webnovel

Bab 7 - Kedatangan Fael

Rea menikmati waktu paginya setelah semalam dirinya tidur nyenyak. Meski pengar dan sedikit bindeng akibat kena hujan, hanya dengan minum segelas teh hangat Rea merasa tubuhnya baik-baik saja. Udara pagi yang segar membuat gadis itu bahagia. Langkah kecil yang timbul dari kakinya menimbulkan bunyi dari sandal bulu-bulu beralas karet. Tangannya asyik membawa cangkir menuju pelataran belakang tumah. Terlihat Bagas tengah duduk manis berbincang dengan Rafael. Kedua pemuda itu asyik menikmati latte—aromanya yang pekat manis gurih bisa Rea rasakan.

“Selamat pagi, Rea?” sapa Rafael sambil melambaikan tangannya antusias. Amat disayangkan, Rea tampak tidak peduli. Malah memilih bergegas menuju kolam ikan.

“Adik lo, Bagas, kalau disapa nggak pernah mau jawab. Sombong banget!” sindir Rafael sembari menyesap bibir cangkirnya.

“Rea, kan, rada rabun. Dia mungkin nggak lihat lo duduk di situ, El.” Bagas membela, pemuda itu tampak mengamati sang adik yang begitu cantik pagi ini. Tubuhnya dibalut kaos berwarna dusty, sementara kaki jenjangnya dibalut jogger pant berwarna putih semu kekuningan. Tatanan rambutnya dicepol asal, tetapi tetap membawa aura secerah mentari adanya.

“Lo mau datang ke kafe jam berapa, Gas? Gua sebentar lagi mau jemput seseorang.” Rafael buru-buru menghabiskan minumannya. Pemuda itu bangkit dari kursi kayu dengan alas kain ala-ala hawai—kain putih motif bunga berwarna cerah atau bentuk gambar yang identik dengan pantai.

“Gua datang siang aja, soalnya Rea pasti main lagi kalau ditinggal sendirian. Biasa, baru lulus suka cari-cari waktu kabur,” turur Bagas dengan ramah. Senyum manis dengan dimple di pipi kiri itu membuat Rafael ikut tersenyum. Pasalnya, melihat Bagas terasa seperti melihat Rea mereka bak pinang dibelah dua.

“Nggak apa-apa, dong, kuliah lebih berat bebannya daripada sekolah. Jadi, puas-puasin main dulu sebelum serius,” sanggah Rafael yang kini menyiapkan diri segera bergegas. Pemuda itu mengenakan jaketnya, kemudian mengganti sandal karet putih hijau dengan bersepatu.

“Gua pamit, ya! Salam buat Om dan Tante, besok gua mampir lebih lama. Besok, weekend, ‘kan!” pamit Rafael sembari cengengesan.

Bagas memerhatikan punggungnya. Rafael tangguh. Ia yang punya daya pikat nan unik. Tatapan matanya amat kuat, sentuhannya bagi sebagian gadis adalah candu. Meski ia tampak lembut tutur katanya. Suaranya dari rayuannya, selalu matikan. Tak salah jika banyak gadis yang tergoda, terjerat bujuk rayunya. Mungkin hanya satu gadis di dunia yang belum bisa Rafael taklukkan. Ia ... Rea. Bagas mengerjap. “Mungkin bukan saatnya,” gumam Bagas seraya melirik ke arah Rea yang asyik menikmati aroma pucuk-pucuk bunga hendak mekar.

Suara motor Rafael dapat Bagas dengar menjauh dari rumah. Kaki Bagas bergerak menghampiri sang adik yang berjongkok memegangi daun bunga kumis kucing. “Rea, kamu nggak jalan-jalan, kan, hari ini?” lontar Bagas seraya menatap saksama. Turun pemuda itu berjongkok di sebelah sang adik.

“Nggak. Kenapa?”

“Ke kafe, yuk! Sekali-kali main di kafe punya orang tua Rafael, kali aja kamu nanti jatuh cinta sama dia.”

“Aku sibuk. Harus pergi ke suatu tempat.” Rea masih asyik dengan dunianya sendiri.

“Ketemu San? Sekalian aja ajak San! Kita hangout bareng!” seru Bagas sontak berdiri tegak bersamaan ponselnya berdering. Tangan Bagas membelai lembut puncak kepala Rea. “Aku nggak mau dengar kata-kata penolakan dari kalian!” tandas Bagas memasuki rumah

.

Rea menghembuskan napasnya sebal. Tatapan dangkal dari gadis itu masih menjurus pada pintu rumah saat Bagas bercengkrama dengan benda pipih di daun telinganya. Rea beranjak menuju kamarnya setelah cukup puas membaui pucuk-pucuk bunga hendak mekar tersebut. Gadis itu lunglai. Entah mengapa, dalam kepalanya ada perasaan yang tak enak setiap kali memikirkan sebuah perjalanan bersama San. Rea takut, gelisah rasanya jika San jadi pusat perhatian orang dalam keramaian. Apalagi San begitu unik.

Rea mendaratkan punggungnya di kasur, menikmati lampu berbentuk bintang yang berputar-putar mengikuti embusan angin yang masuk lewat celah tirai jendela.

“Apakah cinta ini tumbuh semakin besar?”

“Mungkin. Nggak ada yang nggak mungkin.”

“Apa San akan merasa risi jika aku katakan padanya bahwa aku benar-benar mendambakan ciuman bibirnya?”

