webnovel

Bab 33

Setelah sholat Subuh, Raja duduk termenung di teras. Petualangan ini seperti tidak mengenal batas. Siapa sangka resi yang baik dan telah menunjukkan jalan kepadanya itu telah tiada. Dia tidak keberatan menyandang beban mengawal ramalan dan memastikan terbukanya Gerbang Waktu. Tapi orang-orang bermatian karenanya. Raja merasa sangat bersalah. Mada dan sekutunya bisa mengetahui keberadaan resi itu pasti ada hubungannya dengan telepati semalam.

"Ada apa Raja? Kau terlihat masgul pagi ini? Ada yang mengganggu pikiranmu?" Citra duduk di hadapannya setelah meletakkan secangkir kopi dan ubi rebus.

"Citra, Resi Saloko Gading tewas. Malam tadi Puteri Merapi dan kawan-kawannya menyerbu kediamannya." Citra tertegun. Pikirannya langsung tertuju pada satu hal. Raja menggenggam tangannya dengan lembut.

"Itu bukan salahmu. Percayalah. Takdir telah menghampiri resi yang baik itu. Kau tidak perlu menyesali apapun. Dia tadi bicara kepadaku sebelum menghembuskan nafas terakhir."

Citra hanya bisa mengangguk lemah. Mereka pasti mendeteksi keberadaan resi itu pada saat prosesi telepati semalam.

"Resi Saloko Gading berpesan jangan sampai kita melewati tanda pendaratan. Itu berarti kita tidak boleh sampai menjumpai kunang-kunang di kanan kiri sungai."

Citra mengangguk. Lebih lemah lagi.

"Kau harus menguatkan diri Citra. Ramalan ini sudah hampir sampai di ujungnya. Jangan melemah, karena takdir juga bisa berbelok di saat kita berhenti memperjuangkannya." Citra balas menggenggam tangan Raja. Sangat erat.

"Kapan kita berangkat?"

Raja tersenyum. Menjawab pendek sambil memandangi Cincin Umpak Mataram di jari manisnya.

"Semua tergantung Sin Liong. Dialah yang mengetahui apakah semua sudah siap atau belum."

Pagi mendadak muram bagi Citra dan kawan-kawannya. Berita kematian Resi Saloko Gading juga memukul Kedasih dan Sin Liong. Mereka tidak menyangka sama sekali resi penjaga ramalan itu cepat sekali pergi.

Citra berkata pelan kepada Sin Liong. Mereka sedang duduk di meja makan.

"Aku sudah mencoba mencari petunjuk semalam Sin Liong. Saat yang tepat untuk membuka Gerbang Waktu adalah malam purnama penuh. Dan itu akan terjadi besok malam. Apakah semua perlengkapan sudah siap?"

Sin Liong berhitung dalam hati.

"Iya. Bisa Putri. Itu artinya semua perlengkapan harus sudah dikirim ke dalam goa malam ini."

"Bagaimana cara terbaik mengirim semua perlengkapan agar tidak menimbulkan kecurigaan ya?" Kedasih menatap langit-langit sambil bergumam. Seperti sedang berbicara kepada diri sendiri.

"Itu bagian Babah Liong, Kedasih. Papa akan meminta bantuan orang-orang Perhutani yang dikenalnya dengan baik. Perlengkapan akan diangkut menggunakan mobil Perhutani. Tidak ada siapapun yang curiga terhadap mobil Perhutani di wilayah mereka sendiri."

Kedasih terlihat puas.

Di Bubat. Mada memandangi Panglima Gagak Hitam masuk ruangan dengan kaki diseret. Puteri Merapi di sebelahnya berjalan dengan gontai. Mereka berdua nampak sekali sangat kelelahan. Mada sudah tahu 3 Datuk Hitam tidak akan memasuki ruangan ini. 3 orang itu telah tewas. Mada sama sekali tidak menyangka ternyata orang manjing yang misterius itu adalah Resi Saloko Gading. Salah satu Penasehat Agung Raja Majapahit yang sakti. Seandainya dia tahu dari awal, tentu saja dia akan turun tangan sendiri. Meskipun sesungguhnya kematian 3 Datuk Hitam itu tidak membuatnya sedih. Namun setidaknya kekuatan mereka berkurang sekarang.

