webnovel

Bab 8 - REATENSI

San mengajak Rea pulang. Membuat suasana hati Bagas tidak baik, bukanlah hal yang menyenangkan untuk San tentunya. Meski Rea terus menolak, San tetap bersikukuh. San tak ingin Rea mengecewakan orang-orang yang selalu ada untuknya. San tersenyum saat Rea menyandarkan kepalanya di punggung. Terdengar bagaimana gadis itu mengoceh, memarahi angin. Wajah kusut gadis itu membuat San tertawa.

“Kita bisa makan bareng di lain waktu. Hari ini kamu nurut sama Bagas dulu. Oke?” ucap San seraya mengerling. Motor yang gadis itu kendarai berhenti di depan gerbang rumah Rea. Namun, si empunya rumah masih betah duduk di balik punggung San sambil menempelkan kepalanya dengan erat. Rea merajuk. “Nanti kita main lebih lama, lebih sering, kita akan habiskan waktu kita di kampus. Rea mau, ‘kan?” ungkap San menatap penuh harap. Gadis itu mengayunkan tangannya ke belakang punggung, meraih wajah Rea yang cemberut. “Ayo, turun.”

Rea mendesis sebal. “San nggak seru!”

“Emm, biar kamu seneng aku harus apa? Ikut ke tempat Fael juga?”

Rea tercekat mendengar ucapan San. Gadis itu buru-buru turun dari motor San. Rea berdiri dengan pandangan mata tajam. Senyumnya memang hilang, tetapi San tahu betul jika pipi Rea perlahan memerah.

“Kan, bisa kunjungi sebentar. Setelah menyapa Fael, kamu bisa pulang. Bisa minta aku untuk menjemputmu, apa hal itu terlalu berat?”

“Iya, iya, bawel! San bawel!” Rea mendaratkan kepalan tangannya di helm San.

Kedua gadis itu tertawa renyah. Sama-sama tersipu-sipu malu. Setelah pamit, San pun pulang walaupun dirinya masih berharap melihat Rea masuk mobil Bagas sebelum kembali. Sayangnya, Jolie terus meneror dengan pesan-pesan gilanya.

***

Waktu malam menggila, sebagai calon mahasiswa seni San butuh banyak ilmunya. Walau Paman Atma selalu ada untuk mendukung, San ingin menjadi orang yang jauh lebih dewasa, mandiri, dan sanggup melakukan segalanya tanpa membuat orang lain khawatir atau merasa 'ah, ia butuh bantuan'. San ingin semua hal itu tidak melekat dalam dirinya.

San mempreteli peralatan melukisnya, kuda-kuda sudah dirinya pasang dekat jendela. Langit malam yang ungu kehitaman semu membiru membuat San tersentuh. Teringat wajah Rea rasanya. Bagaimana tingkah manja gadis itu, cicit cerewetnya, kerling genit mata belonya, dan semua yang melekat padanya; San mencintai itu.

Cat biru terang, merah muda, dan sedikit putih dari kotaknya, dicampur di atas palet dengan kuas mob, lalu San sapukan ke atas permukaan kanvas menimbulkan warna keunguan yang lembut. Tangannya dengan lihai mencampur banyak warna, membuka titik-titik yang jika dilihat dari kejuahan membentuk sketsa wajah seorang gadis dengan rambut diikat ekor kuda. Sekitar sepuluh menit lebih San memandangi kanvasnya yang setengah jadi dan menunggu kering sempurna.

San menuju dapur, terlihat beberapa anak baru yang katanya sekolah dekat-dekat komplek. San duduk di antara mereka yang usianya mungkin satu atau dua tahun lebih muda. Gadis tomboi itu menatap lekat-lekat pada salah satu di antaranya. “Kalian sekolah di dekat sini?” tanya San dengan ramah. Kerumunan anak baru itu tampak tertunduk malu-malu. Seperti yang orang-orang tahui, jika San amat dihormati siapa pun yang tinggal di asrama. Selain karena San dikenal dewasa, San juga ramah dan perhatian. San jadi salah satu anak asuh Bude Asri yang paling istimewa.

“Iya, Kak. Kalau Kakak sebentar lagi kuliah, ya?” cetus salah seorang yang duduk bersimpuh dengan ayu.

“Iya.” San mengangguk sederhana.

“Kakak pasti famous. Bisa dilihat dari sikap Kakak yang elegan, tentunya punya banyak teman yang hits. Kita … hanya remahan. Di acara orientasi aja banyak yang nggak mau berteman karena kita dari sisi kota,” adu yang lainnya menatap murung.

Famous? San tertawa dalam hatinya. Dalam hidup Rea, mungkin, San adalah topik utama yang tidak pernah membosankan. Selebihnya, di mata orang lain San hanyalah kepudaran. San menepuk-nepuk lutut anak itu sambil tersenyum lebar. Kelopak matanya yang tenggelam membuat wajah tegas San yang cantik agaknya tampan itu benar-benar memukau. Terbukti, beberapa dari mereka terlihat salah tingkah dengan menutupi rasa malu dan merah di pipi dengan memalingkan wajah.

