Nada terdiam setelah kepergian Dion. Dion tega meninggalkan Nada bersama kami. Padahal, dia datang ke Kafe Mawar bersama Nada, namun tega meninggalkan dia begitu saja.
"Kamu enggak apa-apa, Nad?" tanyaku.
"Aku sedih, ternyata selama ini Dion masih menyimpan rasa untukmu. Aku pikir dia sudah merelakanmu, makannya selama ini dia mau menemaniku ke sana ke mari," ungkap Nada kepadaku.
"Mungkin Dion bukannya masih menyukaiku, tapi kecewa saja karna Andra selama ini enggak jujur kepadanya," kataku mencoba menenangkan.
"Sudah cukup Kamu mencoba menenangkanku. Aku tidak sebodoh itu kok, Yum. Dari awal memang Dion sudah menyukaimu. Dia tidak pernah melihatku sedikit pun. Mungkin selama ini dia mau bersamaku bukan karena menyukai, melainkan karena berharap dengan dekat denganku, dia juga bisa lebih dekat denganmu. Aku saja yang selama ini terlalu percaya diri," ungkap Nada lemas.
"Maaf ya, Nad. Aku tidak bermaksud sedikit pun membuatmu bersedih. Aku juga tidak mengungkapkan kedekatanku dengan Andra karena memang hubungan kami baru sekedar pertemanan, enggak lebih. Ya tidak kupungkiri aku dan dia memang semakin dekat akhir-akhir ini, tapi Aku hanya ingin kedekatan ini berjalan lebih alami. Takutnya kalau di antara Kamu dan Dion tahu, kami malah sungkan dan kurang nyaman. Dan benar kejadian, kan?" jelasku.
"Iya, Aku paham kok. Sudahlah, biarkan saja Dion dan Aku seperti sekarang. Memang seharusnya dari awal Aku harus tahu diri. Aku yang salah karena terlalu berharap padanya. Padahal dia tidak berniat menjalin hubungan lebih denganku," kata Nada merasa sedih.
"Kamu jangan nyerah gitu dong Nad, Dion bukan tipe orang seperti itu kok. Dia hanya butuh waktu saja mungkin. Kalau dia tidak tertarik denganmu, dia tidak akan menuruti apa yang Kamu mau," kata Andra.
"Kamu yakin? Bukan karena agar dia bisa dekat dengan Ayumi?" tanya Nada pada Andra.
"Tidak kupungkiri memang Dion awalnya suka dengan Ayumi, namun belakangan sepertinya dia juga mulai menyukaimu. Hanya memang dia belum sepenuhnya menyadari itu. Aku sahabatnya, jadi Aku tahu betul bagaimana dia," jelas Andra.
"Jadi Aku masih ada harapan untuk terus dekat dengan Dion?" Nada kembali bertanya kepada Andra.
"Pastilah itu, karena Kamu kan orangnya ceria dan penuh semangat sekali. Jadi cocok banget kalau sama Dion. Dia butuh sosok seperti dirimu," ucap Andra.
"Nah, jadi tetap semangat Nada. Kamu pasti bisa mendapatkan hati Dion. Taklukkan dia!" seruku.
"Terima kasih, Yumi. Andra juga, terima kasih ya sudah menyemangatiku. Kalau begitu, Aku tidak akan menyerah. Cukup menunjukkan perhatian terus kepada Dion agar dia juga segera menyadari tentang perasaan dia untukku. Ngomong-ngomong selamat lo untuk kalian berdua. Akhirnya …." Ucap Nada.
"Selamat untuk apa? Kan Aku dan Andra sudah sampaikan dari awal bahwa hubungan kami belum sejauh yang Kamu pikirkan," tegasku.
"Kalau Kamu sudah mau diajak keluar berdua seperti ini sih, sudah pasti ketebak. Secara selama ini Kamu paling anti diajak cowok-cowok ketemuan di luar Cuma berdua begini," kata Nada.
"Kami enggak cuman berdua kok, tapi tadi ada Si-," balasku yang belum sempat menyelesaikan omongan tetapi sudah dicegah oleh Andra. Andra menginjak kakiku, tanda memberi kode agar tidak melanjutkan pembicaraan. Aku baru sadar bahwa aku hamper keceplosan. Andra tidak ingin orang lain tahu apa yang sedang dia kerjakan.
