webnovel

Sang Raden

"Terakhir yang aku ingat, aku tersesat lalu pingsan dekat makam di tengah hutan. Saat aku membuka mata, aku sudah berada di tempat asing antah berantah...." Kirana... Seorang gadis kota yang terjebak masuk kedalam alam lain yang bernama Negeri Negaran. Ketika Kirana sadar dari pingsannya, ia bangun dalam keadaan yang berbeda. Dari baju yang ia kenakan, gaya rambutnya, semua berubah. Orang-orang di Negaran memanggil dan mengenal Kirana dengan nama Nyimas Sekar. Nama asing yang belum pernah Kirana dengar sebelumnya. Nyimas Sekar sebenarnya sudah mati, kini raga dan wujudnya digantikan oleh Kirana. Gadis kota yang tidak tau apa-apa itu harus menggantikan posisi Sekar dan mengemban tugas untuk merawat seorang calon raja yang sekarat. Kirana berusaha mencari jalan pulang, namun ia malah terjebak semakin dalam, hingga Kirana harus mempertaruhkan nyawanya demi Raden Sastra, calon raja Negaran. Meskipun Kirana tidak mengerti bagaimana cara kehidupan orang masa lampau, tapi ia mencoba untuk beradaptasi, dari cara berpakaian, pekerjaan dan pola makan. Namun semakin lama Kirana semakin dalam masuk ke permasalahan yang ada disana, hal terberat adalah posisi dimana saat terjadi perang antara Raden Sastra dan Pamannya untuk berebut kekuasaan sebagai Raja. Kirana harus menyelesaikan tugasnya, supaya ia mendapatkan jalan kembali ke dunia nyata.

Nimas_3462 · ファンタジー
レビュー数が足りません
369 Chs

Perbatasan Dua Dunia

Kini Mesi dan Dila sudah berada diatas dahan pohon, sedangkan babi hutan bertubuh gemuk dan bertaring sedang menunggu mereka di bawah sana.

"Syuuhhh... Syuuuhhh.... Hei babi, pergi sana!" teriak Dila sambil mengibaskan tangannya. "Jika kami kesiangan dan para polisi itu datang, aku bersumpah akan membuatmu jadi sate nanti!" ucap Dila kesal dengan nafas terengahnya.

Mendengar ocehan Dila, babi hutan itu malah mengeluarkan suara khasnya dan mencoba untuk menyeruduk pohon yang sedang dipijak mereka berdua menggunakan taringnya.

"Lihat! Kau malah membuatnya marah dan semakin menyerang kita!" ucap Mesi panik.

"Hiks... Terus gimana dong?" Dila merengek.

"Ya tunggu di sini sampai babi itu pergi" jawab Mesi.

Kedua gadis itu bungkam, tidak ada yang bisa mereka lakukan sebelum babi itu pergi dari tempatnya. Mereka terus berharap babi itu akan segera pergi, dan mereka bisa melanjutkan perjalanannya untuk mencari Kirana.

Kaki mulai kebas akibat terlalu lama menahan tubuhnya di dahan pohon, Mesi mencoba untuk membetulkan posisinya. Sedangkan di sisi lain Dila mulai mengangguk-angguk karena ngantuk, langit sudah hampir terlihat membuat Mesi sadar kalau mereka harus pergi sekarang.

Mesi melihat ke bawah, ternyata babi itu sudah tidak ada disana. Namun sebelum turun, Mesi melihat kesekeliling terlebih dulu memastikan kalau kondisi sudah benar-benar aman.

"Syukurlah babi itu sudah tidak ada..." Mesi langsung terdiam ketika melihat Dila sedang teler karena ngantuk.

"Dila!"

"Eehh... Syuh... Pergilah kau babi!" ucap Dila latah karena terkejut.

"Babi?" Mesi mengerutkan alisnya.

"Eh... Hehe. Maaf Mesi, maksudku aku sedang mengusir babi hutan itu" Dila sadar dari rasa kantuknya.

"Babi itu sudah pergi, kita bisa melanjutkan perjalanan sekarang. Ayo cepat, hari sudah mulai terang" Mesi melompat dan mendarat ketanah dengan sempurna.

Berbeda dengan Dila, gadis feminim itu tidak pernah beraktivitas kasar sebelumnya jadi ia bergerak dengan pelan dan hati-hati. Mesi gemas sekali melihatnya, gerakan Dila benar-benar seperti Kukang padahal tinggal melompat dari ketinggian satu setengah meter, tidak begitu sulit sebenarnya.

"Yeeeyyy.... Aku mendarat sempurna" ucap Dila penuh dengan kebanggaan. Sedangkan Mesi hanya menatapnya dengan wajah yang datar, kemudian Ia pun menggelengkan kepala dan berjalan duluan.

"Eehhh... Tunggu aku Mesi!" Dila langsung mengajar Mesi dan mengimbangi langkahnya.

*****

Negeri Negaran...

Kreekk... Kreekk... Kreekk....

Suara decitan dari roda kerekan air berbunyi pelan. Kirana sedang menimba air dari sumur untuk mengisi gentong kamar mandinya, perasaannya mengatakan kalau dia sudah menguras habis air di dalam sumur tapi gentongnya tidak kunjung penuh juga. Kirana sudah lelah, tangannya juga sudah mulai panas dan merah tapi Gentong air itu baru terisi setengah.