Puteri Merapi menghempaskan tubuhnya ke kursi. Mulutnya mengomel pendek.

"Baru kali ini aku menemukan lawan yang luar biasa tangguh selain pemuda reinkarnasi tengik itu."

Panglima Gagak Hitam menyahut. Ketus dan menyesal.

"Brengsek! Meskipun kita berhasil mengirimnya ke surga tapi 3 Hitam juga ikut bersamanya ke neraka!"

Putri Calon Arang menghela nafas. Mereka tidak punya pilihan nama lagi untuk dipanggil manjing. Tidak semua orang mau dipanggil manjing. Hanya orang-orang tertentu yang bersedia. Dengan kepentingan masing-masing tentu saja.

"Gagak Hitam. Apakah menurutmu kita sama sekali tidak bisa memanggil Nyi Blorong ke sini? Firasatku, matinya Resi Saloko Gading justru mendorong ramalan semakin mendekati kenyataan. Pemuda reinkarnasi itu tangguh bukan main. Kita perlu tambahan tenaga yang memadai."

Panglima Gagak Hitam mengangkat tangan dan bahunya sekaligus. Menyerah.

"Syaratnya terlalu berat Putri. Mana mungkin kita bisa menyerahkan pemuda reinkarnasi yang digilainya itu sedangkan kita saja belum tentu sanggup mengalahkannya."

Mada memotong pembicaraan.

"Kita tidak perlu mengandalkan satu orang yang tidak punya niat Putri. Meskipun belum tentu bisa mengalahkan pemuda itu, aku rasa aku masih bisa mengimbanginya. Dengan kalian membantuku, kita bisa mengalahkannya. Aku yakin dengan hal itu."

Tidak ada yang membantah. Mereka hanya membayangkan pertempuran puputan di tempat yang sangat bersejarah ini tak lama lagi akan terjadi di mana mereka terlibat di dalam Palagannya yang berdarah-darah.

"Putri Calon Arang, adakah hal baru yang bisa kau temukan?" Mpu Candikala bertanya.

"Aku tidak menemukan apa-apa lagi. Semenjak kematian Resi Saloko Gading aku sama sekali tidak merasakan apapun. Cerminku juga tidak menunjukkan apapun." Jawaban yang aneh karena sepertinya Putri Calon Arang juga terheran-heran dengan situasi tersebut.

Mada mengerutkan dahinya. Ini ganjil. Dia akan bicara berdua saja dengan Putri Calon Arang nanti.

Mobil bak terbuka dengan logo Perhutani itu berjalan pelan meninggalkan kantor Kesatuan Pemangku Hutan Jombang. Sin Liong mengenakan seragam perusahaan negara itu dan duduk di kursi pengemudi. Raja yang juga mengenakan seragam sama, berada di sampingnya. Akhirnya diputuskan Babah Liong meminjam mobil dinas Perhutani untuk mengangkut semua perlengkapan Sin Liong. Semua hal akan dikerjakan oleh Raja dan Sin Liong. Mereka mengurangi keterlibatan orang lain karena pekerjaan ini sangat berisiko dan membahayakan nyawa.

Mereka telah mempelajari jalur tercepat menuju bukit goa. Sin Liong akan mengendarai mobil melewati hutan-hutan Jati milik Perhutani. Diperkirakan mereka akan tiba di tujuan hampir tengah malam. Mereka akan bekerja dalam gelap dengan bantuan sinar bulan. Raja hanya berharap hujan tidak turun. Karena menurunkan barang-barang ini dalam kondisi basah dan dingin akan cukup mengganggu. Apalagi turunnya bukan melalui tangga. Tapi menggunakan tali yang tentu akan licin jika turun hujan.

Raja melirik ke belakang. Bak mobil ini dipenuhi barang-barang kelengkapan untuk Arung Jeram. Tidak terlihat dari luar karena ditutup rapat menggunakan terpal besar dan tebal.

Raja dan Sin Liong saling pandang. Kemudian tertawa tergelak. Mereka berusaha bergembira karena sebentar lagi mereka akan memeras tenaga dan tidak akan sempat tertawa.

---***