"Ka-kamu mau cium aku ya," teriak Maurin sambil menutupi wajahnya.
"Jangan kepedean kamu, anak angkat! Bukannya terimakasih habis ditolongin. Malah nuduh yang macam-macam," sahut Tomi mulai keluar sifat aslinya.
"Ini, Tuan minyak kayu putihnya untuk Non Maurin." Mbok Asih menyodorkan botol minyak kayu putih kepada Tomi.
Setelah itu, Tomi membalurkan minyak tersebut ke leher Maurin serta kakinya. Tomi juga menyuruh Mbok Asih untuk mengambilkan makanan untuk Maurin.
"Makanya kalau waktunya makan ya makan, jangan diabaikan," tutur Tomi dengan wajah sinis.
Maurin hanya terdiam membisu, dia tak berani berkata sepatah katapun. Tanpa diberi aba-aba, dia ambil piring dari Mbok Asih, lalu memakannya dengan lahap. Tomi dan Mbok Asih hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku Maurin yang sungguh konyol. Hingga sesekali mereka menatap sambil menelan saliva.
Malam itu, kebetulan Pak Hardi pulang dari luar kota. Untuk beberapa waktu ke depan, Pak Hardi ingin mengerjakan kerjaan kantor di rumah saja. Berita yang begitu buruk untuk istri dan anak-anak Pak Hardi, karena mereka harus berpura-pura baik selama Pak Hardi di rumah.
"Tomi sayang, bagaimana sekolah kamu rajin kan?" tanya Pak Hardi.
"Always dong, Pa. Kan biar seperti papa, bisa pegang perusahaan yang gede," sahut Tomi. Padahal selalu Maurin yang mengerjakan tuga-tugasnya.
"Kalau kamu, Maurin. Apa kamu betah sekolah di situ?" tanya Pak Hardi kepada Maurin.
"Ka-kalau sa-saya boleh usul, apa boleh saya pindah ke sekolah tempat yang biasa-biasa saja? Karena saya tidak punya teman di sana, Pak."
"Jangan!" potong Tomi, membuat semua yang ada disekitar situ terkejut. "Mak-maksud Tomi, jangan pindah. Kan enak kalau kita setiap hari bareng-bareng," lanjutnya.
Mungkin jika Maurin benar-benar sudah pindah sekolah, Tomi tidak akan ada lagi yang mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Makanya dia berusaha melarang Maurin agar tidak berniat pindah sekolah.
Dugh!
Dugh!
Dugh!
Suara langkah kaki menuruni anak tangga, ternyata Bu Rani dengan kedua anaknya turun dari lantai atas. Melihat suaminya sudah berada di rumah, gerak-geriknya mulai gelisah. Terlihat Doni dan Anton juga sedang berbisik-bisik gelisah. Mungkin mereka takut jika Maurin akan mengadu dengan Pak Hardi.
Tak lama kemudian, Pak Hardi pamit ke kamarnya untuk beristirahat. Kesempatan bagi mereka berempat untuk mengancam Maurin, agar tidak mengadu kepada Pak Hardi.
"Hei, awas saja kalau sampai kamu mengadu aneh-aneh ke suami saya!" bisik Bu Rani sambil menjambak rambut panjang Maurin.
"I-iya, Bu. Auh, sakit," pekik Maurin.
Bu Rani melepaskan rambut Murin, lalu pergi sambil menjundu pelan kepala Maurin. Diikuti kedua anaknya juga, hanya Tomi yang tidak ikut menjundu kepala Maurin. Dia hanya melirik sinis ke arah Maurin, lalu berlalu.
Keesokan harinya, Mbok Asih sudah menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga besar Pak Hardi. Biasanya Maurin sudah terlihat bangun subuh untuk membantu Mbok Asih di dapur. Namun karena ada Pak Hardi di rumah, Bu Rani melarangnya membantu Mbok Asih lagi sampai suaminya kembali bekerja di luar kota.
"Oh iya, Pa. Besok kan ulang tahun Tomi, boleh kan kalau Tomi merayakannya dengan pesta di rumah?" Tomi bersikap manis kepada papanya, karena sedang ada maunya.
"Boleh dong, Sayang. Sekalian besok Papa mau kenalin Maurin kepada rekan kerja Papa," sahut Pak Hardi.
"Di-dikenalin untuk apa, Pa?" tanya istrinya terkejut.
"Ya ... supaya mereka tahu, kalau Papa punya anak perempuan secantik Maurin," sahut Pak Hardi.
