webnovel

Revenge Marriage

18+ Revan Maheswara, seorang pengusaha sukses yang memiliki masa lalu kelam karena sang ayah meninggalkan dirinya bersama sang ibu dan kakak demi wanita lain. Untuk menuntaskan dendam nya, Revan menikahi seorang gadis cantik bernama Davina Deolinda yang tak lain adalah kekasih Dilan Arsenio, adik tirinya sendiri. Pernikahan tanpa adanya cinta itu, membuat Davina selalu merasa takut dan kesepian karena sifat dingin dari suaminya. "Aku mencoba menjadi kuat selama ini. Tapi, sejujurnya aku sangat merasa takut dan kesepian." - Davina Deolinda. Hingga rasa cinta Revan itu perlahan hadir karena kesabaran Davina yang mencoba dengan tulus untuk mencintai nya, dan melupakan Dilan sang mantan kekasih. "Aku berniat melepaskan semuanya. Tapi, kau tidak melepaskan aku. Kau terus mengingatku dan terus membuatku merasa bersalah." - Revan Maheswara.

Wintermyne · 都市
レビュー数が足りません
114 Chs

Waspada dengan rencana licik

Sepanjang perjalanan menuju kantor, Revan terus melamun dan memikirkan apa yang sedang terjadi pada perasaan saat ini. Ia masih belum mengerti kenapa ia bisa sangat kesal mendengar Davina baru saja bertemu kembali dengan Dilan. Entah itu karena Dilan yang sangat ia benci, atau bahkan karena dirinya sendiri yang mulai menaruh hati pada Davina.

Memikirkan hal itu benar-benar membuat Revan frustasi. Ia mengacak rambutnya dengan kasar karena kesal. Pikirannya benar-benar kacau hanya karena perasaan yang dahulunya sangat tidak berarti baginya.

Apakah mungkin jika dirinya benar-benar menaruh hati pada Davina? Sementara ia baru mengenal Davina beberapa hari terakhir ini.

Revan yang sekarang duduk di depan monitor laptop itu terlihat kacau dan tak karuan.

"Ada apa denganmu? Kenapa selalu terngiang-ngiang tentang Davina di setiap saat? Sadarlah... Kau hanya memperalat dirinya. Tidak untuk jatuh hati padanya!" gerutu Revan.

Tak lama kemudian pintu ruangan Revan terbuka lebar dan kemudian tertutup kembali setelah seorang pemuda masuk dengan lancang ke dalam ruangan nya. Siapa lagi jika bukan sahabat karib Revan, yaitu Felix.

Melihat Felix dengan wajah yang menyebalkan itu semakin membuat Revan serasa naik pitam.

"Sudah ku katakan padamu ratusan kali. Ketuk pintunya lebih dahulu!" geram Revan sambil melempar tatapan tajam pada Felix.

"Ehehe... Sorry," sahut Felix cengengesan dan sama sekali tidak merasa bersalah sedikitpun.

Revan hanya mencebik dan membuang muka karena terlanjur kesal.

"Ku dengar sekretaris mu baru? Apa itu benar?" tanya Felix penasaran.

"Hmm!" sahut Revan singkat.

"Ku dengar dia juga sangat cantik dan seksi," oceh Felix sambil menaik-turunkan alisnya.

Sementara Revan terlihat acuh dan fokus pada pekerjaannya.

"Tidak bisakah kau menghargai ku ketika sedang berbicara? Sampai kapan kau akan bersikap seperti prasasti hidup seperti ini?" geram Felix yang sudah terlanjur di buat kesal oleh sikap cuek Revan.

Mendengar itu, Revan langsung menoleh menatap Felix dengan intens. "Lalu, tidak bisakah kau serius bekerja dan berhenti mengganggu ku?" sahut nya kemudian.

"I-itu... A-aku hanya bertanya, memang apa salahnya?" elak Felix berusaha untuk tidak terpojokkan oleh pertanyaan Revan.

