webnovel

RMAREY

Aku putus asa, dia yang selama ini kutunggu dan ku perjuangkan hilang begitu saja. Aku merasa kosong... sesuatu yang selama ini ingin ku lihat lagi raib dengan mudahnya. Aku tak tahu harus apa lagi, hidup ini terasa menyakitkan. Sampai pada waktu yang terbaik, saat aku benar benar jatuh, lemah, dan menyerah. Aku mendapatkan obat dari semua kehampaan hidup, kau tahu? Obat itu adalah kedatangan mu. Kau yang datang dengan menggenggam sekeping hati yang dulu hilang, membawa segaris senyum yang telah pergi, dan mengembalikan hangatnya mentari pagi. Membawaku bangkit, dan kembali berjuang bersama menghadapi pedihnya hidup.

imagiwordz · 若者
レビュー数が足りません
20 Chs

SALAM PERPISAHAN (RMARE POV 3)

Jam 1 malam, aku terbangun. Nafasku terasa sangat sesak, dada ku sakit. Tubuhku linu. Sungguh, kepalaku rasanya kelu, sangat sakit. Aku berteriak teriak, meronta ronta, dan mendadak tak bisa nafas. Wajahku mulai membiru, dan aku sadar itu. Ibu ku berteriak, memanggil papa. Papa menelfon ambulan, dan ku di bawa ke UGD. Aku pingsan di perjalanan, dan bernafas dengan bantuan tabung oxygen. Aku tak bisa tahan rasa sakit di kepalaku lagi, aku kejang kejang, dan mulai merasa kram.

Sesampainya di UGD, aku dibawa ke ruang periksa. dan untuk ke dua kalinya, aku berteriak teriak, meronta ronta, kejang kejang. Sakit yang datang tiba tiba ini sungguh menyiksa. Kurasa urat leherku hampir putus

Aku diberi obat, yang dalam beberapa menit berhasil membuatku tenang. Dan beberapa jam berikutnya, aku kembali merasa sakit, tubuhku terasa disetrum dengan listrik tegangan tinggi, kepalaku seperti ditimpa batu beton, ini sungguh merepotkan. Mataku mulai berair, suaraku mulai habis beberapa jam kemudian, seluruh tubuhku kaku, dan dadaku sesak.

Saat aku mulai menyerah, mulai pasrah, dan mulai melemah. Rasa sakit itu berkurang, mulutku mulai bisa di gerakan, jari jari tanganku mulai merasa, meski kaki ku masih terasa kebas. Kubuka mataku, dan jam di dinding menunjukan pukul 06.45 pagi. Aku mulai menghela nafas perlahan, mencoba tetap tenang. Kurasa... rasa sakit itu... tiga tahun lalu, kembali lagi. Dengan tampilan berkali kali lipat lebih ganas dan mematikan.

Ya Allah... pendengaranku mulai berkurang, mataku sulit melihat, dan perutku mulai mual. Aku berusaha bicara, bertanya pada ibu

"Bu, aku kenapa?" Ucapku terputus putus, sesak

"Enggak apa apa, cuma sakit biasa." Ucap ibu sedikit meninggikan suara, mengetahui gejala ku

"Kamu gak usah lanjutin sekolah ya!, fokus pengobatan!!" Ucap ibuku lagi

Ya, aku yakin. Jika sakit biasa aku tak mungkin tak boleh sekolah, ini pasti sakit itu!!, aku yakin!

"enggak!!!, biarin aku lulus kelas 10 dulu!" Ucapku membantah, berusaha mengalahkan rasa sakit ini

"Yasudah, tapi setelah itu fokus pengobatan saja, besok tak usah masuk sekolah!" Ucap ibu

Dan lagi lagi aku menolak. Tidak!! Pokoknya besok aku mau sekolah, aku ingin ada di rumah. Setidaknya untuk menulis surat itu, surat yang kurasa memang harus ku berikan. Setelah berdebat beberapa lama, akhirnya ibu menyerah, meng iya kan. Aku tak mau oprasi!!!! Pokoknya gak mau!!! Titik. Jadi aku bisa minum obat di rumah. Apapun itu, asal jangan oprasi.

Esoknya, aku sudah pulang. Keluar rumah sakit jam 16.30 sore. Aku menulis berlembar lembar surat, yang akan ku laminating jika sempat. Surat itu, disertakan beberapa foto print yang ku anggap sangat penting. Jujur, aku merasa bodoh, sangat bodoh. Untuk apa aku membuat surat untuk orang yang bahkan tak mengingat ku? Tapi sudahlah!, akan ku lakukan, demi dia.

Aku sekolah, dengan membawa obat obatan. Rey menanyakan ke tidak hadiranku kemarin, aku emosional, tak mau menjawab. Jam pulang sekolah, dia pulang cepat, dan untungnya gerbang ditutup 12 jam setelah kelas selesai. Aku masih diam di kelas, meminum obat obatanku. Lalu kembali merancang surat dan foto foto itu, aku menyusun nya sambil menahan air mataku, aku sulit melihat. Gejala ini... bisakah ku sembuh? Aku tak kuasa lagi menahan pedihnya hidup ini, kenangan 6 tahun lalu, masa masa suram itu kembali lagi. Aku menangis, tak bisa membantah pada takdir, tak bisa berontak melawan kenyataan. Maafkan aku yang harus meninggalkan pendidikan dengan sangat cepat. Maafkan aku yang mungkin menyia nyakan waktu bersama mu Rey.

