webnovel

Perkara Spam Chat

"Sial, pokoknya gue tandain itu si El. Gue blacklist dari kehidupan gue. Ganteng-ganteng, akhlaknya ngeselin bener," ujar Sasya memaki El sejak tadi.

Bagaimana tak kesal? lelaki itu cerewet sekali sampai melakukan spam chat kepadanya. Intinya ya untuk mengingatkan bahwa sepulang sekolah nanti, Zara harus mencuci motor El di rumah lelaki itu. Tapi hei, tidak usah spam chat juga. Lagian Zara juga tak akan kabur.

Masalahnya, gara gara spam chat lelaki itu yang beruntun, dan kecerobohan Sasya karena tak mengaktifkan mode senyap pada ponselnya, ia harus menjalani hukuman sekarang gara-gara wali kelasnya yang memang terkenal killer mengira kalau dirinya chattingan di saat guru itu sedang menjelaskan di depan.

Sasya menghela napas berat melihat toilet putri di depannya. Tidak terlalu kotor, tapi tetap saja Sasya harus membersihkannya agar lebih bersih.

"Ck, sialan emang itu orang. El sialan, kenapa sih jadi temennya Abang Arash." Sasya ngomel-ngomel sendiri di tempatnya. Gadis itu lantas segera meraih ponselnya, dan memblokir nomor El setelah mengirimi pesan berisi umpatan pada lelaki itu.

Setelahnya, Sasya segera mengantongi ponselnya kembali dan berjalan ke depan untuk meraih alat pel beserta pewanginya.

Sasya jelas melakukan pekerjaan ini dengan penuh tidak ikhlas. Wali kelasnya juga terlalu lebay menurutnya. Sasya kurang beruntung juga sepertinya.

Sebab saat dulu salah satu teman sekelasnya lupa mematikan ponselnya, dan berdering keras saat ada yang menelpon, guru lain hanya menegurnya dan memintanya untuk mematikan.

Sudah, begitu saja. Tidak sampai ada acara hukum-hukuman seperti ini.

Ting.

Sasya tersentak, gadis itu menghentikan kegiatannya dan segera meraih ponselnya. Dapar Sasya lihat pop up pesan yang terpampang di layar kunci.

Bang Arash

Kenapa maki-maki El? Bisa sopan sedikit?

Sasya terkekeh pelan, gadis itu memilih untuk kembali mengantongi ponselnya setelah sebelumnya ia matikan daya. Biarkan Arash larut dalam spekulasi nya sendiri. Sebab, sejak saat itu memang hubungan Sasya dan Arash kurang baik.

"Cowok banci, beraninya ngaduan, sialan." Sasya kembali memaki El. Sepertinya sudah banyak sumpah serapah yang Sasya lontarkan hari ini hanya untuk El seorang.

Untungnya, tepat bel istirahat, Sasya sudah menyelesaikan tugasnya. Toilet sudah tampak bersih. Maka gadis itu segera meletakkan peralatan kebersihan di pojok toilet.

Lantas segera berbalik, hendak keluar kalau saja pasukan geng jamet itu tidak menghalang langkahnya dan menutup pintu toilet.

"Apa-apaan lo?" teriak Sasya nyolot tatkala melihat Tere tersenyum lebar di depannya.

Ada tiga orang perempuan di belakang Tere. Sasya menghela napasnya dengan berat. Gadis itu sudah siap dengan apa yang akan Tere lakukan saat tak ada Naka dan Sastra. Gadis itu ... pasti akan mencuri kesempatan ini untuk sekedar menyinyirinya atau kadang bisa main tangan juga.

Tapi satu yang harus diingat.

Sasya bukan gadis lemah.

Tere terkekeh di tempatnya berdiri, gadis itu bersedekap dada, "Pumpung nggak ada dua tampan itu, gimana kalau kita main-main sebentar?" tanya Tere sembari menarik turunkan alisnya.

Sasya mendengus sebal, "Mainnya keroyokan, cupu bener," katanya dengan kekehan pelan.

Tere menggeram, "mau satu lawan satu?" tanyanya.

Sasya berdehem, ia ingin sekali menerima tawaran itu. Hanya saja ... kalau mereka ketahuan guru bk sedang baku hantam, pasti Bundanya akan dipanggil kan?

"Gue nggak ada waktu. Minggir lo semua, gue laper sialan!" seru Sasya kesal.

Tere terkekeh di tempatnya untuk kesekian kalinya, "takut?" tanyanya.

Sasya menganggukkan kepalanya, "hm, gue takut."

