webnovel

Are You Okay?

    Jessi melemparkan tubuhnya ke atas kasur. Ponselnya terus berdering namun tak sama sekali ia hiraukan. Tangannya bergerak seakan menyentuh lampu yang sudah menerangi kamarnya agar tidak gelap. Terus memutar seakan menyentuh seluruh permukaan lampunya. Bibirnya terangkat tipis demi tipis. 

    Bayangan ketika Fauzan memintanya jadi kekasih di kelas sepuluh dulu melintas, membuat bibir Jessi terangkat manis. 

    Kemudian disusul bayangan ketika melihat untuk yang pertama kalinya kedua orang tuanya bertengkar dengan hebat hingga membuatnya terkejut. Bibirnya terangkat sinis. 

    Lalu ketika Jeno menampar pipinya hanya karena tidak sengaja mengganggunya ketika bermain game online. Itu sangat keras membuat rahangnya masih terasa sedikit sakit sampai sekarang. Padahal kejadian itu sudah hampir tiga tahu lalu. Mungkin karena Jessi juga tidak memeriksakan dirinya ke dokter dan tidak ada satu orang pun yang tahu meski Jeno sendiri. Bibirnya masih bertahan sinis dengan tatapan mata yang sendu. 

    Kemudian bayangan saat ia mengetahui fakta jika ada wanita lain selain dirinya di dalam hidup Fauzan. Bahkan bukan hanya satu melainkan beberapa. Bibir Jessi tersenyum penuh arti dengan tatapannya yang tajam. 

    Lalu, tiba-tiba saja semua bayangan itu terus berkelibat seakan saling mengalahkan satu sama lain membuat Jessi bingung. Kepalanya seakan penuh dan tak bisa terkendali. Tawa keras keluar dari mulut Jessi dengan tangannya yang mengacak rambut. 

    Bukan untuk yang pertama, melainkan sudah hampir yang ke puluhan kali Jessi seperti ini setiap kali semua bayangan itu muncul. Lagi dan lagi tidak ada yang tahu. Semuanya seakan melihat Jessi selalu bahagia dengan senyuman tipis di bibirnya. Namun, nyatanya dibalik semua itu terdapat banyak sekali kepahitan yang membuat hidup Jessi kadang ingin menyerah. 

   Dering ponselnya tak berhenti. Malah semakin keras membuat perbuatan Jessi terhenti. Ia mengatur nafasnya yang tak terkendali. Semua ekspresi wajah, tatapan mata serta seringaian itu hilang dalam seketika. Ia kembali seperti Jessi yang semua orang kenal dengan baik-baik saja. 

   Melirik lebih dulu ponselnya yang berada tepat di sebelahnya. Kemudian tangannya meraih benda itu untuk melihat siapa yang daritadi terus saja menghubunginya. 

    Ada nama Rere disana dengan foto profil motor dan serba hitam. Jessi mengangkatnya sembari mendudukkan dirinya. 

    "Hallo!" 

    "Jessi, lo baik-baik aja? Kenapa baru diangkat sih?" Rere di seberang sana sudah mengomel saja karena Jessi lama menjawab panggilannya. 

    "Iya maaf. Ada apa emangnya, Re?" 

    "Gue sama Cleo mau ketemu sama lo. Lo bisa keluar gak? Atau kita yang ke rumah lo aja?" 

     "Iya. Gue bisa keluar sekarang kok. Yaudah kirim aja lokasinya sekarang. Gue mau siap-siap dulu," jawab Jessi kemudian panggilan ia matikan untuk bersiap-siap. Tidak banyak hanya mengambil tas dan memperbaiki riasan wajahnya saja agar tidak terlihat berantakan. Memoles sedikit bibirnya dengan warna merah agar tidak terlihat pucat. 

    ***

    "Gimana?" tanya Cleo langsung ketika Rere sudah memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. 

     "Iya dia bakal dateng kok. Yaudah yuk kita langsung ke lokasi sekarang. Takutnya malah Jessi yang duluan nyampe," jawab Rere kemudian menarik tangan Cleo. Wanita feminim itu memasuki mobilnya sedangkan satu wanita tomboy dengan ikat satu itu menaiki motor kesayangannya. 

    Jam di tangan kedua wanita itu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Suasana kota sedang sangat ramai meskipun sudah gelap.

