webnovel

Serial Killer (A - Accident)

Seorang korban tabrak lari ditemukan meninggal dunia. Ketika polisi datang dan memeriksa tubuh korban, tidak ditemukan tanda pengenal, terdapat memar bekas ikatan di kedua pergelangan tangan dan kaki korban layaknya korban pernah disandera sebelumnya. Luka bekas menggenggam benda tajam juga terdapat di telapaknya. Karena tidak tampak seperti kasus kecelakaan biasa, kasus yang harusnya ditangani unit Laka Lantas pun diserahkan ke Tim Investigasi Khusus.

NurNur · ホラー
レビュー数が足りません
30 Chs

Tiga Belas.

"Seperti yang saya bilang, masih terlalu cepat untuk merasa frustrasi, 'kan?" Haikal berkata entah pada siapa. "Siap-siaplah merasa frustrasi mulai sekarang."

Pembagian tugas dimulai, menandakan pekerjaan akan semakin berat dan harus ekstra cepat.

Ketua tim dan Iwata memulai ulang penyelidikan kasus korban keempat. Haikal tetap berfokus pada dua kasus sebelumnya. Huda tetap pada tugas menemukan hubungan antar korban. Sementara Ken menemui dokter forensik dan petugas dari tim identifikasi untuk mendiskusikan beberapa detail kasus.

Seperti sebelumnya, pembunuhunan dilakukan dengan bersih. Tidak banyak jejak ditinggalkan, tidak ada petunjuk.

Setelah melihat keadaan mobil yang digunakan untuk menabrak, meminta keterangan dari orang-orang terdekat korban, hal terakhir yang dilakukan Ketua tim dan Iwata adalah mendatangi TKP dan mencari saksi.

Sore harinya semua anggota tim berkumpul untuk mendiskusikan apa yang telah mereka kumpulkan selama seharian ini. Iwata, Haikal, dan Ken sudah duduk di tempat masing-masing beserta catatan penyelidikan seharian ini.

"Apa iya korban keempat bukan dari kejahatan tiruan?" Haikal mengeluarkan suara pertama kali.

Ketua tim dan Huda masih belum datang, Haikal hanya mencoba membuka pembahasan agar ruangan yang diisi oleh mereka tidak sunyi senyap seperti tanpa penghuni.

"Kalau kejahatan tiruan harusnya bisa meniru lebih sempurna lagi," Iwata menjawab. "Di mana bekas ikatanya? Di mana bekas tempat penyekapannya?"

"Itu juga pertanyaan saya, kalau ini kasus yang sama kenapa tidak menggunakan metode membunuh yang sama seperti sebelumnya. Menyekap, membiarkan kabur, dan membunuh dengan menyamarkannya sebagai kecelakaan," Haikal mengatakan hal lain yang sama dengan Iwata namun dalam sudut pandang berbeda. Ia berjalan mondar-mandir di depan Iwata dan Ken.

"Kenapa dua korban sebelumnya memperlihatkan tanda-tanda penyekapan dengan jelas sementara korban ketiga tidak?" Iwata mengulang dengan kalimatnya sendiri.

"Jangan khawatir soal itu," Ketua tim yang baru datang menimpali. "Siang tadi bagian humas merima kiriman, yang ditujukan untuk Tim Khusus."

Ketua tim melempar tiga lembar foto yang dibungkus klip plastik yang biasanya digunakan untuk mengamankan alat bukti, ke atas meja. Foto-foto yang memperlihatkan keadaan 3 korban pembunuhan kasus yang tengah mereka selidiki.

Isi foto mengambarkan;

Korban pertama, Tri Agus 20 tahun yang berada dalam mobil, meregang nyawa dengan pecahan kaca mobil di mana-mana.

Korban kedua, Aditya Zainuddin 19 tahun yang terbaring berlumuran darah di jalan.

Korban terakhir, Fahri Syahreza 19 tahun yang ditinggalkan begitu saja dengan kondisi yang mengenaskan, pengelupasan kulit yang parah, dengan tubuh yang mulai dingin dan kaku.

"Gila!" tukas Ken. Iwata dan Haikal sama-sama menggemeletukkan giginya, geram.

Foto masih akan dikirim ke tim laboratoriun forensik untuk menemukan sidik jari, serat, atau apa pun jejak yang mungkin ditinggalkan pengirimnya. Agar tetap steril, foto kemudian dibungkus dengan klip plastik barang bukti. Siapa tahu nantinya akan digunakan sebagai bukti dalam pengadilan.