Tak ku sangka, aku bisa bertahan sejauh ini. Meski dengan rasa mual dan sakit yang terus meng gila. Sudah 2 minggu aku sekolah, dan UKK pun sudah selesai. Ya Allah, terima kasih telah kau beri aku kesempatan, untuk untuk bernafas lagi.

Sehari setelah UKK, kesehatanku turun drastis, berat badanku turun 23 kilo dalam 2 minggu ini. Aku sering pingsan, rambutku mulai rontok. Di rumah, aku melihat kembali hasil ronsen 2 minggu lalu, m menangis untuk ke sekian kalinya.

Ronsen yang menunjukan ada tumor ganas di otak ku, terus membesar, dan sekarang sudah memasuki awal stadium 4. Dulu, 6 tahun lalu aku sempat tumor, stadium 1. Aku rutin kemoterapi, dan segala pengobatan lainya. Aku sempat pergi ke Jerman, Jepang, Singapura, hingga Prancis demi mendapat kesembuhan. Dan obat itu ku temukan di Jerman, aku rutin menjalani pengobatan, hingga tumor itu menghilang. Aku sudah di ronsen berkali kali, dan tumor itu sama sekali tidak ada.

Hingga 2 minggu yang lalu, dia kembali lagi, mengambil alih kesehatanku, mengendalikan tubuhku. Kejam... sungguh, sangat kejam.

Aku tak bisa berbuat lagi, otot otot ku semakim lemah. Dan aku terus muntah muntah, tak berselera makan, dan tentu saja berat badanku berkurang lagi. Kondisi ku semakin parah, bahkan untuk berdiri pun susah. Hari demi hari berlalu, aku sudaj di bagi rapot kemarin. Dan lihatlah, rapotku pun ikut memburuk. Dulu, nilai paling rendahku 98,5. Tapi sekarang? Menyentuh angka 80 pun tidak.

Aku berhenti menulis surat sejak 2 hari lalu, surat itu selesai. Berisikan 8 lembar surat, dan 2 lembar foto foto. Aku ingin me laminating, tapi lagi lagi tak bisa, kondisi ini menghalangiku. Bisa kah aku sembuh? Bisakah aku kembali bernafas lega? Bisakah aku tersenyum lagi? Bisakah aku bertahan? Aku tak tahu.

Satu minggu berlalu, papa cuti demi membantu ibu merawatku yang kondisinya semakin memburuk. Aku yakin, teman teman ayah sudah tahu soal ini, tak terkecuali ayah Rey. Tapi apa Rey akan ikut menjenguk ku? Ku harap jawabanya iya.

Mungkin benar pepatah itu, bahwa kita tak bisa menyembunyikan sesuatu terlalu lama pada orang tua. Papa tahu suratku, juga ibu. Ibu mengerti perasaanku pada Rey, lalu bertanya

"Apa kamu yakin mau ngasih surat ini ke dia?" Ucap ibu

Aku menangguk

"Mau ayah bantu laminating?" Ucap papa yang mengerti kondisi, mungkin dulu dia pernah ada di posisi ku. Bertepuk sebelah tangan.

Aku langsung mengangguk, itulah yang ku harapkan selama ini.

Entah sudah berapa hari ku lewati, tapi rasanya sudah sangat lama. Keluarga Rey menjenguk ku, bersama Rey. Dengan membawa buah buahan dan sayuran segar. Meski pengelihatanku berkurang, tapi aku yakin Rey menangis, dengan wajahnya yang me merah. Saat baru datang, dia salim pada orang tuaku, lalu langsung mendekati ranjang ku. Dia menarik salah satu kursi, duduk di samping kanan ranjang ku. Sudah beberapa kali dia terisak, aku bisa mendengarnya. Kamarku cukup luas, bisa menampung 10 orang lebih. Orang tua ku dan orang tua Rey bercakap cakap di kamarku, dengan Rey yang tetap terpaku pada tubuhku yang mungkin sudah tak dia kenali.

Aku menangis tanpa suara, dengan tubuhku yang tak lagi bisa bergerak. Aku merasa pertemuanku dan Rey hari ini adalah yang terakhir, entah lah.. perasaan itu kuat sekali. Ya, tumor otak memang membuatku sulit mengingat, mudah melupakan. Tapi dia tak lebih kuat dari memori ku tentang Rey. Entah apa alasanya, aku tak melupakanya.

Dengan lemahnya tubuhku, dengan kelu nya lidahku, dengan sakitnya kepalaku, aku masih bisa merasakan mulutnya bergerak, entah berkata apa, tapi aku menangis seiring patah patah perkataanya. Dia, orang pertama yang membuatku se nekat ini, dia orang pertama yang membuatku merasakan perihnya mengikhlaskan, dia orang pertama yang membuatku tahu betapa indah dunia ini, dan dia... orang pertama yang membuatku merasa berarti. Dengan kecerdasanya, dengan cueknya, dengan keunikanya, dengan kejujuranya, dengan ketegaranya, dan dengan ke percaya dirian nya.

Terima kasih Rey, atas semua kenangan itu, kenangan yang sangat menyenangkan. Sungguh, aku menghargainya...