webnovel

Yang Berubah

"Perlu aku membantumu, Pak Owen?"

Ternyata Irvan. Irvan datang juga untuk berziarah sebentar ke makam Eka. Lalu bertanya apakah Ia perlu bantuan darinya atau tidak, seolah-olah Irvan mengetahui apa yang akan terjadi pada pria tua itu nanti.

Angin dingin mulai berhembus kencang saat ini. Langit pun menggelap tanda malam kan tiba. Mendongak ke atas seraya menghela napas panjang, Owen kemudian membalik badannya dan berhadapan dengan Irvan.

"Aku lupa satu hal. Apakah kau sudah berkeluarga?"

Sebelum Owen menjawab pertanyaan, Ia lantas memberi pertanyaan padanya.

"Aku memiliki kedua orang tua dan satu sepupu laki-laki yang sedikit mirip denganku. Setidaknya hanya mereka yang kukenali saat ini. Selain itu mereka tinggal jauh dari sini, tepatnya di kota Aceh. Pak Owen khawatir padaku jika keluargaku terlibat hal berbahaya juga ya?"

"Tentu saja aku khawatir. Kau ini, meski hebat dalam peretasan tapi tetaplah temannya Eka."

"Ah, jadi Pak Owen ingin aku melacak jejak Hacker Nata yang terakhir kali rupanya," ucap Irvan mengerti keadaan.

"Kau benar. Tapi apa kau yakin melakukan hal ini?" tanya Owen sekali lagi.

"Iya aku yakin. Karena ini demi Eka juga. Tapi pak? Hacker Nata, kalau tidak salah sebelumnya kau menolak keberadaan orang ini, kan?"

"Iya, aku tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak. Tapi jika kau percaya, coba saja kau lacak dia. Tapi Irvan, kenapa juga kau berpikir bahwa itu adalah Hacker Nata?"

"Tentu saja itu karena Eka. Hanya itu yang aku pikirkan semenjak Eka meninggal karena kecelakaan katanya. Dan Hacker Nata adalah peretas, dia bisa saja menyewa banyak orang untuk melenyapkan keluarga Pak Owen. Termasuk yang dikatakan bahwa dia telah lama dihukum mati tapi sebenarnya itu adalah orang lain. Bisa saja, iya?" pikir Irvan

Tris membuka pintu belakang, dan segera memanggil suaminya untuk masuk ke dalam karena sebentar lagi magrib akan tiba. Dan obrolan mereka pun berakhir sampai situ.

"Irvan, ternyata ada kamu. Masuklah ke dalam," pinta Tris juga

Namun Irvan menggelengkan kepala tanda menolak permintaannya. Segera Irvan kembali ke rumah dan Owen pun masuk ke dalam.

Sesaat sebelum mereka berpisah Irvan mengatakan sesuatu, "Tidak sopan berbicara di depan makam terlalu lama. Jika bisa bicarakan ini lebih lanjut nanti di rumahku pukul 8 malam. Kalau begitu aku pamit, Pak."

***

"Irvan tidak ikut masuk?"

"Tidak. Dia pulang ke rumah."

"Sayang sekali kita tidak bisa mengajaknya makan bersama. Padahal aku berniat membagi kue yang baru saja matang."

"Kenapa repot-repot begitu? Irvan sudah dewasa, tidak seharusnya dia berada di dalam rumah seseorang saat malam begini."

"Kau tadi mengatakan hal itu bukan karena dia sudah dewasa melainkan seorang anak-anak. Iya kan?" sahut Tris

Tris menanggapi perkataan Owen bak peramal. Tentu saja Owen tidak dapat membalas perkataannya lagi. Tak lama kemudian, Owen yang sudah masuk ke dalam, melihat Mia yang tertidur pulas di sofa, membuat Ia menghentikan langkahnya yang hendak menuju ke kamar mandi.

"Kenapa dia selalu cepat tidur?" Owen bertanya tapi di saat yang sama Ia juga tersenyum menatap wajah mungil Mia.

"Ada apa, mengapa tumben sekali kau tersenyum?"

"Tris, bisa tidak kau ubah panggilan kita menjadi sayang? Entah kenapa terdengar–"

Sebelum Owen melanjutkan omongannya, Tris pun menyahut dengan ketus, "Kau dulu memaki-maki diriku saat aku iseng memanggilmu sayang! Tidak ingat?"

"Ya, ampun. Ini juga salahku sih." Owen hanya membatin dengan perasaan bersalah.

Pukul 7.45 malam,

"Kau ingin ke mana?" tanya Tris pada Owen yang hendak pergi keluar dengan membuka pintu.

"Aku akan segera kembali secepatnya. Tenang, hanya ke rumah Irvan."

