webnovel

Act 23; Langkah

Siapa yang patut disalahkan atas situasi ini? Tidak, apakah situasinya memang salah? Bagaimana kalau tak ada yang salah? Mungkin Fran hanya terlalu sensitif, karena melihat wajah Sui Manato mengernyit sedemikian rupa selagi mengiris seporsi daging di piringnya. Mata sekretaris itu melirik Ritz tajam sambil sesekali menoleh pada Fran, mencurigai hubungan diantara keduanya.

Hal lainnya yang harus dikhawatirkan adalah kebencian Anzel yang menggebu-gebu. Andai kepala bisa mendidih hanya karena sepercik perasaan saja, kepala Fran sudah siap santap sejak tadi. Terima kasih, Anzel.

Seluruh perasaan mengganggu itu bersatu dan terakumulasi di suatu tempat di dalam tubuh Fran, hingga semua makanan yang ia sendok masuk kedalam mulutnya tak berasa apapun. Malah, ia buru-buru ingin memuntahkan semuanya begitu tampak olehnya sosok Itzal di balik konter dapur. Mengenakan pakaian juru masak dan kepala ditutupi bandana, ia mengaduk sesuatu didalam panci besar sambil sesekali mencuri pandang kesini.

Kenapa dia disana? Menyamar? Untuk apa?

Ia menahan diri agar tidak bersikap aneh sampai semua makanannya habis, lalu mengelap mulutnya dengan serbet. Menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Karena beberapa alasan yang sudah jelas, Fran merasa ini bukan waktu yang tepat untuk bicara.

"Utusan dunia bawah sudah disediakan ruang makan sendiri. Jadi, bagaimana bisa kau ada disini?" tanya Sui Manato, nada bicaranya tak akrab.

Ritz mengulum senyum tipis saat menjawab, "Aku suka makan di tempat yang tak biasa,"

"Kurasa, istana ini tak kekurangan tempat tak biasa dimanapun. Tapi kau memilih kesini, apa tujuanmu? Bagaimana kalian bisa saling mengenal?" Sui Manato mengarahkan pertanyaan terakhir itu pada Fran.

"Aku tidak tahu siapa dia," tegas Fran tanpa ragu.

"Siapa yang tak pernah dengar inkarnasi kematian? Begitu tahu kalian ada disini, aku datang untuk bicara dengan Franzell" Ritz terbatuk kecil. "Ehm. Barangkali kau lupa, ini adalah tujuan awal kedatangan kami ke Aileth. Bisakah aku mengharapkanmu agar tak menyinggung pertemuan kecil ini pada yang lain?"

"Kau dan sigma menyebalkanmu itu." Sui Manato berdecak kesal. "Franzell tak punya waktu banyak, meski aku izinkan."

Senyum Ritz merekah lebar, "Aku tahu, sebanyak ini sudah cukup."

Tepat setelahnya, Itzal melepas apron masaknya dan berjalan keluar dari konter dapur membawa tiga gelas minuman yang berbeda. Sui Manato diam saja selagi perempuan itu meletakkan gelas di atas meja. Ia diberikan kopi, bir untuk Ritz, dan susu untuk Fran.

Diatas permukaan, tidak ada yang mengeluhkan pembagian ini. Namun Fran merasa Itzal sedang tertawa sambil melenggang pergi. Ia mengekori punggung juru masak palsu itu sampai kembali ke konter dapur dan sibuk mengurusi panci-pancinya lagi.

"Walaupun aku penasaran bagaimana cara kalian menyingkirkan orang yang bertugas disini, aku akan menahan diri, Anggap saja aku salah satu kursi kayu selagi kalian bicara."

Ritz mengiyakan tanpa suara, dan beralih pada Fran.

"Aku tahu semuanya tak sesuai rencana, tapi jangan khawatir. Bertemu disini sudah cukup,"

Fran mengerti makna ganda dari perkataanya dan mengangguk, "Senang bertemu denganmu, aku menerima surat mengenai kedatangan kalian melalui Einzel beberapa hari lalu."

Ritz senang karena Fran menangkap maksudnya.

"Bagus, paling tidak pesannya sampai. Kudengar kau suka berkebun dan koleksi tanamanmu luar biasa. Bagaimana kondisinya setelah badai baru-baru ini?"

Jika yang dia maksud apakah Anzel sudah memperoleh hal yang diinginkannya, maka; "Semuanya terkendali. Aku tak punya waktu untuk mengembalikan mereka ke kondisi terbaik, namun tidak masalah."