"Tempat ini benar-benar menyiksaku! Apa belum ada PDAM disini?" gerutu Kirana kemudian berjongkok di depan sumur.

Sejenak ia memandang telapak tangannya yang merah, Kirana belum pernah bekerja seberat ini. Meskipun sejak kecil ia dibesarkan oleh kakek dan neneknya tapi mereka tidak pernah menyuruh Kirana untuk bekerja berat. Tapi disini ia harus melakukan semuanya sendirian, Kirana sangat merindukan dunianya yang serba praktis.

"Kenapa kau malah buang air disini?! Bisa-bisa sumur ini jadi sumur beracun!" ucap Raden tiba-tiba sudah berada di belakangnya.

"Siapa yang buang air! Aku berjongkok karena lelah!" jawab Kirana kesal. Sembarangan saja pria mesum itu berbicara.

Raden melongok ke gentong yang terbuat dari tanah liat, kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Dari tadi kau hanya mengisi seperempat gentong ini? Kau terlalu banyak berkhayal hingga tugas seperti ini saja lelet sekali" ucap Raden kemudian mendekat ke arah sumur dan menjangkau tali kerekan.

(Orang menyebalkan ini bisanya cuma mengomentari saja, dia asik berleha-leha di rumah sedangkan aku menderita mengerjakan semuanya! Jika dia bukan calon raja, aku sudah pasti akan mendorongnya masuk ke dalam sumur itu!) gerutu Kirana dalam hati.

"Bukan aku yang lelet, tapi gentong ini yang terlalu besar. Aku sudah mengisinya dari tadi tapi tidak penuh juga. Lihat... Tanganku sampai lecet" ucap Kirana memasang wajah memelas sambil menunjukkan telapak tangannya kepada Raden.

Kirana memanyunkan bibirnya.

Sepertinya wajah nelangsa Kirana tidak akan berpengaruh pada orang ini, Raden hanya memasang wajah dingin melihatnya, kemudian beralih ke sumur lagi.

"Ya sudah kalau begitu aku akan mempersiapkan bajumu dulu" ucap Kirana bergegas pergi.

Baru saja Kirana masuk sampai dapur tiba-tiba langkah kakinya terhenti, ia teringat kalau Raden Sastra baru saja pulih dan seorang calon raja pasti tidak akan pernah melakukan pekerjaan keras. Kirana akan merasa bersalah nanti jika terjadi apa-apa padanya, kalau sampai Raden sakit gara-gara menimba air, maka Kirana akan kerepotan lagi untuk mengurusnya.

Akhirnya gadis berambut panjang itu kembali ke belakang dan menghampiri Raden, ia tidak akan membiarkan Raden menimba air lagi. Namun ketika ia sampai di sumur, Kirana terperangah dengan apa yang ia lihat...

Tuk... Suara kendi tergeletak di tepian sumur, mata laki-laki itu melirik ke arah Kirana yang sedang terperangah melihat kendi yang sudah terisi penuh dengan air.

"Kenapa kau menganga begitu?!" Raden bertanya dengan nada ketus.

Kirana mengalihkan pandangannya ke arah Raden dengan wajah yang terheran-heran. "Kau... Yang mengisi gentong air ini?" tanyanya seakan tidak percaya.

"Kau pikir siapa lagi yang mengisinya?!"

Kirana terdiam... Ia berfikir keras sambil melihat ke arah rumahnya, jarak antara sumur dan dapur tidak begitu jauh. Hanya berjarak sekitar sepuluh meter saja, sedangkan untuk berjalan dari sana kesini paling hanya satu menit. Masa iya dalam hitungan satu menit, pria galak itu bisa langsung menumpahkan air ke dalam gentong air!

Kirana kembali menatap Raden Sastra yang sedang berdiri memperhatikan dirinya dengan wajah datar. "Raden... Coba lihat apa tanganmu lecet?" Kirana khawatir dan langsung memeriksa telapak tangan Raden yang halus itu. Ia takut Raden terluka karena tali yang digunakan sangatlah kasar.

Tapi setelah memeriksanya dengan teliti, telapak tangan Raden bersih dan mulus. Tidak ada satupun goresan di tangannya. "Syukurlah tanganmu tidak terluka" ucap Kirana dengan nada tenang.

Raden menatap Kirana dalam, ia sadar kalau gadis di depannya itu sangat mengkhawatirkan keadaannya. Meskipun terkadang cerewet dan konyol, tapi Raden Sastra tau kalau sebenarnya Kirana adalah gadis polos dan baik, hal itu membuat dirinya semakin gemas pada Kirana.

"Sudah. Aku ingin mandi, apa kau juga akan mengawasiku?" Raden Sastra langsung menarik tangannya dari Kirana. Sebenarnya ia mencoba mengalihkan supaya tidak berlama-lama menatap wajah gadis manis itu, Raden takut tidak bisa mengendalikan dirinya.

Kirana melirik tajam, ia kesal dan tidak mengerti karena kekhawatirannya selalu membuat Raden marah. "Baiklah aku akan pergi dan menyiapkan pakaian untukmu" ucap Kirana tertunduk, kali ini ia agak sedikit kecewa karena Raden selalu ketus padanya.

Kirana berbalik kemudian kembali masuk ke dalam rumah tanpa berkata lagi, sedangkan Raden diam berdiri memandang punggung Kirana yang menghilang dibalik pintu dapurnya.