webnovel

Royal Family Series : Pengantin Sang Raja (The King's Bride)

Richard adalah raja yang tak pernah menikah. Itu adalah sumpahnya setelah melihat penghianatan yang dilakukan ibunya. Namun bagaimana jika adik lelakinya yang merupakan pewaris tahta akhirnya meninggal dan memohon agar Richard menikah sebagai permintaan terakhirnya? GalaxyPuss

Galaxypuss · 歴史
レビュー数が足りません
55 Chs

Dermaga

"Mama?"

Justin melongok keluar kamar, tangan kecilnya menyeret sebuah boneka sementara ia berlari menuju ke ruang tengah yang masih menyala di malam ini. Mata hijaunya mengerjap, memandang sang ibu yang duduk diam di sofa dan ayahnya yang berdiri tegap di dekat jendela.

"Mama?" Justin memanggil lagi dan kali ini sukses membuat kedua orang itu menoleh.

"Sayang," ibunya tersenyum dan mengusap matanya, "Kenapa bangun?"

"Uh," Justin mencebik dan melangkah menuju lengan ibunya yang terbuka. "Mama tidak ada."

"Mama sedang bicara dengan ayah, maaf ya."

Mata pemuda cilik itu meneliti. "Mama menangis?"

"Tidak."

Justin mendongak, memandang sang ayah yang masih diam lantas beralih menuju ibunya lagi. "Bertengkar dengan ayah?"

"Tidak," sang ibu menjawab lagi. "Kenapa kami harus bertengkar?"

Justin mengangguk, menunduk dan kemudian menyadari bahwa ibunya tidak memakai piyama tidur. Melainkan pakaian hitam dengan jaket tebal dan sebuah tas yang ia gendong di bahu.

"Mama mau pergi?"

Ibunya tersenyum, "Ya. Mama mau pergi ke suatu tempat."

"Kemana?"

"Rumah jauh sekali," ibunya membelai kepalanya halus. "Jadi Justin harus jadi anak baik ya? Menurut pada ayah dan jangan membantah, mengerti?"

"Ehm," kepala pemuda cilik itu mengiyakan patuh.

"Bagus, kau juga—"

Suara ketukan halus di pintu menghentikan ucapan ibunya dan membuat mereka menoleh. Ayahnya diam sesaat, sebelum dengan perlahan menuju pintu dan membukanya. Seorang pria yang juga memakai pakaian hitam menyusul masuk kemudian, pria itu memiliki tindik di telinga dan ia menghela nafas dalam begitu memandang wajah ibunya.

"Aku tak menyangka kau sungguhan datang," ibunya tersenyum.

"Aku lebih memilih tidak datang jika bisa," pria itu menghela nafas lagi dan melirik ayahnya. "Maria kau bisa mempertimbangkan ini lagi. Tim baik-baik saja tanpa dirimu."

"Aku yang menolak," ibunya berucap tegas. "Aku bagian dari tim, bagaimanapun aku harus ikut."

"Kau memiliki anak untuk kau urus," pria itu menunjuk Justin, "Aku tidak bisa meninggalkannya. Ini berbahaya."

"Samuel," ayahnya bergerak dan menggeleng. "Kau tahu memaksanya tidak akan ada gunanya. Dia akan tetap seperti itu."

"Kau tidak mencegahnya?"

"Aku sudah," ayahnya menatap lurus ibunya yang mengalihkan pandang. "Tapi aku tidak bisa menghancurkan kekeras kepalaan itu." Lantas ia kembali melihat mata pria di sisinya. "Jaga dia. Aku memohon padamu, jaga dia."

...

Burung besi diturunkan tepat di depan jalan masuk menuju dermaga, berusaha menjauhkan suara kedatangan mereka sejauh mungkin dari lokasi yang dituju; walau jelas siapapun tuan rumah yang akan mereka datangi sudah mengetahui jelas keberadaan mereka.

Richard tidak memperkirakan dermaga mana yang akan mereka tuju, pikirannya penuh dengan segala kemungkinan akan keadaan Redd dan penghianatan yang kemungkinan besar dilakukan oleh sepupunya.

Karena itu Raja Muda itu sama sekali tidak memperkirakan bahwa bagian mimpi buruk tergelapnyalah yang ia pijaki sekarang.

