webnovel

Selembar Surat Kontrak

Rara sangat putus asa mengenai masalah keuangannya. Demi kelangsungan hidupnya, Rara bersedia menjual Ginjalnya kepada Seorang Kakek yang kaya raya. Namun, bagaimana jika kakek tersebut meminta Rara untuk menikahi cucunya? Rey yang putus asa mencarikan donor ginjal untuk kakek mendapatkan sebuah harapan dari seorang wanita yang mau memberikan ginjalnya. Namun kakek meminta Rey untuk menikahi wanita itu sebagai permintaan terakhir dari kakek. Rey dan Rara pun setuju untuk menikah namun Rey sudah menggaris bawahi pernikahan ini. Bahwa pernikahan ini hanya Sebuah Kontrak. Mereka sepakat untuk tidak saling jatuh cinta. Namun jauh dalam hati, Rey sudah memiliki cinta untuk Rara.

An_Autumn · 都市
レビュー数が足りません
311 Chs

Peringatan Tentang Esok

"Rara....Lola.... Tolong buka pintunya." tok.tok.tok bunyi pintu di ketuk dengan kuat seraya memanggil penghuni rumah tersebut.

Bu Mirna, si pemilik kontrakan, mendatangi rumah Rara dan Lola. Ia ingin memberikan hadiah sebagai tanda terima kasih karena sudah membayar uang sewa untuk 3 bulan yang lalu bahkan sampai 3 bulan ke depan. Entah dari mana Rara mendapatkan uang itu, namun Bu Mirna tidak peduli. Yang paling penting baginya mereka membayar uang sewa tepat waktu. Kembali Bu Mirna mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka itu.

"Hey.... Rara..... Cepat buka pintu ini." Teriak Bu Mirna lagi. Suaranya akan hilang jika Ia berteriak seperti tadi terus-menerus.

Ceklek. Bunyi kenop pintu dibuka. Keluarlah seorang wanita dengan baju tidur lusuhnya seraya menguap lebar-lebar menandakan dirinya masih amat sangat mengantuk. Bu Mirna hanya menatap tak percaya, pada seorang gadis yang berada di depannya ini.

"Astaga Lola... sudah jam berapa ini. Apa kamu baru saja bangun dari tidur panjang mu? Lihat lah kondisi mu sekarang ini." Bu Mirna hanya bisa mengelus-eluskan dadanya. Bu Mirna berpikir tidak akan menjodohkan anak laki-laki nya pada wanita yang suka bangun siang.

Lola yang mendengar itu kembali menguap. Pekerjaannya sebagai Waitress di Cafe My Taste sangat membuang tenaganya. Dirinya tidak bisa berisitirahat. Kakinya dipaksa untuk terus-menerus berjalan kesana-kemari melayani pelanggan, mengambil piring-piring kotor dan membawanya ke bagian cuci piring, mengantarkan makanan dan masih banyak lagi. Pada akhirnya yang diinginkannya hanya hari libur tanpa adanya gangguan apapun dan dari siapapun. Tapi ada saja hal-hal yang mengusik hari liburnya. Lola pun bejalan menuju kursi yang ada di teras rumah.

"Aduhh bu, Lola sangat capek setelah bekerja seharian. Hari ini hari libur Lola, tapi ibu malah membangunkan Lola." Lola mengeluh kepada Bu Mirna yang datang siang-siang begini.

"Kan ada Rara, kenapa mesti kamu yang keluar." Bu Mirna pun mengambil tempat di kursi sebelah Lola.

"Rara pergi ke supermarket bu, belanja."

Bu Mirna hanya ber-oh ria sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Pantas saja bukan Rara yang muncul.

"Ada apa perlu apa ibu datang. Bukankah Rara sudah membayar uang sewa 3 bulan yang lalu dan 3 bulan yang akan datang." Lola tanpa basa-basi berbicara, tangannya sambil menopang wajah agar tak jatuh dan matanya terpejam. Masih sangat sulit bagi Lola untuk membuka matanya. Namun Ia sadar jika Bu Mirna sedang bicara padanya. Sungguh tidak sopan. Batin Bu Mirna memaki Lola.

"Lola, kalau bicara itu harus menatap lawan bicara. Apa kamu sudah kehilangan sopan santun mu. Bagaimana jika kamu nanti sudah berkeluarga, kamu saja masih tidak bisa membenahi diri dengan baik." cerocos Bu Mirna mengomentari hidup Lola.