Owen mengatakannya sembari menunjukkan senyum. Lantas pergi meninggalkan rumah walau saat itu Tris sedikit menunjukkan rasa khawatir.

***

"Lalu, apakah kau mengenal orang yang masuk ke dalam rumah?"

Sampai pada rumah Irvan, Ia langsung saja menanyakan apakah Owen mengenal orang asing yang tadi pagi masuk ke dalam rumahnya. Sembari bertanya, Irvan mengetik sesuatu di laptopnya.

"Kau selalu saja sibuk dengan pekerjaanmu. Memangnya tak apa jika aku mengganggu?"

"Tidak masalah. Ayo cepat katakan, kau mengenalnya atau tidak? Jika kau mengenalnya maka itu bagus tapi jika tidak, setidaknya katakan semua ciri-ciri yang ada pada orang itu."

"Hm, aku tidak mengenalnya. Tapi dia lebih pendek dariku. Dia pria dengan perban yang ada di wajah, tangan juga kakinya. Dia orang aneh."

Sesaat Owen berpikir sesuatu tentang orang itu, mulai dari ciri-ciri hingga gelagat saat berhadapan dengan Owen. Orang itu membawa pisau tapi tidak ada yang terluka. Padahal Owen bisa dibilang sangat terlambat untuk kembali ke rumah pada saat itu.

Dan ada hal yang aneh lagi, yaitu saat Irvan memberitahukan soal keadaan di rumahnya.

"Harusnya kau mengatakan ada orang yang hendak masuk. Tapi kenapa kau baru bilang saat dia sudah memecahkan kacanya dan kemudian masuk ke dalam?" tanya Owen pada Irvan.

"Apa maksudmu?"

"Tris sempat bilang padaku kalau orang itu sebelumnya mengetuk pintu dengan sopan. Baru setelah itu dia memaksa masuk lewat pintu belakang. Harusnya jangka waktu di antara itu tidak singkat."

"Pak, apa kau berpikir bahwa aku dengan sengaja mencelakai keluarga bapak? Tidak, kalau begitu aku telah melewatkannya? Aku saat itu hampir tertidur karena terus menatap layar-layar ini. Aku pun hanya tertidur selama tiga jam kemarin. Begitu membuka kedua mataku, aku pun terkejut dan langsung berteriak saat orang itu memecahkan kaca jendela di kamar belakang," jelas Irvan

"Irvan, kau ini masih muda. Kau juga terbilang mapan meski hidupku sekarang terlihat seperti pengangguran. Aku tahu pekerjaanmu penting, tapi tidur juga penting," kata Owen, menasehatinya secara halus menyindir.

"Hm, Pak. Aku juga tahu itu tapi aku kesulitan tidur," balas Irvan sedikit senyum culas.

"Lalu kenapa dia memecahkan kaca jendela belakang dan bukannya depan?" Irvan bertanya lantas Ia merasa aneh saja.

"Entahlah. Mungkin saja dia berusaha untuk masuk ke pintu belakang setelah tahu pintu depan dikunci ganda."

"Bersyukur sekali mereka tidak terluka. Dan apa maksudnya dia mengetuk pintu dengan sopan? Dia kenalanmu?"

"Tentu saja tidak. Kan sudah kubilang. Bahkan saat dia menatapku dia sama sekali tak memanggil namaku atau apa dan hanya sekedar bilang 'cih' lalu pergi begitu saja." Owen menjelaskan dengan jengkel.

"Oh, begitu. Itu pasti orang suruhannya," gumam Irvan

"Apa? Hacker Nata lagi? Aku bosan sekali mendengar kriminal itu. Hei, Irvan. Jika kau tidak keberatan aku menceritakan hal ini padamu, meski sebelumnya aku pernah mencoba mengatakan hal ini pada Istriku, Tris."

"To the point saja. Aku takkan tertawa," ucap Irvan

"Justru itu yang aku khawatirkan. Selama beberapa kali aku mengulang waktuku dari tanggal 23 pagi ini."

Awalnya memang ragu, namun Owen mencobakan hal ini pada Irvan yang Ia percayai.

Lalu sekarang?

Ruangan kotak kecil ini makin hening. Terasa kesunyian malam ini, terdengar suara jangkrik di luar. Para bintang berkelip mencoba mencairkan suasana ini.

"Hahahaha! Apa yang bapak katakan? Oh! Ini pasti tentang buku yang dibaca oleh Istrimu ya?"

Lihat? Tak hanya Istri Owen sendiri bahkan Irvan juga mengeluarkan reaksi yang sama. Tetapi wajar saja. Mana ada orang yang akan percaya omong kosong ini karena mereka tak pernah mengalami hal ini sendiri.