"Aku lega mendengarnya," tanggap Ritz, senyum tulus yang baru pertama kali Fran lihat tersungging di wajahnya. Senyum itu membuat Fran tak bisa berkata-kata lebih lanjut. Mendadak muncul keinginan untuk menceritakan seluruh kecemasan dan kekhawatirannya pada orang itu. Sedikit pelepasan agar ia yakin semua bisikan Anzel tidak mempengaruhi dirinya sedikitpun.

Seakan tahu kebimbangan Fran, Ritz menepuk bahunya. "Aku akan mencari tahu tanaman bagus untuk ditambah ke koleksimu. Semoga kita bisa bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik kedepannya."

Fran mendongak menatap sepasang iris hitam milik seseorang yang baru ia kenal itu dan merasa lebih baik. Ia sungguh berharap mereka punya kesempatan untuk membicarakan banyak hal tanpa halangan, karena masih banyak yang ingin ditanyakan. Walau tampaknya kesempatan yang diinginkannya mustahil muncul dalam waktu dekat.

"Terima kasih banyak. Tapi aku mungkin tak bisa menerima pemberianmu."

Wajah Ritz menampakkan keterkejutan, yang dengan cepat dia singkirkan. "Aku akan tetap mengirimkan semuanya."

Samar-samar, Fran menganggap itu tanda Ritz paham bahwa ia bisa saja tak kembali. Diliriknya Sui Manato yang berpura-pura jadi kursi sambil meneguk segelas kopi, kemudian merasa bersalah.

Sui Manato yang menyadari tatapan Fran mengangguk, "Sudah waktunya."

"Terima kasih karena sudah datang menemuiku," pamit Fran sambil membungkuk singkat kepada Ritz dan Itzal. Ucapannya terdengar sederhana sampai membuat Fran terkejut saat sadar seberapa besar perasaan yang ia tuangkan dalam kalimat itu. Rasa terima kasih yang tidak sempat ia katakan, meluap bagai air mata yang gagal dibendung.

Tentu Fran tidak menangis, bersedih, atau semacamnya. Namun ia sempat mengira tak memiliki kesempatan untuk pamit sebelum pergi melakukan perjalanan periodik—yang katanya berbahaya. Jadi pertemuan yang tak diduga ini benar-benar membuat hatinya ringan.

Sekarang Sui Manato mengulangi hal yang sama, menuntun Fran melewati koridor istana menuju ruang audiensi. Ia tak bicara apapun, dan kelihatan tidak berniat untuk melakukannya sama sekali. Fran ikut terdiam karenanya, dan kesunyian ini terus berlanjut saat mereka berpapasan dengan pengawal atau dan lain-lain di koridor. Sui Manato hanya mengangguk pada setiap orang, dan Fran menyalin perbuatannya di belakang.

Untung bagi Fran, yang memecah gelembung tak nyaman antara mereka adalah Sui Manato sendiri. "Sebentar, aku perlu mengambil sesuatu dari ruanganku," katanya.

"Baik," tanggap Fran, terlalu cepat.

"Tidak akan lama." Ia berbelok ke kanan tempat sederet pintu kayu kokoh berdiri. Fran berhenti di belokan, menyaksikan Sui Manato masuk ke pintu kedua dari ujung.

Ia keluar sekitar dua menit kemudian, tampak tak ada yang berbeda dari saat dia masuk. Lalu Fran sadar ia salah mengira, karena selanjutnya sekretaris dengan rambut biru mencolok itu mengeluarkan sebuah pita dari saku setelannya.

"Aku mencari ini untuk kau pakai," katanya.

"Untukku?" Fran mulai mengingat-ingat penampilannya sendiri dan mendapati pita tersebut tidak diperlukan. Bahkan rambut yang biasanya diikat asal-asalan hari ini sudah mendapat perhatian lebih dan telah menjuntai rapi di punggung. "Bukan karena rambutku, kan? Aku lebih suka mengikatnya dengan sesuatu selain pita."

Sui Manato membuat ekspresi seolah Fran baru mengatakan hal bodoh. "Kau menggunakan apa kalau bukan pita? Karet? Kau menghina pembuat pita, kah?"

Terkejut oleh balasan Sui Manato yang tiba-tiba semangat, Fran refleks menyentuh rambutnya dan menghela napas lega. "Hari ini aku tidak memakai karet."

