungkin bisa menolak.
Adi memang hanya sebatas sahabat, tapi sikap perhatian dan sayangnya lebih dari itu. Bagi Sheila, ia sudah bagaikan seorang kakak yang selalu siap untuk menjaga adiknya. Dan Sheila, merasa senang akan hal itu.
"Ya udah kalau lo maksa," ucap Sheila tukas.
"Motor gue ada di depan. Mau gue bawain tas lo?," tawar Adi lagi.
"Nggak, nggak. Ini tas gue. Udah cukup lo bantu buat nganter gue," jawab Sheila tidak enak.
"Oke. Tapi sori, gue cuma bisa bawa motor, gue gak punya mobil, hehehe."
Sheila berdecak kesal, "Gue gak peduli, Adi. Lo mau nganterin gue aja, gue udah makasih sama lo."
"Iya deh, bawel." Adi mengacak-acak rambut Sheila hingga berantakan, membuat gadis itu memanyunkan bibir hingga beberapa centi.
"Siap?."
"Siap!."
"Lets go!."
***
Di perjalanan pulang, Sheila maupun Adi tidak ada yang mengeluarkan suara sepatah kata pun. Mereka tengah sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai tak terasa kedua tangan Sheila melilit di pinggang Adi.
"She, tangan lo jangan kayak gini, dong," keluh Adi yang merasa risi.
"Emang kenapa? Bukannya kalian, para cowok suka ya kalau dipeluk cewek dari belakang kayak gini?," tanya Sheila dengan suara cukup keras.
"Gak. Risi tau. Gue jadi gak bisa bebas gerak," sahut Adi sebari menggeliatkan tubuhnya, berusaha agar Sheila mau melepas pelukannya.
"Iya-iya. Gue lepas, deh."
Akhirnya Adi bisa bernafas dengan lega. Sheila bukanlah seseorang yang ia sukai. Untuk itulah ia tidak merasa ada desiran hebat ketika kulit tubuh Sheila bersentuhan dengan miliknya.
"Stop, Di!."
Ckiitttt.
"Astaga, Sheila! Lo kenapa sih minta berhenti ngedadak!," omel Adi yang hampir saja menabrak seekor kucing berwarna putih.
"Di, lo liat deh. Itu bukannya Brama, ya?."
Adi menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Sheila. Di seberang sana memang terlihat Brama yang sepertinya sedang membeli sesuatu.
"Iya, itu cowok lo," ujar Adi.
"Tapi dia sama siapa, ya? Kan nggak mungkin makan sendirian di sana."
Akhirnya Adi langsung tahu kalau ternyata Brama sedang berada di tempat makan bertenda di tepi jalan. Tapi anehnya, memang tidak mungkin kalau ia tengah makan sendirian di sana.
"Mungkin sama nyokapnya," celetuk Adi.
"Nggak mungkin. Nyokap Brama mana mungkin mau makan di pinggiran kayak gitu," ucap Sheila. "Gue harus ke sana," lanjutnya.
"Eh, tunggu! Lo jangan gegabah. Kita liat aja dari sini," usul Adi yang sudah mencekal pergelangan tangan Sheila.
"Lo bener. Pokoknya lo harus temenin gue buat cari tau si Brama lagi sama siapa," ujar Sheila tak terbantah.
Adi memutar bola matanya malas. Mau tidak mau ia harus mengikuti permintaan Sheila.
"Ya ampun! Haha.. Gue kirain Brama lagi sama cewek. Ternyata dia sama Aji."
Kali ini justru Adi yang dibuat tercengang. Karena ia juga melihat kalau Aji dan Brama tengah duduk bersama.
Kedua tangan Adi mengepal. Dadanya berderu dengan kencang. Rasa sakit sekaligus marah kini bersemayam di sekujur tubuh dan hatinya.
"Kita samperin, yuk!," ajak Sheila menoleh ke belakang.
"Di, lo kenapa? Kok malah bengong?." Sheila mengibaskan telapak tangannya di depan wajah Adi yang tengah menatap lurus ke depan.
"Gue gak apa-apa. Kita balik aja."
Sheila menaikan sebelah alisnya. Kenapa sikap Adi tiba-tiba berubah? Sekarang laki-laki itu justru terlihat kesal dan seperti sedang menahan sebuah amarah. Tapi kenapa?.
Sebagai sahabat yang baik, Sheila tidak mau bertanya banyak hal pada Adi. Ia mengerti, pasti ada sesuatu yang terjadi dan membuat sikap Adi berubah seperti ini.
Di perjalanan pulang pun Sheila tidak mendengar suara Adi. Hanya angin yang berhembus dan menerpa kedua wajah mereka.
"Di," panggil Sheila pelan.
"Gue lagi nggak mau ngomong apa-apa."
Sheila bungkam. Suara Adi terdengar sangat dingin. Berbeda dengan sebelumnya.
Sahabat macam apa Sheila ini, ia tidak tahu dan tidak mengerti apa saja yang bisa membuat sikap Adi berubah dengan tiba-tiba.
"Udah sampe."
Lagi-lagi suara dingin Adi terdengar sangat tidak enak di kedua pendengaran Sheila. Ia ingin bertanya, namun rasa tidak sepertinya mendominasi.
"Gue masuk dulu. Lo hati-hati, ya."
Adi mengangguk singkat dan memutar kendaraan roda dua nya keluar dari pagar rumah Sheila.
"Aneh banget. Biasanya dia bakal bawel dan ngacak-ngacak rambut gue," gumam Sheila dan kemudian masuk ke dalan rumah.
***
Adi masih terngiang-ngiang dengan apa yang ia lihat dengan Sheila tadi. Brama dan Aji, mereka berdua ternyata sedang bersama hari ini.
"Jadi, karena ini kamu nggak ada kabar?," batin Adi.
Hatinya sakit. Lebih sakit dari apa yang ia perkirakan.
"Aku janji, Di. Secepat mungkin aku bakal putusin Brama."
Adi tersenyum miris, tatkala mengingat janji yang Aji ucapkan dengan tegasnya. Tanpa ia lihat ada keraguan di dalam dua bola mata Aji ketika mengatakan hal itu.
"Jadi, kapan kamu putusin dia demi aku?."