"Kau baik-baik saja, Serina?" Dara menatapku khawatir. "Kau berkeringat."
Refleks aku menyentuh dahi, ada titik-titik kecil keringat disana. Aku mengernyit. "Err... kurasa badanku agak kurang sehat."
"Mau kubantu mengerjakan tugasmu? Aku sudah selesai."
Aku menggeleng. "Terima kasih. Aku tinggal menulis beberapa baris, kau tidurlah."
"Baikah kalau begitu."
Dara mulai membereskan buku-bukunya, tetapi matanya tetap mengawasiku. Aku berusaha terlihat sehat dengan tersenyum dan menulis dengan cepat, padahal rasanya badanku panas dingin tidak karuan. Segera kusandarkan kepala ke sofa setelah memastikan Dara sudah masuk ke selimutnya.
Aku mengumpat dalam hati, lelah menghadapi Huddwake. Kalau saja aku menguasai cara untuk membarikade pikiranku dari kekuatannya.
Tunggu. Kenapa aku tidak berlatih?
Ah, tapi butuh berapa lama bagiku untuk menguasainya? Selain itu, kepada siapa aku harus belajar? Aku akan terus disini sampai waktunya lulus. Huddwake juga akan terus disini sampai ia menyelesaikan kuliahnya. Kupikir mencobanya lebih baik daripada bertahan tiga tahun di Roxalen High tanpa melakukan apa-apa—membiarkan Huddwake menyiksaku terus seperti ini.
Aku tersenyum sendiri, menyadari makin tingginya target yang harus kucapai. Aku harus membuat latihanku dengann Soo Hyun sempurna, juga mencari seseorang yang bisa mengajariku cara untuk membarikade telepati.
Tiba-tiba gelap.
Kupikir aku pingsan, tapi ternyata pemadaman lampu. Jam malam sudah tiba.
***
"Bisa kau ulangi?" Sergei mengernyit padaku.
"Aku bilang aku sedang mencari seseorang yang bisa mengajariku cara untuk membarikade telepati," kataku agak kesal. Aku tahu Sergei sebenarnya mendengaru tadi, ia memintaku untuk mengulang hanya untuk mengetahui apa aku yakin dengan perkataanku barusan. "Apa kau mau mengajariku?"
"Aku?"
"Yeah. Bukankah kau menguasainya?"
Sergei membetulkan posisi duduk. "Kau tidak perlu melakukannya, Serina. Ada aku."
Aku menyeruput es jeruk dengan dada sesak. "Aku ingin melakukannya sendiri. Aku tidak bisa terus bergantung padamu, Sergei."
"Sudah kubilang aku yang akan menjagamu!"
Aku terkesiap mendengar nada bicara Sergei. Ia terdengar marah. Sergei menatapku lurus. Aku membeku di kursi. Sergei mendesah berat.
"Itu tidak mudah, Serina. Aku hanya tidak ingin melihatmu susah. Kau harus berlatih dengan Soo Hyun untuk kompetisi, pelajaran kita juga tidak mudah—di atas standar sekolah biasa." Sergei mengaduk-aduk susu coklatnya tanpa minat. "Terlebih lagi, lusa sudah ujian semester. Lebih baik kau mempersiapkan itu."
Aku mengangguk lemas. "Baiklah." Aku berusaha tersenyum pada Sergei. "Terima kasih telah mengkhawatirkanku."
"Bagus kalau kau mau mengerti." Sergei beranjak dari kursinya, kemudian mencium pipiku. "Aku yang bayar makan siangmu, berlatihlah dengan baik bersama Soo Hyun."
Sergei kabur sebelum aku melarangnya untuk membayar bagianku. Aku melengos, dadaku sesak. Aku ingin menghargai Sergei, tapi keinginanku rasanya terlalu besar untuk dilawan.
Maafkan aku, Sergei.
Aku segera meninggalkan Roxy Cafe, menuju ruang organisasi untuk menemui Soo Hyun. Jam latihan memang belum tiba, tetapi aku ingin segera menemuinya untuk menanyakan tentang siapa orang yang kira-kira bisa mengajariku barikade telepati. Aku tak melihat Soo Hyun di Roxy Cafe, jadi aku berpikir kemungkinan besar ia ada di ruang organisasi.
Xavier tidak ada di mejanya ketika aku membuka pintu. Tidak ada seorang pun di ruang utama. Aku memutuskan untuk langsung mencari Soo Hyun ke ruang dokumen.
Kosong.
Aku melengos. Andai telepon seluler diperbolehkan disini, aku tidak perlu repot-repot bermain peluang untuk menemukan Soo Hyun. Aku mengumpulkan semangat untuk mencari Soo Hyun ke asrama dan kelasnya.
Seseorang sedang duduk di ruang utama ketika aku keluar dari ruang dokumen. Dadaku berdegup kencang ketika orang itu menatapku.
Huddwake.
Ia kembali menatap buku yang dibawanya setelah menatapku.
"Sedang bertugas?" Huddwake bertanya tanpa mengalihkan mata dari bukunya.