Revan pun memutar kedua bola matanya malas enggan menanggapi Felix lagi.

"Oh ayolah, apa kau tidak berniat mengenalkan sekertaris mu itu padaku? Apa kau juga tidak ingin segera datang ke acara pernikahan ku?" sambung Felix dengan bertingkah manis.

"Kalau kau ingin berkenalan dengannya, maka usaha lah sendiri. Aku tidak punya waktu untuk melakukan hal sepele seperti ini. Mengerti?" sahut Revan dengan tegas.

"Ck, baiklah-baiklah... Dasar tidak berperasaan!" cebik Felix kesal.

Mendengar itu Revan hanya menggelengkan kepalanya pasrah. Ia sudah tidak bisa berpikir lagi bagaimana cara menghadapi sahabat karibnya itu. Ingin rasanya Revan menendang Felix agar bisa jauh darinya, namun hanya Felix yang setia menemani Revan ketika sedang kesusahan pada masa lalu hingga sekarang.

Felix pun berjalan menuju sofa yang ada di ruangan Revan, kemudian meraih salah satu majalah bisnis yang ada di meja depannya itu. Tangan Felix sibuk membolak-balikkan halaman majalah itu dan tak menghiraukan Revan yang sedang menatapnya dengan kesal karena merasa terganggu oleh kehadirannya.

Dengan sengaja Felix justru membuat suara kebisingan dari halaman majalah yang ia baca tersebut. Felix membalik tiap halaman itu dengan kuat sehingga menimbulkan suara yang cukup kasar dan keras juga. Hal ini benar-benar membuat Revan semakin risih.

"Hei, bawa saja majalah itu ke ruangan mu dan baca sekeras mungkin jika perlu. Berhentilah mengganggu ku bekerja!" ketus Revan pada akhirnya.

Felix menyunggingkan senyum jahat, "kenapa? Aku masih ingin di sini," sahutnya dengan santai.

"Ck, kau benar-benar menyebalkan!" geram Revan.

Baru saja Revan hendak berdiri untuk menghampiri Felix, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.

"Saya Irene, Pak. Boleh kah saya masuk?" suara halus Irene terdengar dari luar ruangan Revan.

Seketika itu juga, Felix langsung berdiri dari duduknya.

"Apa itu sekertaris mu?" tanya Felix antusias.

Revan mengangguk kecil sebagai jawaban. "Masuklah!" ucapnya singkat.

Irene pun membuka pintu ruangan Revan secara perlahan, lalu melangkahkan kakinya dengan anggun. Wanita cantik itu tersenyum tipis melihat Revan yang berdiri di samping meja kerjanya. Sesaat kemudian, Irene menyadari bahwa ada orang lain yang juga berada di dalam ruangan Revan.

Dengan sopan Irene membungkukkan badannya menyapa Felix yang sedari tadi menatap nya dengan lekat. Sepertinya rumor yang beredar di dalam kantor Revan bahwa sekertaris baru Revan sangat cantik dan seksi itu benar. Kini Felix mengetahui sendiri kebenaran tentang rumor tersebut.

"Ada apa? Apa ada masalah?" tanya Revan datar.

Pria tampan itu berjalan perlahan menuju sofa dan duduk dengan santai nya sambil menatap Irene yang berdiri di depannya.

"S-saya hanya ingin bertanya tentang beberapa berkas ini," ucap Irene gugup.

Sebenarnya Irene sudah cukup mengerti tentang berkas yang harus ia urus, namun Irene berniat untuk menjadikan ini sebagai alasan untuk mendekati Revan. Tapi, sepertinya waktu yang ia gunakan sangat tidak tepat. Wanita cantik itu tidak tau bahwa ada Felix bersama dengan Revan saat ini.