Uhuk! Uhuk!
Doni tiba-tiba tersedak saat mendengar papanya berbicara seperti itu. Dia tak ingin harta warisan papanya kelak dibagi dengan saudara angkatnya. Akhirnya dia berniat membuat rencana untuk membuat Maurin tidak betah tinggal di rumahnya, lalu mengusirnya.
***
Senja mulai tampak, langit menjadi oranye dengan lukisan awan yang begitu artistik. Teringat masa kecilnya, Maurin tak pernah melewatkan sedikitpun proses matahari terbenam. Betapa hatinya ingin sekali melihat wajah ayah dan ibunya, yang sejak lahir dia tak pernah tahu.
"Ayah, Ibu, kalau kalian masih hidup, Maurin ingin bertemu dengan kalian. Walaupun sebenarnya kalian tak pernah menginginkan kehadiranku," ucap Maurin lirih, sambil menatap ke arah langit.
Tomi yang saat itu ingin menyuruh Maurin, berhenti sejenak saat mendengar ucapan Maurin. Dalam hati kecilnya, Tomi ada perasaan bersalah dengan kelakuannya selama ini terhadap Maurin. Walau bagaimana pun, Maurin hanya hidup sebatang kara.
"Ehem, cepat ganti baju! Tamu-tamu sudah menunggu," suruh Tomi sambil menyodorkan sebuah gaun putih kepada Maurin.
"Aku nggak pantas berada dipesta itu, sebaiknya aku di kamar saja," sahut Maurin dengan nada datar.
"Cepat! Kalau dalam hitungan ketiga kamu nggak ganti baju, besok bakal ku siram telur busuk. Mau?" Tomi kembali mengancam.
Karena bosan dengan ancaman saudara angkatnya, akhirnya Maurin bergegas ganti baju. Dia memakai make up ala kadarnya saja, lalu membuat hair do ala sendiri. 20 menit kemudian, Maurin keluar dari kamarnya. Dengan gaun putih dan hills tinggi, dia berjalan ke arah Tomi bak model catwalk.
"Ma-Maurin." Tomi terpelongoh melihat sosok Maurin yang sangat anggun sekali. Mata lentik serta senyuman manis menghiasi wajah Maurin, seketika Tomi terhanyut dalam suasana. Dia membayangkan seolah-olah dia sedang berdansa dengan Maurin. Di bawah alunan musik yang bergelora, dia menghabiskan waktu bersama Maurin.
"Tom, Tomi, apa kamu baik-baik saja?" tanya Maurin hampir mengagetkan Tomi dalam lamunannya.
"Oh i-iya, a-aku baik-baik saja. Ayo kita ke depan! Papa dan mama sudah menunggu," sahut Tomi gugup.
Namun tak untuk Doni dan Anton, walau dandan secantik apapun, Maurin tetap musuh bebuyutannya. Mereka tak pernah rela jika papaya direbut oleh Maurin begitu saja.
Acara pesta ulang tahun Tomi akan segera dimulai, semua keluarga bersiap menyambut kedatangan para tamu yang sudah meluangkan waktunya untuk hadir di pesta Tomi. Sebelum ke acara ulang tahun, seperti yang dikatakan tadi pagi, Pak Hardi akan mengenalkan Maurin kepada tamu pentingnya malam itu. Semua mata tertuju kepada Maurin, karena memang malam itu dia tampak cantik sekali. Bagaikan berlian yang berada pada jajaran pasir, dia terlihat berkilau sendiri.
Ada rekan kerja yang datang menghampiri Pak Hardi dengan Maurin. Teman Pak Hardi tersebut berniat mengenalkan anak laki-lakinya kepada Maurin. Karena sejak tadi, anak laki-lakinya tersebut ngebet ingin berkenalan dengan anak angkat Pak Hardi. Akan tetapi, ketika ingin berjabat tangan, Tomi datang secara tiba-tiba dan menarik tangan Maurin untuk pergi dari tempat itu.
"Aduh, Tomi ... Tom, tanganku sakit," pekik Maurin.
Tomi menghentikan langkahnya, lalu melepaskan tangan Maurin.
"Maafkan aku," ucap Tomi dengan wajah gelisah. Entah kenapa dia mulai peduli dengan saudara angkatnya tersebut.
"Kamu mau mengancamku lagi?" tanya Maurin dengan mendekatkan wajahnya ke wajah Tomi. Jantung Tomi semakin berdegup kencang, dia tak kuasa melihat tatapan Maurin.