Mata Raja itu menilisik, bergetar sesaat saat sentakan dingin merambati tulangnya. Rupa dermaga itu masih sama seperti dulu bahkan setelah nyaris sepuluh tahun berlalu, Richard masih ingat bagaimana kalutnya ia tiba di sini hanya untuk menemukan mayat Wendy tergantung di ujung dermaga; dengan rok panjang kelabu yang sepucat wajahnya dan ayunan angin laut yang membawa aroma kematiannya.

"Yang Mulia.."

Beruntungnya panggilan itu membawa kesadarannya kembali, maka ia menoleh; menatap Louis yang hanya diam di sisinya dengan pandangan lurus ke lautan.

"Kita akan berjalan ke sana," Louis memulai, "Koordinat sudah di dapatkan, tim alpha pertama akan masuk dan mengecek keadaan baru kemudian kita akan menyusul."

Helaan nafas.

"Apa itu memang Andrew?"

Louis diam sejenak, "Ya."

"Bagaimana bisa," Richard menggeleng masih tidak percaya.

"Ada baiknya," panglima itu diam sejenak, "Ada baiknya anda berhenti menghawatirkan itu. Saya takut, hal lain yang akan anda temui disana akan membuat anda lebih terluka."

Kediaman yang mengusik berhembus di udara.

"Apa kau tahu sesuatu yang tidak aku ketahui?"

Louis menggeleng, "Saya bahkan masih belum yakin. Kita akan sama-sama mengetahuinya di sana, saya harap anda baik-baik saja."

"Aku hanya merasa bahwa itu adalah kebohongan lain yang kalian tutupi dariku."

"Mungkin," tawa Louis hambar. "Tapi saya bersumpah untuk menukari kebohongan itu dengan keselamatan Yang Mulia Ratu. Saya akan memastikan anda tidak akan kehilangan apapun lagi disini."

Richard menggerjab, menoleh pada Louis. "Apa kau membicarakan sesuatu yang terlepas dari tanganku di ujung dermaga ini?"

Ujung bibir panglima itu membentuk seulas senyum tipis. "Wendy," ia diam. " Bukan hanya terlepas. Ia dipaksa terlepas dari tangan anda, tapi itu bukan kesalahan anda. Kita hanya masih terlalu muda untuk melakukan sesuatu saat itu dan fakta bahwa ia menggantung nyawanya disini bukan untuk menyalahkan anda."

Rahang Richard mengetat. "Tapi dia mati karena aku. Entah apapun alasannya, itu karena aku."

"Kita tidak tahu," bahu Louis naik dengan luwes. "Tapi seseorang yang telah membawa anda kembali ke tempat ini dua kali—mungkin tahu."

Alis Richard naik dan ia membuka mulut hendak bertannya apa maksud perkataannya, tapi sepupunya itu sudah membungkuk dan menyingkir; meninggalkan ia terdiam tidak mengerti semetara mengamati tim Alpha menyebar masuk ke seluruh dermaga untuk mengamankan situasi.

"Semuanya sudah selesai," seorang agen menghampirinya dan memberikan sebuah pistol juga alat komunikasi yang ia langsung pasang di telinga. "Wilayah sudah steril, kami akan masuk kapanpun anda siap."

Raja itu menghela nafas, memandang pistol di tangannya dengan ragu sebelum menyimpannya di balik jas; pandangannya terpancang lurus pada ujung dermaga, teringat hari-hari gelap setelah masa penuh darah di tempat ini dan pada kesempatan yang pada akhirnya benar-benar membuat hatinya menjadi batu; sebuah kehilangan yang hingga kini masih kesulitan ia tangani, bahkan setelah jemarinya menghanyutkan abu di ujung dermaga lain di Chevailer.

Mengguman penuh kesadaran akan betapa menyedihkannya kematian yang menyambanginya bertubi-tubi, maka Richard bertekad dalam hati bahwa ia tidak akan lagi mengalami kehilangan di tempat ini—bahwa tidak akan ada lagi nyawa yang pergi karenanya.

"Ayo," ia akhirnya berucap mantap. "Ayo kita pergi."

...

Pebios, long time ago

Saat langkah kaki Richard menyusuri dermaga dengan kepanikan, ia sama sekali tidak tahu bahwa rasa itu akan berubah menjadi ketakutan.