Aku menatap sampul buku Huddwake—Landmarks in the Law. "Aku hanya mencari Soo Hyun."
"Kau berlatih dengannya setiap hari?"
"Kau tahu?"
"Aku melihatmu di lapangan atau taman setiap pulang kuliah."
"Kalau begitu aku tidak akan berlatih disana lagi."
Huddwake tertawa mendengus. "Itu sangat khas dirimu."
"Jangan sok tahu, kau bahkan bukan temanku." Aku tersenyum kecut, kemudian melangkah menuju pintu keluar. Tiba-tiba Huddwake menghalangi jalanku dengan kakinya yang panjang.
"Apa kau bodoh? Aku bisa menembusmu," ejekku.
"Lalu kenapa kau berhenti?" Huddwake menutup bukunya, kemudian menengadahkan kepala—menatapku. "Kau ingin aku menghentikanmu, bukan?"
Aku menatap huddwake nanar. Si berengsek ini.
"Kau bisa meminta Prof. Baavue untuk mengajarimu," kata Huddwake datar.
Aku menatapnya heran. "Apa yang kau bicarakan?"
"Ia akan mengajarimu barikade telepati, agar seorang telepath tak lagi dapat menembus pikiranmu—seorang Sam Huddwake." Huddwake mendesis sambil menatapku tajam. "Bukankah itu yang kau butuhkan sekarang?"
Aku membeku, Huddwake membuatku sangat marah. Aku melayangkan tangan pada Huddwake—hendak menamparnya, tapi ia dengan sigap menahan tanganku.
"Bisakah kau bersikap lebih baik padaku?" tanya Huddwake. "Aku hanya mencoba membantumu. Sebaiknya cobalah temui Prof. Baavue."
Aku hanya berteriak kesal sambil melepaskan tangan dari Huddwake kemudian berjalan menembus kaki Huddwake yang menghadangku dan menembus pintu. Aku berjalan dengan cepat sambil menahan marah dalam hati.
Kenapa aku harus bertemu dengan Huddwake? Apa ia sengaja mengikutiku? Oh, aku bisa gila. Sepertinya selama aku masih tinggal di Roxalen High, aku tidak akan bisa melepaskan diri dari ancaman si berengsek itu. Satu-satunya jalan bagiku hanya berusaha untuk menguasai barikade telepati, sesulit apapun itu.
Tiba-tiba aku merasa ada yang salah pada tubuhku, seperti kemarin. Lagi-lagi ini teradi setelah aku bertemu dengan Huddwake. Langkahku mulai melambat, tubuhku terasa makin berat—aku tak bertenaga. Pening kembali menyerang kepalaku. Aku terduduk di tengah koridor, tak kuat lagi.
***
Bau obat-obatan langsung tercium ketika aku membuka mata. Aku mengernyit, kepalaku masih sedikit pusing. Mataku menelusuri ruangan di mana aku berada, ruangan serba putih. Ada tiga ranjang di sebelahku, salah satunya ditempati oleh seorang cewek yang tidur meringkuk membelakangiku.
Ah, aku ada di ruang kesehatan Roxalen High.
"Kau sudah sadar?"
Aku menoleh. Seorang pria berkaki pendek menghampiriku. Usianya kira-kira dua puluh delapan tahunan. Wajahnya yang cenderung terlihat cantik menyunggingkan senyum. Prof. Harris Baavue, ia membawa kantung kertas kecil di tangan kirinya.
"Serina Gray, bagaimana perkembangan kekuatanmu sekarang?"
"Sangat baik, Sir." Aku bangkit dari tidurku. Prof. Baavue membantuku duduk. "Terima kasih. Apa Anda yang membawa saya kesini?"
"Begitulah, kau pingsan di tengah jalan. Aku baru saja dari ruang kompetisi dan kebetulan melihatmu." Prof. Baavue mengelarkan segelas minuman dari kantung kertas yang dibawanya. "Coklat panas akan membuatmu lebih baik."
"Thanks, Sir." Aku menerima pemberian Prof. Baavue. Aroma coklat panas membuatku sedikit bersemangat. Kuteguk perlahan, kepulan asapnya yang berbau manis menghangatkan pipiku.
"Aku senang Prof. Fatocia terus melaporkan peningkatanmu." Prof. Baavue kembali berbicara dengan bahasa Belandanya. Ia menyeruput Es Kopi Hitam favoritnya. "Sebelumnya Prof. Fatocia hampir menyerah, tapi aku yakinkan dia untuk terus memantaumu. Aku tahu kau serius dengan kompetisi."
Aku tertegun. "Saya melakukan latihan di luar jam pelajaran, Sir."
"Itu bagus." Prof.Baavue mengangguk-angguk.
Aku terdiam sejenak.
"Kenapa anda begitu yakin dengan saya, Sir?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku. "Anda tidak harus repot-repot meminta Prof. Fatocia untuk mengawasi saya. Masih banyak siswa lain yang lebih hebat dan berbakat dari saya." Aku segera meneguk coklat lagi, menghilangkan rasa canggung yang menjajah diriku.