Oke. Lola sudah mulai kesal. Bu Mirna mulai mengomentari hidupnya, bahkan ibunya saja tak pernah melakukannya. Dengan amat sangat-sangat terpaksa Lola kembali membuka kedua matanya lebar-lebar seraya menatap Bu Mirna sambil tersenyum.

"Ibu tidak usah khawatir akan hidup Lola. Lebih baik ibu katakan saja ada perlu apa ibu datang. hehehe." Lola memaksakan dirinya tertawa receh.

Bu Mirna yang mendengar itu hanya mendelik melihat Lola.

"Ini, ambil ini." ujar Bu Mirna sambil memberikan sebuah tas agak besar berisi kue-kue kering.

Wow. Lola mengambil tas itu dengan senang. Memang walaupun Bu Mirna sangat menyebalkan tapi dia bukanlah orang yang pelit. Kadangkala Bu Mirna mengantarkan bermacam-macam makanan. Dan karena itulah Rara dan Lola sangat nyaman tinggal disini. Mungkin Bu Mirna merasa kasihan pada mereka berdua. Yang satu sudah tidak ada orang tua lagi, yang satunya ibunya sering dipukuli.

"Wahhh, ini sangat banyak bu. Lebih banyak dari biasanya." Lola mengeluarkan satu-satu toples kue kering itu dan membukanya, melahap kue-kue itu dengan rakus.

"Sudah, sudah. Sebelum makan itu harus cuci muka, cuci tangan, gosok gigi. Jangan langsung makan saja." Bu Mirna kembali mengomel.

Seketika nafsu makan Lola hilang, menguap begitu saja mendengar omelan yang baru saja dikatakan Bu Mirna. Keburu kehilangan selera. Maki Lola dalam hati. Kembali Lola menutup toples kue itu dan memasukkannya lagi ke dalam tas.

"Kalau begitu ibu pergi dulu. Sampaikan terima kasih pada Rara karena sudah membayar uang sewa kontrakannya." Bu Mirna bangkit dari duduknya dan berjalan pergi meninggalkan Lola.

Lola pun segera masuk, mengunci pintu lagi dan menenteng tas yang berisi kue kering itu untuk diletakkannya di atas meja makan. Segera dirinya beringsut menuju kasur tersayangnya, menarik selimut dan tidur lagi.

****

"Lola, bangunlah. Kau sudah tidur dari tadi loh. Tidur terlalu banyak juga tak baik untuk kesehatan." Rara mengguncang dengan keras tubuh Lola agar dirinya terbangun. Namun Lola hanya bergumam nanti akan bangun, nanti akan bangun. Tapi tak bangun-bangun juga. Rara mulai kesal dibuatnya. Hanya ancaman yang bisa membuat Lola terbangun dari tidurnya.

"Baiklah, kalau kau tidak mau bangun. Jangan salahkan aku kalau makanan di dapur habis. Aku hanya memasak seadanya saja. Selesai makan aku akan pergi menemui Rey." ancam Rara seraya pergi keluar dari kamar Lola.

"Apa tadi katanya, bertemu Rey" pikir Lola mengingat apa yang baru saja di katakan Rara tadi. Untuk memaksa ingatannya kembali, Lola pun akhirnya bangun dari tidurnya. Setelah tadi Bu Mirna pulang, Lola tidur dan belum ada bangun lagi. Tau-tau sudah malam saja. Batin Lola

Lola pun keluar dari kamar dan menuju meja makan. Ternyata Rara sudah makan duluan, tak ingin ketinggalan Lola langsung mengambil piring dan ikut makan bersama Rara.

"Cih, bukannya menunggu ku" Lola mendesis dan secara kasar mengunyah makanannya.

"Aku buru-buru tau. Aku akan pergi menemui Rey di Banjir Kanal Barat." jelas Rara sebelum Lola bertanya. Lola hendak menjawabnya tapi buru-buru Rara segera bangkit dari duduknya.

"Aku sudah siap. Aku akan pergi sekarang." Rara berjalan ke bak cuci piring, mencucinya dan meletakkannya di rak piring. Lalu berjalan menuju kamarnya. Lola tercengang melihat tindakan Rara, dirinya belum bertanya lebih lanjut tapi Rara sudah masuk saja ke kamarnya. Lola kesal melihatnya. Sejak mengenal Rey, Rara jadi sering memikirkan pria itu. Kembali Lola mengunyah makanannya dengan kasar.

Rara keluar dari kamarnya dengan perasaan gugup namun senang. Ah hampir saja dia lupa, memberitahu Lola bahwa Beno tadi menelepon dirinya.