Jika karet yang biasa ia gunakan tidak hilang, besar kemungkinannya Fran akan mengenakan benda tersebut bahkan di waktu penting seperti sekarang. Untunglah, ia menemukan jepitan perak yang ia miliki sejak sebelum diasingkan, satu dari sedikit barang berkilau yang masih dia punya.

"Aku tahu, tapi yang kuberikan adalah pita untuk kerah kemeja, cepat pasang."

Pita itu berpindah ke tangan Fran, dan untuk mencegah persilatan kata lebih dari yang seharusnya ia cepat-cepat mengikatnya sambil berjalan.

Tak sampai lama, mereka sampai ke depan sebuah pintu ganda yang dijaga ketat oleh dua pengawal berwajah kaku. Barulah terasa bagi Fran seberapa seriusnya situasi yang dia hadapi.

"Terima kasih sudah membawaku sampai sini," kata Fran pada si sekretaris.

Sui Manato berlutut, mengejutkan Fran. "Aku hanya melaksanakan kewajiban, dan pitamu berantakan."

Fran mengulang "Terima kasih," seperti robot dan berusaha memperbaiki pita di lehernya, namun tangan sekretaris itu bergerak lebih dahulu. Mengurai dan mengikat kembali pita biru beludru tersebut dengan keluwesan yang hanya bisa terbentuk dari kebiasaan.

"Terima kasih banyak," ulang Fran lagi. Ia sadar terima kasih saja tak akan cukup. Beberapa waktu, segala sesuatu yang terjadi di sekitar Fran selalu berantakan dan di luar rencana. Namun pertemuannya dengan banyak orang baru termasuk sekretaris ini membuat segalanya terasa lebih baik. Ia masih tidak mengerti bagaimana orang-orang bisa bersikap sebaik itu. Apalagi pada Fran yang seharusnya adalah 'orang asing' dan dikatakan bisa saja mengakhiri dunia sewaktu-waktu.

Sui Manato mengusap-usap kepala Fran seperti orang tua kepada anak mereka. Ekspresinya lembut, dan Fran tak kuat menghadapinya lebih lama dan beringsut menghindar.

"Senang bertemu denganmu, meski singkat."

Si sekretaris bangkit dengan senyum miring yang—lagi lagi, seperti yang disunggingkan orang tua penyayang, Fran tidak tahu bagaimana menghadapinya.

Mengabaikan semua perasaan jengahnya barusan, Fran menjawab, "Semoga kita bisa bertemu lain waktu."

"Kuharap begitu," pungkas Sui Manato.

Fran berbalik memunggungi Sui Manato agar raut wajahnya yang kacau tak terlihat. Begitu banyak perasaan meluap hingga membuat ia tak yakin bagaimana ekspresi yang tampak di wajahnya. Dalam hati, Fran mencatat kekurangannya untuk diperbaiki setelah ini. Ia baru menyadari pentingnya mengendalikan perasaan dan raut wajah agar tidak membocorkan segala hal pada orang lain, yang berujung pada kerugian Fran sendiri.

Ia mengepalkan tangan, mengibas debu imajiner di setelan hitamnya, lalu mengangguk pada kedua pengawal di sisi pintu yang sedari tadi sabar menunggu.

Menanggapi isyarat Fran, satu pengawal di kanan mengetuk pintu dengan ritme teratur untuk mengumumkan kedatangannya. Kemudian pintu dibuka dari dalam, dan Fran melangkah masuk meninggalkan semua di belakang. Langkah tak asing yang membuatnya teringat kembali akan hari saat ia masuk ke ruang pengasingan. Seolah dipaksa ingat, padahal selama ini ia sudah lupa rasanya.

---

Kaisar Gillian San Doloretia tidak terlihat tua meski tahun ini usianya sudah bulat lima puluh, dan itu bukan sesuatu yang mengherankan.

Sepeninggal Aileth sang kehidupan yang tiba tiba, reinkarnasinya muncul dua ratus tiga puluh hari kemudian dan perintah pertamanya adalah menetapkan panggilan baru di hadapan seluruh rakyat Doloretia. Penampilannya belia, berbanding terbalik dengan mata merah delimanya yang seperti menyimpan jurang gelap tak berdasar.

"Kalian bebas menganggapku reinkarnasi Aileth dan menyebut penerusku sebagai keturunan sang Kehidupan. Tapi untuk sekali saja kutegaskan dengan sangat, bahwa aku bukan Aileth sang Kehidupan dari sisi manapun kalian melihatnya. Aku hanyalah wadah fana yang menampung secuil dari otoritas kehidupan miliknya. Tidaklah aku mampu menciptakan sesuatu dari ketiadaan sebagaimana Ia, ataupun memimpin seluruh peninggalannya sesempurna Ia.

