webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · ファンタジー
レビュー数が足りません
53 Chs

Chapter 38 "Situasi Tidak Terduga di Tengah Malam"

Hujan gerimis mengguyur lereng gunung sejak sore datang, membasahi dedaunan dan batang pohon yang berada di atas kepalaku. Beruntung aku dan Dimas sempat membuat tenda dari terpal tepat sebelum hujan turun, jadi tak perlu takut air akan membasahi tubuhku.

Tenda darurat ini tak terlalu besar, hanya cukup menaungi tiga orang beserta barang bawaan saja. Karena ruang sempit ini Aku, Dimas, dan Kak Shella mengatur penempatan tas kami di tengah tenda agar tidak basah. Hal itu yang membuatku harus berdamai dengan percikan air hujan yang jatuh ke atas tanah.

Angin bertiup semilir menggelitik tengkukku, menciptakan hawa dingin yang menyelimuti tubuh ini. Mengetahui perjalanan kami akan mendaki gunung, aku sudah mempersiapkan diri dengan membawa jaket dari Kota Glafelden. Meski sudah kukenakan, tetap tidak bisa melawan hawa dingin yang membeku. Wajar saja, jaket murah seharga dua puluh keping perunggu ini berbahan tipis. Mungkin tak ada ubahnya dengan pakaian biasa.

Untuk sesaat, aku menyesali keputusan saat memilih jaket ini. Aku tergoda dengan modelnya yang begitu keren. Padahal, seharusnya aku bisa mendapatkan jaket tebal dengan harga yang sama. Lihat saja Dimas! Lelaki itu tampak tak merasa kedinginan sama sekali dengan jaket tebalnya. Kami berbelanja bersama tepat sebelum pergi berpetualang. Jika saja waktu itu aku mendengarkan sarannya, mungkin aku takkan kedinginan seperti ini.

"Ada apa lihat-lihat?" tanya Dimas yang menyadari tatapanku.

"Aku kedinginan, mau bertukar jaket?"

"Enak saja! Salahmu sendiri yang memilih jaket tipis seperti itu!" Dimas langsung mendengus di depan hidungku. "Memangnya kau pikir kita akan berwisata? Kalau mau kau gunakan saja magimu untuk menghangatkan badan!"

"Kalau bisa sudah kulakukan dari tadi, Bodoh!"

Dimas menghiraukan perkataanku, ia memalingkan wajahnya ke luar tenda walau sebenarnya tidak ada yang bisa dilihat di luar sana. Sementara aku menjatuhkan pandangan ke lentera minyak yang berada di tengah tenda. Memberikan sedikit cahaya di tengah pekatnya kegelapan di sekitar. Aku hanya bisa berharap sumber cahaya ini tak mengundang binatang buas apa pun kemari.

Aku meringkuk di bawah tenda sambil bersedekap, Kak Shella yang merasa iba padaku memberi sepotong kain miliknya. Dibandingkan sebuah kain, ini lebih mirip dengan selimut tipis. Lebih tebal dari kain namun lebih tipis dari selimut. Dibalut dengan benda ini benar-benar mengurangi hawa dingin dari luar. Akhirnya aku bisa merasakan kehangatan pada badanku.

Untuk makan malam, kami menyiapkan bahan-bahan yang dikumpulkan saat matahari masih bersinar. Ketika melewati jalan setapak yang ditumbuhi jamur di kedua sisinya, tentu kami takkan mau melewatkannya saja. Setelah memilah-milah, kami membawa banyak jamur yang aman untuk dikonsumsi.

Kami memasak menggunakan semacam briket arang yang kubeli di Glafelden. Untung saja di dunia ini sudah ditemukan briket dan pemantik api. Jika tidak, mungkin saat ini kami harus mencari kayu bakar dan mencoba membuat api dengan menggesek-gesekkan dua buah batang kayu. Hal itu akan lebih merepotkan dan sangat tidak efisien.

Dimas membuat kompor dari tumpukan batu kecil yang membentuk segi empat. Setelah pria itu menaruh beberapa potong briket di tengah batu dan menyalakannya, ia meletakkan sebuah kuali logam berukuran kecil di atas batu. Meskipun ini bukanlah perjalanan piknik, aku tetap menginginkan kebutuhan esensial seperti makan tetap terpenuhi. Jadi aku membeli sebuah kuali kecil yang bisa dibawa dalam tas. Dengan begini, kami bisa memasak apa pun tanpa harus menyantapnya mentah-mentah.

"Ini enak sekali!" seruku antusias, melihat ke arah Dimas yang tengah memakan sup jamurnya. "Aku sampai lupa kalau kau anak pengusaha restoran."

