webnovel

Keluarga Sarinem

"Nggak usah manja Nem!"

"Cepat masak, kami sudah sangat lapar!"

Setelah mengucapkan kalimat itu Tanti beranjak masuk ke kamarnya dan membangunkan suaminya yang masih tidur nyenyak. Tanti tahu, kalau Tedi yang menyuruh, Sarinem akan segera melakukannya.

"Nem, mana uang? Aku mau beli rokok dan paketan!" suara bariton seorang lelaki menghentikan gerakan tangan Sarinem. Rambutnya acak-acakan dan raut wajahnya tampak kesal karena terganggu tidurnya.

Tedi, ayah kandung Sarinem berdiri tepat di sebelahnya sambil menadahkan telapak tangannya. Sarinem merogoh saku celananya.

"Uang segini mana cukup?" bentak Tedi keras, dilemparnya empat lembar uang pecahan sepuluh ribuan itu ke wajah Sarinem.

"Jadi orang jangan pelit, tahu diri dong, siapa yang rawat dan biayai kamu dari kecil?" sambung lelaki berusia empat puluh lima tahun itu.

"Uangnya buat belanja Pak, tinggal itu sisanya," sahut Sarinem datar, sambil membungkuk dan memungut uang yang tadi dilempar oleh Tedi.

"Makanya kerja keras, biar dapat uang banyak!" bentak Tedi sambil merampas uang yang masih berada dalam genggaman Sarinem.

"Pasti masih ada sisanya di sini!" dengan cepat Tedi merogoh saku celana Sarinem dengan kasar, dan matanya terbelalak ketika mendapati dua lembar uang biru masih tersisa di sana.

Plak!

Plak!

Plak!

Tiga tamparan keras mendarat di kedua pipi Sarinem.

"Berani-beraninya kamu bohong! Ini apa, hah?" hardik Tedi sambil mengacungkan uang biru itu tepat di wajah Sarinem.

"Jangan diambil Pak, itu uang Mak Yan, tadi ..."

"Halah, jangan banyak alasan! Dasar anak sial!" hardik Tedi keras, sambil menyentak tangan Sarinem yang berusaha meminta uang titipan tadi.

"Tolong Pak! Itu bukan uangku!" Sarinem masih berusaha meminta uang itu.

"Yo memang bukan uangmu, tapi uangku!" sahut Tedi sambil mendorong tubuh kurus Sarinem, hingga gadis itu jatuh tersungkur di lantai.

Sarinem cepat bangun dan mengejar Tedi yang sudah berada di luar pintu, dia menyesal karena lupa memberikan uang titipan Mak Yan tadi kepada Putri, anak Mak Yan.

"Nih, buat beli paketan!" ucap Tedi sambil mengulurkan selembar uang biru kepada Wanda yang mencegatnya di halaman.

"Pak, jangan! Itu uangnya Mak Yan!" seru Sarinem sambil mendekati Tedi dan Wanda.

"Nem, mana uang titipan Emak?" tanya Putri yang tahu-tahu sudah berdiri  di pekarangan rumahnya.

Tedi dan Wanda saling berpandamgan, dan kemudian mereka memilih pergi seolah tak mau tahu urusan Sarinem dan Putri.

"Nem! Malah bengong!"

Putri menghardik Sarinem yang masih terpaku menatap kepergian Tedi dan Wanda.

"Iy-iya Put, tunggu sebentar aku ambilkan," sahut Sarinem gugup.

Sarinem bergegas masuk ke kamarnya, dengan pelan dia menarik keranjang plastik yang sengaja di isi dengan kain serta barang-barang tak layak pakai.

Di antara tumpukan barang-barang itu, Sarinem menarik sebuah kantong plastik hitam.

"Ineeeem!"

Tanti berteriak memanggil Sarinem dari dapur, rasa lapar membuatnya semakin kalap ketika mendapati semua bahan masih belum dimasak oleh Sarinem.

Di dalam kamarnya, Sarinem dengan cepat mengembalikan kantong plastik hitam tadi di tempatnya semula, setelah mengambil dua lembar uang warna biru.

Bertahun-tahun Sarinem menyimpannya di tempat itu, dan tak pernah ada yang mengganggunya, karena baik Tedi, Tanti atau Wanda tak pernah menyangka Sarinem akan menyimpan hartanya di tempat itu.

"Ini Put, uangnya, maaf ya lama nunggu," ucap Sarinem sambil mengulurkan uang itu.

"Hhmmm!" Putri langsung mengambil uang dari tangan Sarinem dengan kasar.

"Lain kali langsung kasih ke rumah, jadi aku nggak usah repot ke sini!" ucap Putri dengan ketus lalu bergegas pergi tanpa menunggu penjelasan Sarinem.

"Neeeem!" teriakan Tanti terdengar semakin nyaring, bergegas Sarinem berlari kecil ke dapur menemui ibunya.