     Mereka pun sampai di cafe kencana sepuluh menit kemudian. Cafe yang selalu menjadi tempat kumpul favorit mereka dari dulu. Bahkan mungkin cafe ini sudah tahu banyak cerita tentang suka dan duka hidup mereka. 

    Rere langsung memesankan menu kesukaan kedua sahabatnya dan membiarkan Cleo untuk memilih kursi yang akan menjadi tempat nyaman untuk mereka berbicara. 

    "Kak Rere, kemarin ada kak Disha ke cafe ini." Rere yang sudah akan berbalik dan menunggu pesanan di mejanya kembali menghentikan langkahnya ketika salah satu pegawai yang memang sudah mengenal mereka itu berbicara. 

    "Siapa? Disha?" 

    "Iya, Kak. Dia datang sendiri sih. Cuma yang buat aku kesel itu, dia seakan gak kenal sama aku, Kak."

     Rahang Rere mengeras. Mendengar nama itu disebut saja sudah cukup membuat Rere kesal. 

     "Dia beneran gak kenal kamu atau pura-pura aja?"

      "Mila gak tahu, Kak. Tapi aneh aja kalo dia gak ngenalin aku."

      "Yaudah deh. Makasih infonya yah, Mil."

      "Iya, Kak. Kalo gitu Kakak silahkan tunggu di meja aja yah!" 

     Rere mengangguk kemudian berbalik badan menuntaskan langkahnya menghampiri Cleo yang sudah duduk manis di kursinya. Wanita itu memang paling jago untuk urusan spot ternyaman. 

    ***

    "Non, mau kemana? Udah bilang den Fauzan?" Bi Emma bertanya ketika melihat tampilan rapih dari Jessi turun dari tangga. 

    "Gak perlu bilang, Bi. Nanti aku yang bicara langsung," jawab Jessi kemudian berlalu. 

    Padahal disana masih ada kedua orang tua Jessi dan satu kakak kandungnya. Tapi, bi Emma malah meminta Jessi untuk izin pada Fauzan. 

    "Mau kemana kamu, Jessi?" tanya kasar Surya menatap Jessi dari bawah sampai atas dengan tajam. 

     "Mau beli vas bunga dulu. Kalo ada aku beliin yang karet aja biar kalo dibanting gak pecah," jawab Jessi tidak serius. Kemudian dirinya benar-benar pergi dari rumah itu. Malas jika harus berbicara serius pada orang tuanya. 

     Ia sudah memesan taksi online karena sedang malas berdebat dengan siapa pun. Begitu pun dengan satpam rumahnya. Nanti yang ada di laporin pada Fauzan lagi. 

    ***

    "Jess, are you okay?" tanya Rere langsung memperhatikan wajah Jessi yang ia rasa ada yang berbeda. 

    "Ya. Lo liat gue baik-baik aja, kan? Kenapa?" Jessi menaruh tasnya di sebelahnya kemudian menatap semua pesanan yang sudah ada di atas mejanya dengan penuh. 

    "Emang Jessi kenapa, Re?" tanga Cleo dengan polosnya. Tadi dia sendiri yang bilang jika Jessi sedang tidak baik-baik saja. Sekarang dirinya yang malah bertanya pada Rere. 

    "Dibawah mata lo kayak ada bekas cakaran kucing. Lo kan gak punya kucing bahkan alergi sama bulu kucing. Terus itu kenapa?"

    Untuk urusan feeling, Cleo jagonya. Tapi, untuk urusan teliti, Rere tidak ada yang mengganggu. 

     Jessi refleks menyentuh bawah mata yang Rere maksud. Kemudian tersenyum dengan tipis sembari meminum kopi yang ada. 

     "Bekas cakaran tanganku, kok."

     Rere memelototkan matanya karena terkejut. Maksudnya apa wanita itu menjawab seperti itu? 

     "Gak sengaja lagi make up?" Rere mencoba berpikir positif meskipun sulit. 

    "Enggak. Sengaja," jawab Jessi dengan santainya sambil memakan kentang goreng. 

    Cleo hanya menikmati kopinya dengan tenang. Tidak terganggu dengan semua percakapan Jessi dan Rere. Padahal tadi dirinya yang memaksa ingin bertemu dengan Jessi. 

    "Jess, are you really okay? Tell me!" 

     Dua sudut bibir Jessi terangkat membuat sebuah lukisan senyuman yang indah. Pikirannya sudah melayang entah kemana.