"Si-siapa, Yum?" tanya Nada.
"Enggak, bukan siapa-siapa. Tadi kami bertemu teman sebentar, ada yang perlu dibicarakan," alasanku.
"Oh, kirain memang sengaja kencan. Hahaha …." canda Nada. "Aku balik dulu aja deh, kan Dion sudah balik duluan. Enggak enak malah gangguin kalian berdua," kata Nada.
"Siapa bilang gangguin kami. Santai aja sih! Gabung saja dengan kami. Nanti pulangnya bareng Aku saja, biar Andre yang pulang sendiri," pintaku.
"Jangan ah, kasihan Andra," balas Nada.
"Iya, benar kata Yumi. Aku pulang sendiri saja, nanti Kamu pulangnya sama Yumi saja. Santai sajalah, kayak sama siapa saja," ungkap Andra.
"Aku terharu deh sama kalian berdua. Doaku untuk kalian adalah semoga kalian segera jadian, jadi nanti Aku bakalan dapet traktiran. Hehehe …," canda Nada.
"Wuuu … dasar! Kamu itu ya Nad, makan terus pikirannya. Tapi Kamu ini beruntung banget deh. Doyan makan, tapi bada tetap segitu saja. Enggak pernah gendut," kataku merasa heran.
"Alhamdulillah ya. Ini adalah salah satu anugerah terindah dari Tuhan karena telah memberikan body goal seindah ini untukku," ungkap Nada.
"Ya makannya, dengan keindahan yang Kamu miliki saat ini enggak perlulah minder atau merasa berkecil hati. Dion pasti akan takluk olehmu. Toh kalau pun Dion enggak mau sama Kamu, pasti dia akan menyesal. Masih banyak cowok-cowok yang antri untuk mendapatkan hatimu." Aku mencoba menyemangati Nadia.
Hari sudah semakin sore, bahkan senja sudah mulai terlihat dan mentari mulai mengintip malu seakan ingin berpamit dahulu. Kami memutuskan untuk kembali ke asrama. Aku bersama Nada berjalan kaki menuju halte bus yang tidak jauh dari kafe.
Sekilas tampak seseorang yang sepertinya aku kenal. Om Danu, papanya Dito. Tapi anehnya, dia sedang bersama wanita lain di sebuah toko perlengkapan bayi. "Ah, paling juga itu saudaranya Dito," pikirku. "Tapi kok kalau dia saudara Dito, papanya terlihat mesra sekali dengan cewek ini."
Dalam lamunanku, tiba-tiba Nada berbisik, "Eh, lihat tuh cewek yang lagi sama om-om di depan toko mainan itu. Gelid eh lihatnya!"
"Keponakannya kali," tanggapku.
"Alah, keponakan dari mana. Itu Isabel tau, cewek kampus sebelah yang sudah terkenal sebagai simpanan om-om. Masak Kamu enggak tahu?" balas Nada.
"Serius Kamu, Nad? Hati-hati lo kalau ngomong. Fitnah itu enggak baik. Jangan sembarangan kalau ngomong," kataku.
"Dibilangin juga, enggak percaya. Tapi serius Kamu enggak tau gossip soal Isabel si ayam kampus simpanan om-om?" Nada kembali bertanya kepadaku.
"Pernah dengar sih, tapi enggak tahu orangnya yang mana," jawabku. "Aduh, jangan-jangan om Danu main serong lagi sama si Isabel ini. Gimana dong Aku kasih tahunya ke Dito. Ah, nanti saja kalau dia sudah kembali ke Indonesia lagi. Hubunganku dengannya juga lagi enggak bagus. Lagian, nanti malah dia kepikiran dan enggak fokus lagi di sana," ucapku dalam hati.
Kemudian Nada menarik tanganku untuk menaiki bus kami yang sudah tiba. "Yuk, keburu kemalaman sampai asramanya." Dalam perjalanan menuju asrama, aku hanya bisa memandang di luar jendela kaca sambil memikirkan om Danu.
Jika aku memilih untuk diam saja, aku merasa bersalah. Sementara jika aku menceritakannya kepada Dito atau tante Lidya, takut malah menjadi bumerang untukku. "Ya Tuhan, bantu aku untuk menemukan jawabannya. Haruskah aku bercerita atau cukup diam saja?" ucapku dalam hati.