Tere tertawa, gadis itu memang suka melihat Sasya lemah. Ia segera meminta teman-temannya untuk membuka pintu, dan bergeser agar tak menghalangi pintu.

"Silahkan, gue lolosin karena lo kaya lemah gitu kali ini." Tere berujar begitu.

Sasya tersenyum manis, "terima kasih, kakak tiri."

Namun, sebelum berlari dari sana, Sasya lebih dulu menendang lutut Tere membuat kakak tirinya itu berteriak kesakitan.

Tapi sayangnya, Sasya benar-benar tak peduli tentunya.

Tere menggeram pelan di tempatnya, "Sialan, tunggu aja lo!" serunya berteriak.

Sasya masih bisa dengar, tapi ia hiraukan.

***

"Lo pada inget mantan si Diko kagak sih? tau nggak kalian, itu cewek lagi hamidun," ujar Bumi membuka acara ghibah menghibahnya.

Diko mendelik, lelaki itu menatap Bumi dengan tatapan kagetnya, "Serius lo? dapet kabar darimana? gue aja nggak tau," jawabnya dengan pelan.

Bumi mengedikkan bahu acuhnya pelan, "Gue kemarin ketemu itu cewek lo di supermarket. Berhubung kenal ya gue sapa, eh pas di kasirnya, gue liat dia beli susu bumil. Disitu gue baru ngeh kalau perutnya rada buncit," katanya pelan.

Diko menggelengkan kepala, "Nggak mungkin ah, dia tuh anak baik-baik. Polos bener, pas pacaran sama gue juga ga aneh aneh."

Bumi mengedikkan bahu, "ya siapa yang tau," jawabnya. Setelah itu Bumi menoleh ke arah Arash yang duduk di sampingnya. Lelaki itu tampak sibuk mengerjakan tugas kampus.

Berhubung Arash kerja part time di cafe, maka lelaki itu harus menggunakan waktu sebaik-baiknya.

"Lo nggak capek, Rash? Kuliah sambil ngambil part time." Bumi bertanya pada sang sahabat.

Arash menghela napasnya berat, "Ya mau gimana, idup gue nggak kaya dulu lagi, Bumi. Ada Sasya sama Bunda yang jadi tanggungan gue juga. Bokap gue bener-bener udah lepas tanggung jawab," ujarnya pelan.

Bumi dan Diko saling tatap, mereka mengucapkan kata kata semangat setelahnya.

Dan El sendiri tampak mengerutkan dahi melihat umpatan Sasya melalui chat itu. Lelaki itu berdehem pelan. Ia mengamati poto profil Sasya yang kosong. Padahal sebelumnya ada.

Maka El segera mendongakkan kepala, ia menatap Arash yang duduk di depannya. Ada rasa ragu, namun rasa penasaran El mengalahkan itu semua.

"Rash," panggilnya membuat sosok Arash menolehkan kepala.

"Napa?" tanya Arash yang sejak tadi duduk di depannya.

Kini El dan para sang sahabat sedang bersantai santai karena ternyata dosen yang mengajar mereka hari ini izin tak masuk.

"Gue boleh nanya?" tanya El ragu.

Arash menganggukkan kepalanya pelan, "Nanya aja sih, apaan?"

El berdehem, "Em pinjem ponsel lo aja deh," katanya.

Maka tanpa kata, Arash segera memberikan ponselnya pada El. Diko sendiri yang duduk di samping El tampaknya penasaran. El sendiri tak menyadari kalau Diko mengintip apa yang El lakukan pada ponsel lelaki itu dan milik Arash.

"Oh, El dicaci maki sama adeknya Arash." Diko bersuara agak kencang, membuat Arash, Bumi, atau pun El tentu saja mendengarnya juga.

El mendelik, ia menatap Diko kesal, "Nggak usah kepo bisa nggak sih?!" serunya sebal.

Diko terkekeh pelan, lelaki itu mengangkat dua jarinya ke samping telinga, "Peace," katanya.

Arash sendiri menatap El bingung, "Ada apaan?" tanyanya pada sang sahabat.

El menggelengkan kepalanya pelan, "Orang nggak ada apa-apa."

Arash tak percaya begitu saja. Lelaki itu segera merebut ponsel El dengan mudah. Ia menghela napas berat melihat kata kata kasar yang Sasya kirim.

"Gue nggak tau kalau Sasya bisa sekasar ini. Padahal, kalau di rumah dia ngomongnya lembut. Sebringasnya dia, paling cuma ngomong sambil teriak teriak kalau sama gue."

Arash mengerutkan dahi, "Tapi ... kenapa lo spam Sasya?" tanyanya membuat El gelagapan di tempatnya.