webnovel

Bab 5

Di terminal kedatangan YIA, Raja dan Sin Liong sengaja tidak berangkat langsung menaiki kereta bandara. Mereka menunggu Citra dan Kedasih mendarat. Saran Sin Liong mereka sebaiknya bersama-sama menuju kota Yogyakarta. Bisa saling menjaga. Karena gangguan bukannya mereda namun semakin mencekam. Sin Liong bergidik. Teringat pada awan pekat yang bisa mengirim serangan sihir hitam tadi.

Dari kejauhan nampak Citra dan Kedasih berjalan tergesa-gesa dengan wajah sangat serius. Raja dan Sin Liong menyambut mereka.

"Kenapa Citra? Apakah perjalananmu tidak menyenangkan?" Raja berkata lembut kepada Citra yang menatapnya dengan pandangan campur aduk. Citra menggeleng.

"Justru aku mengkhawatirkanmu Raja. Tadi aku mendapatkan firasat buruk dalam perjalanan ke sini. Kau tidak apa-apa kan?"

"Kami tidak apa-apa setelah awan hitam yang menyerang Raja di atas sana hancur berantakan dihantam cahaya dari mata Raja. Namun sebelumnya aku melihat sendiri bagaimana Raja tersengal-sengal nyaris kehabisan nafas." Sin Liong memberikan penjelasan panjang lebar tentang kejadian di pesawat sebelum mereka mendarat.

Kedasih menganga mendengar cerita Sin Liong. Sementara Citra menghela nafas panjang.

"Firasatku benar. Hanya saja aku tidak menduga Raja diserang di angkasa oleh orang berilmu hitam yang sangat lihai. Aku pikir serangan itu akan menyambut kalian di darat. Raja, seperti apa bentuk awan pekat yang menyerangmu di atas sana?"

Sambil terus berjalan beriringan menuju stasiun keberangkatan kereta bandara, Raja menjelaskan apa yang dilihatnya di atas tadi.

"Mulanya aku hanya menyadari keanehan awan hitam pekat itu di antara awan-awan lain yang berwarna putih. Namun setelah aku memusatkan perhatian, awan hitam pekat itu berbentuk persis seperti Burung Gagak. Lengkap dengan sayap dan paruhnya. Bahkan dari paruhnya itulah serangan hawa dingin dilancarkan ke arahku."

Citra mendadak menghentikan langkahnya. Matanya menyala.

"Burung Gagak Hitam? Hmm. Beraninya mereka meminta bantuan Panglima Gagak Hitam?! Padahal mereka juga tahu apa risikonya!"

Gantian Raja yang menghentikan langkahnya.

"Siapa itu Panglima Gagak Hitam? Dan risiko apa yang kau sebutkan tadi Citra?"

Kali ini semua menghentikan langkah. Memandang ke arah Citra. Menunggu penjelasan.

"Panglima Gagak Hitam adalah orang berilmu sangat tinggi yang juga merupakan keturunan Keraton Mataram. Dia tersingkir dari keraton karena berusaha melakukan kudeta melalui pemberontakan berdarah. Awalnya dia membujuk Ratu Laut Selatan namun diabaikan. Kemudian dia mendapatkan dukungan dari Danyang Merapi. Penguasa Merapi saat Mataram masih baru berdiri dan Danang Sutawijaya belum memiliki kekuatan yang cukup untuk menguasai paku tanah Jawa itu."

"Jadi? Maksudmu Panglima Gagak Hitam ini masih garis moyang Keraton Yogyakarta?" Kedasih melemparkan pertanyaan.

"Iya betul. Masih trah mataram. Namun dia memiliki dendam kesumat setinggi langit terhadap Keraton Mataram dan keturunannya. Kalian tahu? Keturunan Majapahit tidak akan sedikitpun mengusik Keraton Yogyakarta karena sebagian besar keturunan tersebut berada di dalam keraton. Mada tahu tidak mungkin dia menyuruh orang menyatroni keraton untuk memburu kita dan Manuskrip ketiga yang ada di gudang pusaka keraton. Karena itu dia berspekulasi meminta bantuan orang-orang yang tidak terikat sumpah itu. Panglima Gagak Hitam adalah salah satunya."