"Dengan mengirim ini ke kita jelas ini perang yang coba pelaku kobarkan," Haikal semakin geram.

"Kita belum tahu si pengirim benar pelaku atau bukan," kata Ketua tim.

"Ini pasti pelaku!" Haikal yakin. "Kita tidak menemukan saksi mata di mana pun walau kasus sudah diberitakan berulang kali di televisi."

Tidak ada tanggapan. Hanya helaan nafas yang terdengar.

Menurut kurir jasa pengiriman, yang mengirim foto dalam amplop coklat adalah anak berumur 4 tahun. Wajahnya terekam CCTV saat mengantri di lobi. Ketika ditanya dan diperlihatkan foto Anugrah untuk mengkonfirmasi siapa orang yang menyuruhnya, anak itu menggeleng. Menegaskan bahwa bukan Anugrah Permana orangnya.

"Anak baru, kamu jadi lebih pendiam hari ini." Haikal yakin baru mendengar satu kalimat yang diucapkan Ken, itu pun dengan nada setengah berbisik. Ken hanya menanggapi dengan anggukan kecil. Moodnya sedang buruk hari ini.

"Dimana Huda?" Ketua tim bertanya.

"Ada hal penting yang harus dia pastikan katanya," Iwata yang tadi melihat Huda terburu-buru pergi menjawab.

"Kalau begitu kita mulai tanpa Huda," Ketua tim memutuskan.

Rapat dimulai dengan mendengarkan keterangan Haikal. Haikal meminta bantuan beberapa petugas lain untuk mengawasi Anugrah Permana. Meski belum ditemukan bukti kuat, tapi kepolisian masih mencurigai Anugrah. Bila bukan sebagai pelaku atau kaki tangan, minimal ada petunjuk penting yang diketahuinya jika mau buka mulut memberi keterangan.

Sampai saat ini tidak ada hal mencurigakan dari gerak-gerik Anugrah Permana. Ia tidak menemui seorang, pun diam-diam melakukan sesuatu yang mencurigakan.

Keseharian Anugrah jelas. Beberapa hari mencari pekerjaan sebagai supir namun tanpa hasil, membuat Anugrah memilih beralih profesi untuk sementara. Ia ikut rombongan teman-temannya sebagai pekerjaan kasar menyelesaikan pembangunan sebuah gedung serba guna.

Sampai di rumah pukul 17.00 atau 17.30. Malam harinya sesekali ia akan ke luar rumah untuk nongkrong bersama beberapa orang temannya atau hanya sekadar mencari makan di luar dan kembali ke rumah.

Untuk penyelidikan lanjutan mengenai dua korban sebelumnya, sama sekali belum ada kemajuan.

"Saya pikir satu-satunya kunci penting adalah keterangan Anugrah Permana," kata Haikal di akhir penjelasannya.

Ken menjadi anggota selanjutnya yang menyampaikan hasil penyelidikannya. "Tidak ada yang berbeda. Hasil toksikologi negatif. Semua sama dengan yang tertulis dalam laporan," katanya singkat.

Menghela nafas. Lagi.

"Tidak ada argumen baru seperti sebelumnya?" Ketua tim bertanya, Ken menggeleng. "Firasat?" Ken menggeleng lagi.

Ketua tim akan beralih ke pembahasan selanjutnya, tapi Ken kemudian mengacungkan tangannya.

"Kenapa?"

"Boleh saya satu kelompok dengan Pak Huda?" Ken berniat berganti pasangan.

"Kenapa?" Ketua tim bertanya lagi.

"Kamu tahu sesuatu?" kali ini Iwata juga bertanya.

"Eh, apa?" Ken sedikit tergagap.

"Iwata pintar membaca gerak mata dan ekspresi orang lain, kamu tidak tahu, 'kan? Jadi jangan berekspresi atau ngomong yang aneh-aneh kalau tidak mau dijadikan bahan bereksperimennya," Haikal menepuk bahu Ken. "Dia suka menjebak orang lain dengan kalimatnya, kemudian membandingkan ekspresi dan kalimat yang diucapkan lawan bicaranya," tambahnya.

"Apa maksudnya?" Ken semakin tidak mengerti.

"Kamu tahu sesuatu, 'kan ?" Iwata bertanya lebih mendesak. Ia mendekatkan wajahnya, dengan tatapan tajam menyelidik.