“Nggak perlu menjadi terkenal untuk hidup jadi seseorang. Menemukan jari diri sendiri adalah cara terbaik untuk membuktikan bahwa you can … be a pop star. Lebih dari sekadar jadi terkenal. Punya satu teman akan lebih baik daripada punya jutaan teman. Kenapa? Satu lidi lebih terasa pedih di kulit.”

Pidato San didengarkan dengan saksama oleh anak-anak tersebut bahkan sampai mereka lupa waktu. Jam menunjukkan pukul sembilan malam, San memutuskan untuk mengakhirinya. Kembali ke kamar dan memastikan Rea tidur tepat waktu. Syukurlah, batin San lega tatkala melihat Whatsapps terakhir Rea terlihat daring sekitar pukul setengah sembilan malam. Terlepas Rea tidur atau tidak, setidaknya San tidak perlu risau Rea bergadang demi nonton youtube artis K-pop kesayangannya.

San merebahkan tubuhnya, menyesap aroma malam yang semakin pekat menyusup ke dalam celah-celah ventilator. Tatkala San mulai terlelap, Rea di rumahnya tengah duduk di meja belajar sambil memainkan puzzle. Gadis itu beberapa kali memandangi jam di dinding, dan tak ada kantuk yang kunjung datang. Memang ini bukan jam tidur Rea, tetapi membuat khawatir San bukanlah hal yang Rea bisa toleransi.

“Rea, besok kita ke tempat Fael lagi, ya?” seru Bagas sambil membuka lebar pintu kamar sang adik.

Rea terperanjat, gadis itu menatap tidak suka pada Bagas. Setiap hari, pemuda itu selalu usil, begitu di mata Rea. Embusan napas panjang nan dingin dari bibir Rea membuat Bagas menaikkan alis mata kanannya sembari menyeringai.

“Kenapa?” tanya Bagas masih menyeringai. “Aku nggak ada maksud jadi matchmaker, kok.” Bagas membela dirinya sambil membusungkan dada.

“Apa pun maksud tujuanmu, Bagas, aku nggak pernah ingin tau itu. Lagian kalau kamu ngajak aku pergi besok, aku udah punya janji sama San!” ketus Rea dengan tangan menyilang di depan dada. Gadis itu menjejal kaki ke lantai kemudian mendesis remeh.

Bagas mengambil banyak langkah hingga berdiri tepat di depan wajah Rea. Gadis itu terlihat sangat risi saat Bagas mencoba menyentuh pusat kepalanya. Rea mundur perlahan seraya menepis tangan sang kakak. “Jangan dekati aku, aku nggak suka!”

“Rea, kenapa sih, sejak kamu bersahabat dengan San, tata krama dan sopan santun kamu luntur. Apa otakmu udah dicuci San? Bahkan sejak SD kamu jarang banget menghormati aku, kamu lebih nyaman bermain dengan San yang aneh!” bentak Bagas, tangannya mendorong bahu Rea dengan kuat.

“Kamu yang udah dicuci otaknya dengan segala hal berbau foya-foya, klub, dan teman-temanmu!” balas Rea membentak Bagas.

Telapak tangan Bagas mendarat dua kali di wajah Rea. Merah tercetak di pipinya, air mata mulai berhamburan ia keluar. Melintasi pipi yang terasa amat pedih. Rea tak mampu memandang Bagas, kepalanya tertunduk lemas. Rea menggigiti bibirnya, aroma anyir khas zat besi yang berpadu saliva menyeruak di dalam rongga mulut Rea.

“Kamu pikir aku bahagia hanya dengan dibelikan banyak mainan dan dikurung di kamar, Bagas? Emm, kamu pikir aku senang diantar jemput setiap waktu dengan supir pribadi Mama, atau diboncengin kamu pakai sepeda hadiah ulang tahun aku suka?” tanya Rea mendongak sedikit demi sedikit. “AKU NGGAK SUKA! Setiap hari les musik, setiap hari les matematika, dan semuanya hal yang Mama dan Papa suka, tapi aku nggak suka Bagas.”

Telapak tangan Bagas kembali mendarat di pipi Rea. “Harusnya kamu bersyukur, Rea!” bentak Bagas hilang kendali. Emosinya terus meluap.

“Lalu, apa kamu yang suka kabur-kaburan sejak duduk di bangku SMP itu udah bersyukurkah? Kamu yang diam-diam merokok, membolos, bahkan main ke tempat yang begitu udah bersyukur? Kamu juga nggak suka ada di sini, ‘kan?”

Rea mendorong tubuh Bagas menjauh dari hadapannya. “Kamu juga merasa sesak setiap kali Mama dan Papa pergi. Pada dasarnya kita sama-sama mencari pelampiasan dari apa yang kita rasakan. Bedanya … orang yang kita temukan beda. Aku menemukan San, dia yang selalu membawa kebahagiaan. Dan asal kamu tau, San jauh lebih baik dari jajaran sahabatmu yang murahan!”