Langit gelap gulita, berdasar pada fajar yang bahkan belum sampai menyentuh cakrawala. Tapi sebagian besar agen lapangan istana berada di sana; tidak ada pers—karena tidak seorang pun diizinkan membuka mulut. Tapi Richard tahu, itu untuk kerajaan; untuk wajah ayahnya di mata publik yang seketika membuat kebenciannya naik.

"Sebaiknya jangan Yang Mulia," Charles menahan tangannya saat setapak lagi dermaga tampak di matanya. "Lebih baik melihatnya nanti."

"Sekarang," Richard menghempas tangan itu dan berujar dengan mata merah. "Menyingkir dari sini."

Ajudan ayahnya itu diam sesaat, lantas dengan berat hati menyuruh para agen menyingkir dari jalan dermaga dan membiarkan sang Pangeran Mahkota berlalu. Mengizinkan ego dan kekeras kepalaan Richard menang; hanya untuk membuatnya menyesal untuk waktu yang lama.

Ujung dermaga dan sepanjang jalan berbatunya di beri garis kuning polisi, dalam gelap senter-senter memberi cahaya pada ujung laut yang gelap itu; menunjukkan sesuatu yang menggantung janggal di tiangnya.

Sebuah tubuh.

Mungkin kaki Richard nyaris lungsur jika saja ia tidak ditahan oleh Charles dibelakang bahunya. Mata gelapnya membelangak, pada tubuh kurus yang terayun oleh angin pantai.—tali yang biasa ia lihat di kapal itu melilit leher berkulit salju yang masih beberapa hari lalu ia kecup, meninggalkan memar biru yang membara mengikuti ikatan.

Dengan langkah yang rasanya beribu tahun, Pangeran Muda itu berjalan mendekat; menahan rasa sesak dan ketidak percayaan. Tenggorokannya seperti disumpal oleh koin, matanya memanas dan otaknya kosong. Ia memandang wajah Wendy yang terpejam tanpa warna, bibirnya membiru karena aliran darah yang hilang dan ada memar-memar yang menegaskan berapa lama waktu yang lewat sejak jantungnya berhenti berdetak.

Tubuh yang selalu liat dibawah mentari itu terayun sekali lagi, bergerak berdesir bersama tangannya yang lemas dan roknya yang basah dan lembab.

"I-ini," Richard meneguk ludahnya. "Ini tidak benar, tidak mungkin."

"Yang Mulia—"

"Bagaimana bisa?!" nada suara bakal Raja itu naik karena kepanikan. "Se-seharusnya dia tidak di sini. Wendy tidak disini, itu bukan dia! Sialan! Kalian menipuku, iya kan?!"

"Tidak," Charles mencoba tenang seraya meraih Pangeran Muda itu memutarnya sekian derajat sehingga membelakangi tubuh yang nyaris rusak itu. "Tenanglah Yang Mulia, tenang sebentar."

"AKU TIDAK MAU!" Richard berteriak,tangannya mencoba menyingkirkan Charles dan lengan-lengan lain yang memeganginya; mengikuti instruksi sang ajudan Raja untuk membawanya menjauh. "LEPAS! LEPASKAN AKU BRENGSEK! DIA BUKAN WENDY! KAMI AKAN MENIKAH, SIAL. LEPASKAN AKU! Dia tidak mungkin bunuh diri! Pasti ada kesalahan!"

Charles mengangguk sekali lagi, memberi isyarat lewat mata untuk membawa Richard kembali ke istana pada para pengawal dan menghela nafas. Menulikan diri dari suara teriakan dan pemberontakan sang Pangeran yang memudar dilatar belakang sebelum beralih kembali ke depan, memandang pada tubuh Wendy yang mulai diturunkan dan memejam kala matanya jatuh ke wajah cantik gadis yang harusnya menjadi Putri Mahkota itu.

"Maafkan aku," bisiknya. "Mungkin tidak adil, tapi kau tetap harus mati karena bunuh diri. Maafkan aku."

.

if u doesn't like my story, u can walk out.

No need buat meninggalkan komentar ga menyenangkan. U read my story for free, so please be wise.

Galaxypusscreators' thoughts