webnovel

Pecinta Wanita

Wardana's House

Rangga POV

Aku tidak yakin hal ini akan datang secepat kilat padaku. Hanya butuh waktu beberapa jam untuk membuat Tuan Wardana datang ke ruang lukisku.

"Ada perlu apa?" Aku menatap dingin Tuan Wardana yang duduk di depanku. "Aku tidak punya banyak waktu."

"My son, duduklah sebentar." Tuan Wardana memberikan senyuman manis. "Aku datang karena ingin bertanya padamu, apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa sampai adikku sendiri, Adam mengambil semua sahamnya di kantor?"

Aku hanya berdiri membelakanginya, menatap kota Jakarta di dinding kaca ruang lukisku.

"Apa benar anda menghubungi Gwen kemarin?"

"Iya. Apa ada yang salah? Aku hanya ingin bicara dengan menantuku."

"Apa yang anda katakan padanya?"

"Tidak ada." Tuan Wardana menampilkan wajah lugunya kepadaku. "Apa yang dia katakan padamu? Apapun itu, pasti dia berbohong."

"Apa maksudmu menghubunginya?" Aku mendekat dan duduk di atas meja, tepat di hadapannya.

"Aku menghubunginya hanya ingin bica..."

"Jangan berbohong, aku tidak suka dengan kebohongan." Aku berujar dingin.

"Aku menghubunginya hanya ingin mengingatkannya agar dia jangan lupa dengan posisinya di sampingmu, my son."

"Apa kau pikir, kau berhak melakukan itu?!" Tidak ada lagi sopan santun dalam suaraku, Aku menatapnya tajam.

"Rangga, my son. Aku harus mengingatkan dia, karena Serena..."

"Siapa yang mengizinkanmu mengambil keputusan seperti itu?"

"Baiklah, papa minta maaf." ujarnya dengan suara tenang. "Tidak akan papa ulangi." Ia harus mengalah, ia harus mematuhi apapun yang aku katakan. Ia pasti tidak ingin mengambil resiko kehilangan relasi yang tidak ternilai harganya.

"Dengarkan aku." Aku menunduk, menatap langsung ke dalam matanya. "Jangan pernah menganggu Gwen lagi. Apapun alasanmu, jangan pernah menemuinya, ataupun menghubunginya lagi. Ingatlah, dia adalah istriku."

"Baik. Akan aku usahakan. Tapi bagaimana dengan Serena, bagaimana dengan rencana pernikahan kalian..."

"Bukankah Serena masih koma?" Aku menyela sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya. "Bagaimana bisa aku menikahi perempuan yang sedang koma?"

"Tapi dia akan segera pulih, percaya padaku. Serena akan pulih, hanya butuh waktu." Ujarnya terburu-buru.

Aku hanya menatap tajam ayahku yang tetap menatapku dengan tenang. "Baiklah, apapun keputusanmu, percayalah semua yang papa lakukan demi kebaikanmu."

***

Lokasi Syuting

Ruby masih menghindar dari Lukas. Bagaimanapun juga Ruby masih yakin, Lukas tidak akan pernah bisa menghilangkan sifat "pecinta wanita" nya itu. Alasan utama Ruby menerima Lukas sebagai pacar backstreet-nya adalah ia terlena dengan buket ayam itu. Tapi akhir-akhir ini ia mulai sedikit merasakan debar aneh di jantungnya.

Ia meraba rambutnya yang hari itu sudah ditata rapi dengan gaya pixie. Potongan rambut pendek yang baru ia dapatkan pagi tadi membuatnya terlihat lebih segar dan lebih muda. Keterampilan tangan Brina membuat ia puas dengan rambut barunya. Ruby berhenti meraba-raba rambutnya saat melihat pantulan Lukas dari cermin lipat di hadapannya.

"Aish... playboy itu kenapa malah datang kemari?" gumam Ruby perlahan. Ia tidak menyadari Brina yang duduk di sebelahnya terkejut mendengar gumamannya.

Sejenak kemudian Ruby mendapati Lukas sudah duduk di sampingnya.

Ruby hanya tersenyum. Toh tidak bisa selamanya ia menghindari Lukas. Ia melipat kedua tangan di dada dan duduk super santai sambil menyilangkan kaki.

"Rambut baru, ya?" Lukas langsung menyandarkan tubuh ke samping dan mencondongkan kepalanya sangat dekat dengan telinga kanan Ruby.

Tangan Lukas mulai terulur untuk mengelus rambut Ruby. Namun dengan cepat Ruby mengelak. Ia menggeser tubuhnya menjauh dari Lukas sambil mendelik.

"Jangan pegang-pegang."

Lukas menarik kepalanya mundur dan mengerutkan bibir tanda kecewa. Tangannya beralih bertumpu pada sisi sofa.

"Kamu masih cemburu karena perempuan di kolam itu?"

"Aku tidak cemburu. Kenapa bisa kamu berpikir seperti itu?"

Ruby membetulkan posisi duduknya dan mengalihkan pandangan ke depan. Melihat pantulan wajahnya di cermin. Ia kemudian melirik bagaimana Lukas memandang dirinya.

"Aku tidak menghindar. Kamu aja yang sensi," jawab Ruby sekenannya.

"Jadi kamu beneran tidak cemburu?"

Ruby yang masih memperhatikan wajahnya di cermin hanya menggeleng. Ruby kembali melirik dan mendapati laki-laki itu tampak kecewa.

"Kenapa aku malah kecewa, ya?" desah Lukas. Melihat Ruby yang sudah berbalik kembali menatapnya. Lukas langsung mendekatkan wajah.

Kedua mata Ruby mengerjap. Ia tidak menyangka perubahan ekspresi wajah Lukas bisa terjadi dengan sangat cepat. Lukas mencondongkan bibir sangat dekat di wajahnya. Menirukan suara ciuman yang sangat jelas. Spontan Ruby menjepit bibir Lukas dengan jari.

"Jangan bercanda di sini."

Laki-laki itu tersenyum lebar setelah Ruby melepaskan jarinya. "Kamu pulang hari ini jam berapa?"

"Aku pulang bersama asistenku." jawab Ruby.

"Lalu kapan kita kencan?"

"Aku sudah bilang aku tidak suka kencan-kencan sok romantis!" Bahu Ruby bergidik. Ia tidak bisa membayangkan bergandengan tangan dengan Lukas, berjalan-jalan di mall atau makan malam mewah dengan lilin dengan pemandangan kota. Raut mukanya langsung tampak geli membayangkan semua itu.

"Kamu benar-benar wanita aneh."

Ruby langsung berbalik menatap Lukas.

"Bagaimana mau kencan, kalau begitu?"

Ruby mengangkat bahu dan membalas tatapan putus asa Lukas. "Itu tantanganmu. Selama kamu tidak mendapat ide yang sesuai dengan standarku, ya... terpaksa kita tidak bisa jalan."

Ruby menepuk pundak Lukas dan mengangguk-angguk. Ia menunjukkan ekspresi turut prihatin. Lalu beranjak berdiri. "Hubungi aku kalau kamu sudah menemukan ide yang cocok untuk kencan buta. Sampai ketemu di kampus besok."

Ruby menepuk pundak Lukas sekali lagi sebelum ia pergi menuju mobil asistennya.

To Be Continued