Dimas tak menjawab. Lelaki itu hanya menghela napas dan melanjutkan makan malamnya.

"Ah, maaf! Apa aku mengingatkanmu tentang masa lalu?" tanyaku hati-hati, takut kan melukai hatinya.

"Memang, tapi tidak harus sampai sebegitunya. Aku masih bisa mengontrol diriku sendiri. Tidak sepertimu!" balas Dimas dengan nada datar.

"Serius?"

Lelaki itu melirik padaku dari sudut matanya tanpa menghadapkan wajahnya padaku. "Apa kau lupa arti perjalanan ini?"

"Hah?"

Dimas menghela napas dalam. "Kau tidak lupa tujuan kita, kan? Mencari dan mengumpulkan Kristal Roh, lalu kita akan pulang. Jadi tidak perlu bersusah payah bersimpati, karena kita semua akan kembali ke dunia asal. Jadi hentikan ocehan tidak jelasmu dan habiskan makan malammu!"

Omelan Dimas langsung menusuk ke dalam telingaku yang super sensitif. Gendang telingaku sampai terasa nyeri karenanya.

Memang betul apa yang dikatakannya. Tujuan perjalanan ini adalah mencari sebelas Kristal Roh dari berbagai belahan penjuru dunia, lalu mengumpulkannya. Setelah muncul Kristal Roh Harapan, kita akan memohon agar aku dan semua teman-teman dikembalikan ke bumi. Mudah sekali mengatakannya dengan kata-kata.

Namun aku tahu, tidak. Kami bertiga tahu, bahwa perjalanan ini akan sangat panjang dan sulit sekali. Lokasi Kristal Roh pertama memang sudah didapatkan, tapi bagaimana dengan kristal lainnya? Apa akan mudah atau susah ditemukan? Atau mungkin ada beberapa yang hilang dan hancur? Untuk saat ini aku tidak tahu jawabannya. Perjalanan ini mungkin akan memakan waktu dua atau tiga tahun, atau lebih dari yang bisa kubayangkan.

Kendati demikian, tidaak ada satu orang pun dariku, Dimas, maupun Kak Shella yang menyerah dan mundur. Kita hanya bisa maju, entah seperti apa yang akan terjadi di masa depan.

"Kalau kita benar akan kembali ke bumi, bagaimana dengan Anggi? Apa dia akan kembali jadi lelaki atau tetap wanita seperti ini?"

"Dia akan tetap seperti itu selamanya," jawab Dimas singkat menanggapi pertanyaan iseng Kak Shella.

"Enak saja! Aku juga akan minta untuk dikembalikan jadi cowok, tahu!" protesku dengan keras.

"Jelas tidak bisa, Bodoh! Coba ingat kartun Dragon Balls, saat semua bola dikumpulkan, naga Shen Long hanya bisa mengabulkan satu permintaan saja. Kalau disuruh memilih mengubahmu menjadi laki-laki atau pulang ke dunia asal, pasti semua teman kita akan memilih pilihan kedua. Jadi terima saja nasibmu sebagai perempuan. Mungkin saat di bumi nanti, kau akan bertemu cowok pengusaha kaya raya, lalu menikah dan punya anak darinya."

"D-Dasar bajingan!" umpatku kesal. Kalau saja situasinya lebih baik, aku akan menonjoknya saat ini juga. "Aku akan tetap jadi laki-laki di bumi nanti, meski harus operasi kelamin di Thailand!"

"Kau gila!"

Perseteruan kami berdua berlanjut hingga makan malam berakhir. Kak Shella tertawa melihat tingkahku dan Dimas. Percakapan ringan seperti inilah yang mencairkan suasana di tengah hawa dingin yang menutupi pegunungan ini. Membuat kami lupa akan kehadiran hujan yang terus mengguyur tanpa berhenti sedikit pun.

Malam pun semakin larut, kami memutuskan untuk tetap di tempat ini hingga matahari terbit. Arloji masih belum ditemukan di dunia ini, jadi aku tidak tahu pasti pasti jam berapa sekarang. Dilihat dari lama waktu sejak langit menjadi gelap, sepertinya saat ini sekitar jam delapan atau sembilan malam.

Aku mendapat giliran berjaga di tiga jam pertama, setelah itu Dimas untuk tiga jam berikutnya. Dimas dan aku setuju untuk tak memasukkan nama Kak Shella ke daftar jaga, sebab ia sangat tidak cocok untuk pekerjaan ini. Selain tak terbiasa terjaga di malam hari, aku juga meragukan kesiagaannya di setiap waktu. Lagipula, aku ingin melihatnya dalam kondisi fit untuk melanjutkan perjalanan esok hari.