Kali ini Sin Liong menyela.

"Apakah ada orang-orang lain yang punya potensi mengganggu kita di keraton seperti Panglima Gagak Hitam?"

Citra kembali menghela nafas panjang.

"Banyak tentu saja. Tapi hanya beberapa orang yang sangat berbahaya yang sanggup mengobrak-abrik keraton dengan kemampuan mereka."

"Apakah kau bisa menyebutkan di antaranya? Supaya kita punya pengetahuan yang cukup saat menghadapinya nanti."

"Putri Calon Arang, Dewi Lanjar, Puteri Merapi dan beberapa lagi." Citra sepertinya sedikit gentar saat menyebut nama-nama itu. Dia menghentikan penjelasannya dan jatuh dalam lamunan. Mereka sudah duduk di stasiun kereta bandara. Menunggu jadwal keberangkatan 30 menit lagi.

"Apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi orang-orang dari masa lalu itu Puteri? Aku sedikit cemas sekarang. Dari kita berempat hanya kau dan Raja yang bisa menghadapi mereka. Aku dan Sin Liong tidak paham tentu saja bagaimana berurusan dengan ilmu hitam, sihir, tenung maupun guna-guna."

Citra tercerabut dari lamunannya mendengar pertanyaan Kedasih.

"Kau benar. Memang berat. Aku sendiri tidak tahu bagaimana cara menghadapi masing-masing dari mereka. Raja lah yang telah menghadapi 2 di antaranya. Dia pernah menaklukkan Harpy jadi-jadian Putri Calon Arang dan menghancurkan utusan Panglima Gagak Hitam di angkasa. Aku pikir Raja akan tahu pada saatnya nanti. Maaf, aku benar-benar tidak punya pengetahuan yang cukup dalam hal ini."

Raja merenung sejenak sebelum melemparkan pertanyaan penting yang mengganjal di hatinya sedari tadi.

"Oke, kita sudah paham nama-nama itu tadi. Menurutmu manakah di antara mereka yang paling berbahaya jika harus berhadapan saat ini?"

Citra tersenyum kepada Raja. Dia sebetulnya merindukan pemuda ini teramat sangat. Tapi situasi genting ini membutuhkan perhatian khusus sehingga rasa rindu harus dipinggirkan terlebih dahulu.

"Paling berbahaya dari semuanya berdasarkan pengetahuanku adalah Puteri Merapi. Dia keturunan Danyang Merapi yang terpaksa harus pergi dari Puncak Merapi karena diusir oleh penguasa-penguasa Mataram. Wajar saja. Puteri ini sangat suka menimbulkan ontran-ontran, kekacauan, pagebluk dan bencana. Oleh sebab itu penguasa Mataram dengan bantuan Nyi Roro Kidul dan 5 Eyang Merapi mengasingkan puteri ini ke Lereng Merbabu."

Hampir bersamaan Sin Liong, Raja dan Kedasih menghela nafas panjang. Gunung Merbabu sangat dekat. Mudah saja bagi Mada meminta bantuan sosok mengerikan masa lalu itu untuk manjing dan menghalangi mereka.

Raja tiba-tiba bangkit berdiri. Bulu tengkuknya meremang luar biasa. Sebuah isyarat lagi tentang bahaya yang tengah mengancam mereka. Entah dari siapa tapi jelas itu ada. Raja meyakininya.

"Kalian waspadalah semua. Perjalanan kita tidak akan mulus hingga ke Kota Yogyakarta. Ada yang menunggu untuk mencelakai kita. Entah di dalam kereta atau justru di perjalanannya."

Kedasih merinding. Dia melihat sosok Raja tiba-tiba berubah sangat berwibawa dengan pendar cahaya menguar dari sepasang matanya.

*****