Bogor
Anika POV
Bagiku, menyembunyikan perasaan mudah saja. Terbiasa berekspresi datar membuatku tak kewalahan mengubur kecemburuan. Apalagi mengubur sakit hati.
Seperti saat ini, saat makan malam. Tina dan Satya memasuki ruang makan sambil bergandengan. Aku menelan ludah, entah kenapa bibirku menjadi kelu, dan air liur menjadi sangat pahit.
Aku menunduk saat mata Satya mengepungku. Aku meneruskan makan.
Tina tersenyum manis, kemudian duduk di depan Devan, di sebelah Satya yang berhadapan denganku. Sebelum mengambil piring, Tina berdeham pelan. Membuat semua orang di meja makan menoleh padanya.
Aku menegakkan kepala, ikut menatap gadis cantik di depanku.
"Aku sama Satya resmi balikan."
Uhuk... Devan tersedak.
Aku menatap Devan yang berada di sebelahku dengan pandangan tak mengerti.
"A-air..." ucap Devan di sela batuk.
Aku menyodorkan minuman ke Devan yang tengah menjadi pusat perhatian.
"Makanya makan jangan sambil nguap," ucapku asal, sambil menepuk-nepuk punggung Devan.
Semua orang tersenyum saja. Ah, tidak. Ternyata ada yang menatap tak suka. Apa yang membuatnya tidak suka? Setelah dia terang-terangan menggandeng gadis lain.
Ruby dan Lukas hanya saling pandang, tak mengerti.
Om Sultan yang menyadari keanehan para remaja itu mengambil inisiatif. "So... kapan kalian balikan?"
Tadi, jawabku dalam hati. Aku tetap berusaha tak acuh dengan terus melahap nasi goreng. Mengabaikan tiap tatapan menyedihkan semua orang.
Konyol.
Tadi Aku menghabiskan kesedihannya di kamar mandi dan bertekad saat keluar tak ada lagi yang harus disedihkan dan tak
ada lagi pil pahit yang harus ditelan.
Aku jengkel saat orang-orang tak juga melahap makanan. Akhirnya aku menghentikan makan, kemudian menatap datar ke arah Satya dan Tina.
Tina masih terpana dengan keanehanku. Namun saat gadis itu menatap datar ke arahku dan Satya, Tina tersenyum kecil.
"Baru sebentar tadi Om," jawab Tina mantap.
Ruby tak bisa lagi menahan ketidaksukaannya. "Bukannya yang deket sama Satya itu Anika, Ya?" ucap Ruby lantang, Lukas langsung memberikan tatapan membunuh kepadanya.
"Hatimu di mana sih? Deket sama yang ini, tapi jadiannya sama yang itu? Belajar jadi playboy?" lanjut Ruby tak menggubris protes dalam pandangan Lukas.
Satya baru saja mau membuka mulut kalau Tina tak menahannya dengan genggaman lembut. "Ruby, dekat belum tentu saling memiliki... dan jaga omonganmu yaa, kamu junior disini."
"Kamu nggak bisa gitu dong!" Ruby protes, masih juga belum menerima.
Aku menatap Ruby. Diam, teriaknya dalam hati. Jangan buat aku seperti orang yang paling menyedihkan saat ini, lanjutku dalam hati.
"Kenapa kamu yang marah? Anika aja biasa-biasa aja," ucap Tina menantang.
"Karena Anika sahabat kakakku!" bela Ruby.
"Iya, terus?" balas Tina sengit.
Ruby berdecak. "Ckckck... kayak gini perempuan yang ka Satya pilih?"
Ruby berdesis tajam dan berdiri seketika. "Aku udah kenyang!"
Ruby berlari menuju kamar, meninggalkan teman-temannya yang melongo.
Aku menatap Om Sultan dengan tatapan bersalah. Aku seperti meminta sesuatu yang abstrak kepadanya, Om Sultan mengangguk.
Aku berdiri dan meninggalkan ruang makan dengan cepat. Sepertinya aku harus melakukan sesuatu untuk membuat Ruby mengerti.
***
Aku mengetuk pintu kamar pelan. Tak ada jawaban. Setelah menarik napas panjang, dia memberanikan diri untuk membuka pintu. Toh memang tak dikunci. Aku menghela napas saat mendapati Ruby duduk menunduk di ranjang.
Aku tersenyum, mengusap punggung Ruby pelan. Temanku ini persis seperti Adena saat melakukan kesalahan. Aku jadi merindukan adikku.
"An."
Aku kembali mengusap punggung Ruby.
"Sorry, aku bikin kamu malu tadi. Sorry, aku udah bikin kamu kayak orang yang paling menyedihkan."
Aku menggeleng pelan, memeluk Ruby dari samping, mencoba memberikan kekuatannya pada gadis itu. Aku tak akan pernah lagi menjadi gadis lemah.
"Kamu nggak salah, Ruby. Nggak ada yang salah dalam persahabatan."
Ruby tertegun mendengar ucapanku. Aku tak pernah mengakuinya sebagai teman dekatnya. Aku tak pernah mengumbar kata sahabat. Namun sekarang?
Ruby tersenyum. Setitik air mata keluar begitu saja. "Makasih ya, An. Makasih kamu sudah mau menjadi sahabat terbaik untuk kakakku, meskipun kami hanya bisa menyusahkan"
Aku tersenyum. "Nggak. Kalian tidak pernah nyusahin aku. Aku tahu kalau Gwen ada disini, pasti melakukan hal yang sama dengan yang kamu lakukan tadi."
Ruby melepas pelukanku, kemudian menatapku tak mengerti. "Kamu sama Satya beneran nggak ada apa-apa?"
Aku menerawang. Bahuku terangkat sedikit. "Well, sebelum hari ini kami memang ada apa-apa."
"Terus tadi kenapa kamu...?"
Aku menerawang lurus. "Karena ada hal yang tidak bisa dipertahankan. Sejauh apa pun aku mempertahankannya, sekeras apa pun aku teriak agar jangan pergi, dia tetap lepas."
Ruby tertegun mendengar penuturanku.
"Ruby, aku janji, ini pertama sekaligus terakhir kali kamu liat aku serapuh ini. Oh ya, kalau memang dia bahagia sama masa lalunya, kenapa aku harus repot-repot mempertahankannya? Kebahagiaan kan tidak bisa dipilih."
Karena hari esok masih ada. Karma doesn't have a menu, sambungku dalam hati.
To Be Continued