Ken terdiam. Yang dilakukannya sepersekian detik itu hanya menggerakkan bola matanya ke sudut kanan atas. Hal kedua yang dilakukannya adalah menelan ludah. Dihujani tatapan sedekat itu membuat tenggorakannya tiba-tiba terasa kering. Terintimidasi. Ia bahkan bisa merasakan nafas Iwata dan aroma minyak rambut yang bercampur bau keringat dan sinar matahari.

Ken menggeser kursinya ke belakang.

"Itu, saya pikir petunjuk pentingnya ada di antara hubungan ketiga korban," jawab Ken akhirnya. "Jika tidak mudah ditemukan berarti harus ada lebih banyak orang yang menyelidiki."

"Ooh," Iwata membentuk bulat bibirnya.

"Sudah? Begitu saja?!" Haikal yang tidak menemukan bagian menariknya merasa kecewa.

"Terserah kamu saja kalau itu memang bisa memberi petunjuk lebih cepat," Ketua tim menyetujui.

Untuk sesi terakhir, Iwata yang menyampaikan hasil penyelidikannya dan Ketua tim mengenai gambaran kasus yang menimpa korban keempat.

Tidak banyak poin penting yang Iwata tekankan. Karena selain tanpa penyekapan, cara kerja pelaku masih sama bersihnya seperti pembunuhan terhadap dua korban lainnya.

Tempat yang ditargetkan untuk membunuh korban adalah tempat di luar jangkauan CCTV, sementara waktu yang dipilih adalah waktu-waktu sepi sehingga tidak mencolok dan tidak mengundang saksi mata.

Untuk mendapatkan tempat-tempat yang sesuai dengan kriteria pelaku, ia seharusnya melakukan survei terlebih dulu. Dengan berpatokan pada hal itu, Iwata akan memfokuskan pada pencarian orang mencurigakan, yang sering mondar mandir tanpa tujuan pasti di tempat-tempat kejadian perkara di beberapa hari sebelum kejadian.

Karena tidak banyak perkembangan kasus yang bisa didapatkan, Ketua tim membubarkan anggotanya. Mereka akan pulang lebih awal.

Semua orang butuh istirahat. Pikiran yang terlalu kusut dan lelah akan menutup banyak celah yang seharusnya bisa terlihat. Dengan merehatkan pikiran dari kasus sedikit lebih lama dari hari-hari sebelumnya, Ketua tim berharap saat mereka kembali bekerja besok semuanya bisa lebih segar.

Ken berdiam lebih lama di tempat duduknya meski Ketua tim, Iwata, dan Haikal telah pergi beberapa menit lalu.

"Anak baru itu menyembunyikan sesuatu 'kan? Kan?" Haikal membuka pembahasan saat yakin tidak ada Ken yang membuntut untuk menguping. "Bukannya kamu pernah bilang gerakan mata ke arah tertentu juga bisa jadi indikasi seseorang berbohong atau sedang menyembunyikan sesuatu."

Iwata mengangguk sekali. "Tapi dengan karakternya yang keras kepala dan benci didesak, Ken tetap tidak akan bicara meski kita paksa."

"Jadi?"

Iwata mengangkat bahu. "Dia juga anggota Tim Khusus 'kan, jadi kita percaya saja. Lagi pula dia calon perwira masa depan. Jika bersikap profesional dengan memprioritaskan penyelidikan saja tidak bisa, dia tidak perlu repot-repot menamatkan sekolahnya lagi."

Haikal tidak memiliki kalimat apa pun untuk mendebat atau membalas Iwata.

"Aku mau ke kafe Sakhi. Mau ikut?" tawar Iwata sebelum beranjak ke area parkir.

"Kenapa mengajak saya?" Haikal memberi tanggapan yang terdengar sinis di telinga Iwata.

"Cuma basa-basi. Kalau enggak mau ikut ya bagus," balas Iwata tertawa.

"Iwata!" Langkah Iwata terhenti karena panggilan Haikal. Mungkin berubah pikiran. "Jangan ceritakan kasus kita ke Sakhi. Kalau dia ngerasa punya banyak waktu luang..."

"Iya, iya aku tahu," Iwata memutus cepat.

"Ya sudah," Haikal beranjak lebih dulu. Ia mengambil kendaraan roda duanya dan berlalu.

"Memangnya dia pikir aku apa," Iwata masih menggerutu.

***