"Ada apa Bu?"

"Dari tadi ke mana? Nggak tahu aku lapar!" bentak Tanti dengan mata membulat menakutkan.

"Kan tinggal masak to Bu? Semua sudah saya siapkan, ikan juga sudah saya bumbui, sayuran sudah saya cuci, ibu tinggal masak saja!" jawab Sarinem dengan santai sambil menuang segelas air dari teko plastik.

Tanti semakin geram mendengar jawaban Sarinem, dia pikir setelah membangunkan suaminya tadi Sarinem akan mengerjakan semuanya hingga tuntas, karena Sarinem hanya akan memasak jika di suruh oleh Tedi.

Tapi ternyata dugaan Tanti salah karena Tedi terlupa untuk menyuruh Sarinem masak, yang diingat oleh Tedi hanyalah minta uang dari Sarinem dan setelah dapat uangnya Tedi langsung pergi.

"Berani kamu nyuruh ibumu? Aku ini ibumu Nem, sembilan bulan kamu numpang di perutku, aku bertaruh nyawa melahirkanmu, setelah lahir aku yang merawatmu, memberimu ASI, sekarang mana baktimu? Mana balas jasamu?" cecar Tanti dengan nafas memburu karena marah.

"Saya nggak akan lupa semua itu Bu, tapi bagaimana dengan Wanda? Apa dia terlahir dari batu? Hingga dia diperlakukan seperti ratu?"

"Saya capek Bu, dini hari saya harus bangun ke pasar jadi kuli, cari uang untuk biaya hidup kita..."

"Jadi kamu nggak ikhlas?" Tanti memotong kalimat Sarinem dengan tatapan sengit.

"Saya ikhlas Bu, tapi saya nggak sanggup mengerjakan semua sendiri, tolonglah ibu mengerti. Wanda sudah dewasa kan Bu? Masa semua harus saya yang melayani?" Sarinem berkata dengan suara pelan.

"Wanda itu lain, dia nggak bisa ..."

"Lain? Lain apanya Bu? Bukankah saya dan Wanda sama-sama anak Ibu? Sama-sama terlahir dari rahim ibu? Tapi kenapa Ibu memperlakukan dia seperti ratu, dan menganggap saya seperti pembantu?"

Jleb!

Tanti terdiam sejenak mendengar ucapan Sarinem. Dalam hatinya mengakui, rasa sayang dan cintanya terhadap Wanda melebihi segalanya.

"Haah, pokoknya nggak mau tahu, cepat masak, sebelum bapakmu dan Wanda pulang semua harus matang, aku nggak mau mereka terlalu lama menahan lapar!" sergah Tanti sambil melenggang pergi menuju ke kamarnya.

Sarinem mengabaikan ucapan Tanti, tanpa membuang waktu, Sarinem bergegas ke kamarnya, diambilnya kantong plastik hitam tadi, lalu dia masukkan ke dalam kantong plastik yang sengaja diisi sampah untuk mengelabui siapa saja yang melihatnya.

"Neeeeemmm!" Tanti berteriak lagi.

Sarinem berlari ke dapur, dilihatnya Tanti berdiri sambil berkacak pinggang, tatapannya nyalang melihat bahan-bahan masakan belum juga matang.

"Ada apa Bu?"

"Masih tanya juga? Itu kapan matangnya? Wanda dan bapakmu keburu pulang!" bentak Tanti sambil menarik topi yang bertengger di kepala Sarinem. Dengan sigap Sarinem mengelak, Tanti hanya bisa melotot ke arahnya.

"Maaf Bu, saya buru-buru, kalau ibu nggak mau masak ya tunggu saja Wanda, suruh dia masak, tinggal masuk-masukkin saja kok!" jawab Sarinem datar sambil berjalan menuju ke depan sambil menenteng kantong plastik warna hitam.

"Nggak! Kamu harus masak sebelum pergi! Neeemmm!" jerit Tanti nyaring, dan Sarinem tetap melangkah tanpa menoleh ke belakang lagi.

Sarinem pergi rumah sahabatnya yang bernama Vina. Hanya memakan waktu sepuluh menit Sarinem sudah sampai ke rumah Vina.

"Vin, aku bisa minta tolong?" tanya Sarinem kepada Vina.

Sarinem dan Vina berteman sejak bersekolah SD. Rumah Vina tak jauh dari pasar tempat Sarinem bekerja.

"Tolong apa Nem?" tanya Vina sambil mengunyah gorengan oleh-oleh dari Sarinem.

"Aku mau nitip ini," ucap Sarinem sambil mengulurkan plastik hitam yang tadi dibawanya.

Bola mata Vina membulat sempurna saat melihat apa isi plastik tersebut.

"Uang? Sebanyak ini? Dari mana Nem?" Vina bertanya tanpa jeda.