“Ah ….”

Rea berdialog dengan dirinya. Gadis itu berulang kali mengatur napasnya. Bergidik menghalau perasaan gelisah juga resahnya. Namun, perasaan itu tetap tak mau enyah. Rea terlalu takut kehilangan San. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, sementara itu di asrama khusus putri kediaman San begitu ramai saat Jolie membawa beberapa pakaian bekas artis ibu kota. San yang hanya bisa mengamati kerusuhan tersebut tersenyum. Jika Rea ada, mungkin ia pun akan sama hebohnya.

“San, sini!” panggil Jolie. Akan tetapi gadis tomboi itu hanya menggeleng.

“Aku harus pergi. Ada janji!” sahut San seraya melangkah menjauhi kerumunan para gadis. Kakinya hendak melangkah lebih jauh, sayangnya ada tangan lembut nan hangat yang menahannya. San menoleh mendapati Jolie menatap dengan saksama.

“Janji sama siapa? Kan, janji lo cuma sama gua. Udah janji akan makan siang barengan gua, ‘kan?”

“Aku harus antar barang dulu. Nanti siang balik lagi, kok. Aku harus jemput Bude di tempat kerja.” Senyum manis terbit di bibir San.

“Awas kalau telat. Kita usir lo kalau ingkar janji!” ancam Jolie sambil menyentil hidung San yang mancung.

“Iya, Mbak cantik sang super model!” tandas San tak mau ambil pusing.

Motor keluar dari pekarangan asrama. Melaju di bawah langit ibu kota yang begitu indah biru sempurna. Awan putih yang menggumpal berlarian mencari naungan. San tersenyum, Rea bilang akan mengajaknya pergi ke sebuah kafe bersama Bagas. Amat disayangkan, San harus menolaknya. Motor San berhenti di depan sebuah gerbang tinggi, mewah dan megah rumah di hadapannya tersebut. Tampak Rea berjalan senang membukakan pintu gerbang. Rea mendaratkan pelukannya di tubuh San.

“Sahabat aku akhinya datang!” ucap Rea sambil melenguh lega. “Ayo pergi. Aku malas harus ikut Bagas!” desis Rea cemburu.

“Loh, nanti Bagas marah.”

“Ah, cuma acara minum-minum kopi di kafe. Nggak ada yang spesial.”

San tersenyum lebar, Rea naik boncengannya tanpa canggung. Motor San menyala, kembali menuju asrama. Rea tidak keberatan jika harus menghabiskan waktu bersama San meski harus jadi orang asing di acara makan-makan antar anak asrama putri tersebut. Asalkan bisa bersama San sepanjang waktu.

Di sepanjang jalan Rea asyik mendengarkan San berkisah tentang para gadis di asrama. Walaupun akhirnya timbul rasa cemburu dalam dada Rea, tetap setia dirinya mendengarkan. Candu suara San yang memenuhi jiwanya membuat Rea hanyut, mendaratkan kepalanya bersandar di punggung San sambil menikmati riuhnya angin. Gerbang menyambut, tampak Jolie dan beberapa gadis sudah sibuk dengan bahan masakan masing-masing. Asri pun menghampiri kedua gadis yang baru saja memarkirkan motor di halaman itu.

“Ini Rea, ya?” sapa Asri menatap ramah, begitupun senyumnya pancarkan kehangatan yang lembut. Rea manggut, dikecup punggung tangan wanita di hadapannya tersebut. Asri membelai rambut Rea yang cokelat kemerahan. Pandangan mata nan teduh itu membuat Rea salah tingkah. Rea mengecap bibirnya malu-malu. Gadis itu memilin kain bajunya dengan canggung, jelas terlihat kedua lututnya gemetaran. Rea butuh oksigen untuk mendinginkan dadanya.

“Jadi ini Rea, San selalu bercerita kalau dia punya sahabat baik yang cantik. Ternyata Rea lebih dari cantik,” puji Asri sambil mencubit pipi Rea dengan gemesnya. Tak lama Jolie pun ikut bercakap menyambut kedatangan dua gadis tersebut yang asyik berbincang dengan Asri.

“Wah, kayaknya gu pernah lihat lo. Di mana, ya?” Jolie tersenyum. “Lo yang juara dua kompetisi nyanyi buat minuman isotonik tingkat kota itu, ‘kan?” selisik Jolie memantapkan pandangan matanya super kepo.

“Iya,” sahut Rea masih benar-benar malu-malu kucing.

“Wah, San hebat juga bisa berteman dengan orang yang kelihatannya hype abis kayak lo gini!” celetuk Jolie melirik San.

Si empunya nama hanya memerhatikan bagaimana Rea menyambut obrolan yang disajikan orang-orang. San tersenyum. San menghampiri para gadis yang sibuk mengupas lobak untuk dijadikan isian kuah soto daging khas kota Bandung. Gadis itu mencuci tangannya kemudian bergabung memotong lobak. Sementara itu, Rea masih sibuk mengobrol dengan Jolie.

Ponsel San berdering, menampilkan pesan masuk dari Bagas.

[Rea pergi sama kamu, ‘kan? Suruh dia pulang. Kami ada acara di tempat Rafael. Dan San, jangan terlalu banyak menghabiskan waktu dengan Rea. Adikku butuh ruang untuk belajar. Kalian akan sama-sama kuliah, bukan?]

“Rea?” panggil San dengan lembut.