"Maka kukatakan sejelas-jelasnya saat ini di hadapan kalian, bahwa dengan ini kuberitahu, namaku adalah Ailstair, penguasa kontinen Doloretia. Kuemban San Doloretia setelah namaku sebagai pengingat. Pada hari ini aku bersumpah, atas nama Aileth sang Kehidupan—semoga ia damai dalam pelukan semesta, atas nama Requiem sang Kematian—kuharap cahayanya kembali menuntun kami menuju ketenangan abadi, bahwa aku, Ailstair San Doloretia dan seluruh penerusku di masa yang akan datang, akan terus melayani Doloretia dengan moralitas, integritas, dan pertanggungjawaban yang sebenar-benarnya.

"Andai suatu masa tiba dimana aku atau penerusku tidak menjunjung nilai-nilai yang seharusnya, dan tidak melayani Doloretia dengan sungguh-sungguh, ku harap kalian, seluruh bangsa Doloretia, memiliki keberanian untuk menjatuhkan kami yang tak lagi berhak menyandang tahta. Tidak ada yang membuatku lebih bahagia daripada mengetahui bahwa bahkan di masa depan yang tak bisa kusaksikan, Doloretia akan terus berdiri, dalam satu kesatuan."

Pernyataan tersebut disambut megah dan terus diingat. Requiem sang Kematian yang ketika itu menyaksikan upacaranya menganugerahi 'kesehatan' bagi Ailstair serta seluruh keturunannya, "Semoga kesehatanmu selalu terjaga sampai datang waktu kau terlelap. Semoga seluruh penerusmu bergelimang dalam kemakmuran yang sama, selama kalian terus menjaga sumpah yang dideklarasikan hari ini,"

Tidak ada yang benar-benar tahu apakah Requiem punya tujuan tertentu atau hanya sedang berbaik hati. Bagaimanapun, mana mungkin ia tidak sadar kenyataan bahwa Ailstair dan keturunannya tidak memperoleh berkah Eternal selepas kepergian Aileth dari daratan Doloretia. Barangkali, 'kesehatan' yang ia berikan adalah hadiah perpisahan, belas kasihnya untuk makhluk fana terakhir.

Karena setelah itu ia bertolak pergi meninggalkan seluruh urusan dunia pada Ailstair dan setengah dari dirinya. Tak ada yang tahu kemana ia bertualang dan apa tujuannya sampai ia kembali ratusan tahun kemudian membawa dua orang asing yang kelak menjadi leluhur Fitzgerald. Mengganti separuh Requiem yang berkuasa di samping Kaisar Doloretia dengan para Fitzgerald, menunjuk sepuluh orang dari Amaya dan menyerahkan sigma pencabutan nyawa kepada mereka. Belakangan, sepuluh orang tadi dipanggil Pendeta Requiem. Mereka telah digantikan beberapa kali namun terus berlanjut melakukan tugas yang sama dengan kesetiaan tak terukur. Seolah mengantarkan pelepasan bagi Eternal yang ingin terlelap akan membuat sang Kematian terbangun. Tentu saja itu tidak terjadi.

Akan tetapi, coba singgung hal ini pada Pendeta Requiem di kuil mereka, jawabannya akan selalu sama: "Sekarang hanya belum waktunya, sang Kematian mendengar."

Senyum simpul penuh kepahitan terbentuk di wajah Kaisar Gillian. Ia memperhatikan sosok yang masuk itu dengan pandangan simpatik. Rasa penasaran membuatnya bertanya-tanya, akankah sekumpulan Pendeta itu mengubah jawabannya setelah semua yang terjadi? Akankah mereka bersujud dalam kegembiraan dan tangis begitu melihat apa yang ia lihat?

Umpama sang Kematian pernah mengalami masa muda, dia akan terlihat seperti Franzell.

Requiem kecil. Franzell.

Kaisar Gillian mendapati bulu kuduknya berdiri. Bahkan dalam tidur lelapnya ia mampu mengerahkan sesuatu seperti ini, pikirnya. Untuk sejenak, audiensi ini terasa menakutkan, tapi ditepisnya ketakutan itu jauh-jauh.

Ia bangkit dan menampilkan senyum lebar nan ramah yang selalu terbukti efektif, menyambut Franzel.

Anak itu menunjukkan gestur hormat sempurna, lalu bangkit dengan wajah tak terbaca.

"Yang Mulia,"