"Aku pergi sekarang, jangan khawatirkan aku. Lebih baik kau khawatirkan saja dirimu. Beno tadi menghubungi ku. Dia mengatakan akan datang kesini untuk bertemu dengan mu. Sepertinya dia mendapatkan nomor ku dari Rey. Katanya dia sudah menghubungi mu tapi ponsel mu tak aktif." Rara menjelaskan secara singkat sambil memakai sepatu. Lola yang tengah minum mendengar hal itu pun tak pelak membuat dirinya tersedak hingga terbatuk-batuk. Rara yang melihatnya segera berlari ke arah Lola dan menepuk pelan punggungnya.

"Kau ini, kenapa bisa sampai tersedak begitu sih." Rara masih menepuk-nepuk punggung Lola yang sedang terbatuk-batuk. Wajahnya pun menjadi merah semerah kepiting rebus.

"Kau tiba-tiba berkata begitu, tentu saja membuat ku langsung tersedak." Lola membela diri, kembali menuangkan air dan meminumnya dengan rakus.

"Sudahlah aku bisa terlambat nanti. Pokoknya kau segera lihat ponsel mu dan mandilah. Bagaimana jika Beno sudah disini tapi kau belum mandi. Tentu kau akan merasa sangat malu. Lihat wajah mu itu sudah seperti kepiting rebus." Rara berlari menuju pintu, takut-takut Lola melemparinya dengan sendok atau garpu yang ada disana.

"Sialan kau. Urus saja dirimu sendiri." Teriak Lola sambil mendesis kesal.

"Cih. Mau apa dia datang kesini." tanya Lola pada bayangannya yang terpantul karena cahaya lampu.

****

Rey sudah sampai di tempat sesuai yang Rara katakan. Namun sepertinya wanita itu belum sampai. Mungkin sebentar lagi. Pikir Rey

Rey segera mengambil tempat di pinggir sungai, pandangannya menerawang, Ia mengeluarkan sebuah pena dari saku jasnya. Pikirannya teringat kembali pada saat kakek menelepon dirinya. Rey yang saat itu tengah bersantai sambil menikmati acara televisi, tiba-tiba mendapatkan telepon dari kakek. Tanpa basa-basi kakek langsung mengatakan jika ada orang yang ingin menyakiti Rara. Dan orang itu adalah Satria. Rey yang tak percaya dengan semua itu mencoba bertanya pada kakek. Namun kakek tidak memberikan jawaban apapun.

Kakek hanya meminta Rey untuk menjaga Rara. Dan setelah itu sambungan telepon pun terputus. Meninggalkan sejuta pertanyaan yang tak dijawab kakek. Rey tak mengerti dengan semua yang terjadi, darimana kakek tau tentang Rara. Padahal Rey tak pernah menyebut-nyebut tentang Rara dan lagi sepupu nya sendiri lah yang akan menyakiti Rara. Apa yang sebenarnya sedang kakek sembunyikan. Apa hubungannya dengan Satria. Semua pertanyaan itu berkecamuk dalam dadanya.

Setelah mendapat telepon dari kakek, Rey langsung menyuruh Raditya untuk menyelidiki Satria. Dan ternyata benar saja, tadi siang Raditya mengatakan bahwa Satria sedang menyuruh anak buahnya mengikuti Rara. Bahkan anak buahnya itu disuruh Satria untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Rara. Rey yang mendengar itupun syok dan tanpa sadar membanting komputer yang ada didepannya. Komputet yang tak salah apa-apa itu pun, naas menjadi korban kemarahan Rey. Rey segera menyuruh Raditya untuk mencarikan orang agar bisa mengikuti Satria dan anak buahnya. Ia akan melihat bagaimana permainan ini berjalan.

"Rey, apa kau sudah menunggu lama?" tanya Rara yang entah kapan berada di samping Rey. Rey yang tengah melamun itupun sampai terkejut.

"Apa aku mengejutkan mu? Aku tak bermaksud begitu" Rara panik melihat Rey yang sebegitu terkejutnya melihat kedatangan Rara. Tapi Rey melihat-lihat sekitar dan Rara mencoba mengikuti arah pandangan Rey namun tetap saja Rara tak mengerti.

Rey yang melihat kedatangan Rara itupun terkejut karena dirinya tengah melamun. Buru-buru dilihatnya sekeliling area pinggir sungai dan didapatinya sebuah mobil van hitam yang sangat mencurigakan. Rey yakin saat dirinya sampai disini tidak ada mobil van hitam itu. Dan Rey juga yakin bahwa mobil itulah yang disuruh Satria untuk memata-matai Rara. Rey segera turun dan menggenggam tangan Rara menuju mobil.