Revan pun segera meraih berkas yang ada di tangan Irene, lalu memeriksa nya sebentar. Sesaat kemudian, Revan kembali menatap Irene dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Kamu bisa tanyakan pada rekan saya, Felix. Dia manager di perusahaan ini, dia juga bisa membantu mu jika kesulitan," ucap Revan pada akhirnya.

Irene terdiam sejenak, kemudian melihat Felix sekilas. "Baik, Pak," sahut nya.

Felix tersenyum menyeringai. Sepertinya Revan benar-benar membantu nya kali ini.

"Kamu pergi ke ruangan manager lebih dulu, nanti biar Felix membantumu," pinta Revan pada Irene.

Irene pun mengangguk kecil dan segera berjalan meninggalkan ruangan Revan dengan perasaan kesal menuju ruangan Felix.

Setelah Irene menghilang dari balik pintu, Felix segera bangkit dari duduknya berniat untuk mengejar Irene. Namun dengan cepat Revan menghentikan Felix.

"Tunggu sebentar," cegah Revan.

Felix pun menoleh memicingkan matanya tajam menatap Revan. "Apa lagi? Aku sedang buru-buru," ketus nya.

"Lebih baik kau hati-hati dengan, Irene..." tutur Revan dengan raut wajah yang serius.

"Memang kenapa?"

Revan menautkan kedua tangannya menyangga dagunya. "Sepertinya dia bermaksud lain masuk ke perusahaan ini, dia bukan gadis baik-baik," jawab Revan santai.

"Sejak kapan kau menilai seseorang dari luar? Ck, kau bahkan tidak pernah mengenal wanita lebih dari 3 hari," ejek Felix merasa paling benar.

"Kalau begitu terserah kau saja,"

Felix berkacak pinggang seakan menantang Revan. "kalau kau tau dia bukan gadis yang baik dan punya maksud jahat, kenapa tidak segera memecatnya?" cecar nya kemudian.

Revan pun memutar kedua bola matanya malas, lalu tersenyum miring menanggapi ocehan sahabatnya itu.

"Tenang saja, memang apa yang bisa di lakukan oleh tikus kecil di dalam gudang yang besar?" ucapnya sinis.

"Berhentilah bermain kata, kau harus menjelaskan yang sebenarnya padaku, atau aku akan mati penasaran karena dirimu," geram Felix.

Revan hanya terkekeh kecil mendengar perkataan dari Felix. Bukannya menjelaskan Revan justru beranjak kembali ke kursi kerjanya.

"Oh ayolah, dia sangat cantik dan menarik. Tidakkah kau berpikir untuk membuat ku bahagia sekali saja?" sambung Felix frustasi.

"Bukan aku tidak suka kau menyukai Irene, tapi dia itu lebih licik dari yang kau kira," jelas Revan.

"Jadi, kesimpulannya?" Felix menautkan kedua alisnya tak paham.

"Sudahlah, kembali saja ke ruangan mu. Temui dia dan kau akan mengerti. Pastikan kau mengetesnya lebih dahulu sebelum kau benar-benar jatuh hati padanya!" peringat Revan.

Pria tampan itu pun langsung kembali fokus pada berkas dan laptop yang ada di hadapannya. Sementara Felix masih merasa kesal karena pertanyaannya di gantung oleh Revan begitu saja.

Tidak ada sedikitpun rasa kecurigaan pada Irene di benak Felix. Felix adalah tipe orang yang menilai seseorang dari penampilan dan sikap luar nya. Jika di rasa orang itu tau sopan santun, maka Felix bisa saja memastikan bahwa orang itu juga baik hati dan benar-benar sopan.

Karena sudah terlanjur penasaran, Felix pun akhirnya kembali ke ruangannya sendiri untuk mencari tau apa sebenarnya maksud Revan yang berbelit-belit itu. Sementara Revan hanya menghela nafas berat mengahadapi bagaimana pemikiran Felix yang sangat lamban dan tak sejalan dengannya.

***

******