Sementara Dimas, meminta untuk beristirahat dahulu karena ia merasa kepalanya sedikit sakit. Di tenda darurat yang berukuran kecil, tidak akan muat untuk tiga orang berbaring bersamaan. Jadi aku membiarkan pria itu dan Kak Shella tidur di tenda bersama semua barang bawaan kami. Sementara aku duduk di bawah pohon yang berada di luar. Untung saja hujan sudah reda, karena jika tidak aku harus menghabiskan waktu jagaku di bawah guyuran air.

Sembari terduduk di atas akar pohon pinus, aku termenung. Tidak jelas apa yang kulakukan. Aku berjalan mondar-mandir antara satu pohon ke pohon lainnya. Kemudian mengukir namaku sendiri pada batang pohon. Sesekali aku memainkan Vigletku dan mencoba merapal beberapa mantra teknik kecil.

"Vitr Ans!"

Begitu aku mengarahkan ujung Vigletku ke sebuah batu berukuran seekor sapi, benda berat itu terbang melayang di atas permukaan tanah. Seolah mengabaikan hukum fisika, batu itu melayang di udara tanpa mempedulikan massa dan gaya gravitasi. Isaac Newton tidak akan percaya melihat ini. Mungkin ia akan bangkit dari kuburnya jika mendapati ilmu magis benar-benar ada. Sistem magi di dunia ini atau Esze merupakan hal di luar nalar. Orang modern sepertiku pun tak mengerti cara kerja secara detailnya.

Setelah beberapa detik, aku menjatuhkan batu besar itu ke tempat asal hingga menghasilkan suara berdebum kencang. Aku memandang kagum pada Viglet hitam bermotif gading ini. Begitu elegan, kuat, dan dapat diandalkan. Normalnya aku hanya bisa mengangkat meja atau kursi kayu, namun dengan benda ini aku bisa mengangkat benda yang beratnya berkali lipat lebih besar.

Tiba-tiba aku terpikir sesuatu. Bagaimana kalau aku memberinya sebuah nama? Benda yang hebat seperti ini seharusnya punya nama yang sama hebatnya. Aku memang tidak memberi nama pada Viglet lama yang dulu hancur. Lagipula itu hanya barang bekas murahan.

Berbeda dengan Viglet hitam ini. Benda yang kupegang di tanganku ini istimewa. Sepertinya aku memang harus memberinya nama. Viglet ini berwarna hitam seperti gelapnya malam, memberi kesan misterius, dan sangat kuat. Kira-kira nama apa yang cocok, ya? Setelah termenung dan berpikir keras, aku akhirnya mendapat satu nama.

"Viglet Harapan," ucapku lirih dengan senang.

Aku memang tidak pandai dalam memberi nama, karena itu aku menamai benda itu sesimpel mungkin. Berharap Viglet ini dapat membantuku melewati semua rintangan dan membawaku pada Kristal Roh Harapan. Itulah makna yang terkandung dalam nama ini. Mulai sekarang aku akan memanggil benda ini dengan nama itu.

Setelah itu aku mencoba beberapa trik Esze dengan Viglet Harapan. Selain teknik yang diajarkan Almira, aku mencoba bereksperimen dengan menggabungkan dua mantra. Walau hasilnya tidak seperti yang kubayangkan, setidaknya ini teknik gabungan ini bisa berguna untuk mengalahkan musuh yang akan datang nanti.

Waktu berjagaku sudah habis, sekarang giliranku untuk beristirahat. Aku kembali ke arah tenda dan hendak membangunkan Dimas untuk gantian. Tanganku menggoyang-goyangkan badannya, namun ia bergeming seakan tak mau bangun dan gantian berjaga. Aku mencoba menggoyangkan tubuhnya lebih keras, bahkan meneriakinya dengan keras. Kendati demikian, Dimas masih terlelap dalam tdurnya.

Ini aneh. Tidak biasanya ia seperti ini. Ia adalah orang yang paling sigap di antara kami. Biasanya Dimas akan terbangun saat ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Insting miliknya cukup tajam ketika berada di alam liar. Tapi kali ini, ia tampak seperti pengangguran yang malas bangun. Karena kesal Dimas tak kunjung bangun, aku hendak mengerjainya dengan menutup kedua lubang hidungnya. Mari kita lihat, apa ia masih akan tertidur saat tidak bisa bernapas?

Sesaat kemudian aku mengarahkan jariku pada wajah pria itu. Saat tanganku menyentuh kulit Dimas, barulah aku menyadari keanehan. Tubuhnya sangat panas seperti bara yang membara. Napasnya tersengal-sengal, mulutnya mengeluarkan racauan kecil yang tidak jelas. Dalam kondisi buruk seperti itu, sudah jelas ia takkan bisa menjawab panggilanku.

"Dimas!!"