"Rey kita mau kemana. Kenapa terburu-buru sekali." Rara mencoba bertanya tapi tak ada jawaban yang Rey berikan. Sampai di mobil Rey, Rey hanya menyuruhnya untuk masuk.

"Ada apa Rey, kenapa kau begini?" tanya Rara bingung tak mengerti mengapa Rey bersikap seperti ini.

Rey segera menyalakan mobil dan pergi dengan kecepatan tinggi. Tidak menjawab apapun pertanyaan Rara. Dirinya saat ini sangat fokus untuk bisa pergi dari mobil van hitam itu. Namun mobil van itu dengan mudah mengejar Rey. Rey pun semakin dalam menginjak pedal gas dan semakin kuat mengeraskan rahangnya. Rara yang melihat Rey seperti itu seketika ketakutan, tatapan matanya sangat tajam, rahangnya yang mengeras dan bibirnya yang terkatup rapat. Rara belum pernah melihat sisi Rey yang seperti ini.

Rey semakin laju memacu mobilnya dan sesekali melihat ke belakang melalui kaca spion. Dirinya saat ini tengah merasakan marah yang luar biasa. Semua mobil yang berada di depannya dilewati begitu saja demi menghindari mobil van itu. Setelah dirasa Rey mobil van itu tak mengejar lagi, karena Rey memacu mobilnya dengan kecepatan sangat tinggi. Pasti saat ini Rara tengah merasakan ketakutan.

Rey pun melihat ada sebuah jalan yang lumayan sepi, dan mengarahkan mobilnya kesana. Mematikan mesin mobilnya namun tidak keluar dari mobil.

Rara ingin marah, namun ditahannya. Rara sungguh tak mengerti apa yang baru saja Rey lakukan. Rara hanya bisa menghela napas menahan kesabarannya.

"Sebaiknya kau jelaskan, apa yang baru saja kau lakukan Rey." Rara meminta penjelasan Rey, Rey menoleh melihatnya. Tatapan matanya menyiratkan bahwa dirinya khawatir dan takut. Rey pun mengeluarkan sebuah pena dari dalam saku jasnya.

"Aku ingin kau menyimpan ini Kazura." Rey memberikan pena itu dan Rara mengambilnya.

"Untuk apa ini?" Rara bertanya namun Rey diam.

"Apa kau hanya akan diam, kau sungguh tidak akan menjawab ku? Rara mulai kehabisan kesabaran.

"Dengar Kazura. Jika ada sesuatu terjadi padamu esok, aku ingin kau menggunakan pena ini. Dengan pena ini kau bisa merekam video dan suara." Rara tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Apa maksud perkataan Rey.

"Apa kau bercanda? Memangnya apa yang akan terjadi padaku, Rey. Kenapa kau bicara setengah-setengah. Aku tak mengerti." Rara bicara putus asa.

"Kau cukup menggunakannya seperti ini." Rey menjelaskan bagaimana cara menggunakan pena tersebut. Tapi Rara tidak mendengarkannya dengan jelas karena Rara sibuk dengan pikirannya. Apa yang membuat Rey jadi seperti ini. Ini tidak seperti ada orang yang mencoba menyakitimu bukan. Apa mungkin memang ada yang ingin menyakiti ku. Pikir Rara.

"Kazura, kau harus percaya padaku. Mungkin aku tidak akan tepat waktu menolong mu. Tapi pasti aku akan datang menyelamatkan mu. Jadi aku mohon padamu bersabarlah sampai saat aku tiba nanti. Kau harus membawa pena ini kemana pun kau pergi. Jika sesuatu terjadi kau harus segera mengaktifkan videonya. Kau mengerti bukan?" Rey berbicara sambil menatap mata Rara. Rey sengaja tidak memberitahu Rara karena Rara bisa saja menjadi ketakutan, firasatnya mengatakan jika Satria akan memulai rencana pada esok hari. Itulah mengapa Rey menyuruh Rara untuk membawa pena ini. Walaupun Rey juga sudah menyuruh orang untuk mengikuti mereka namun Rey harus punya bukti kuat jika ingin menangkap Satria.

Rara hanya mengangguk pelan tanda dirinya mengerti. Rey kemudian menyalakan mesin mobil dan melaju dengan kecepatan sedang. Tentu saja Rara merasa sangat kecewa melihat kebisuan Rey.