Tanggal 23. Owen kembali ke awal lagi setelah berhasil melewati tanggal itu. Entah kebetulan atau memang direncanakan, pada sebelumnya di perjalanan menuju rumah sakit.
Owen yang sudah membawa ponselnya, Ia mendapatkan panggilan dari tetangga dan mengatakan Mia telah menghilang, hal itulah yang membuat Owen kembali ke awal lagi.
"Ah, padahal sebentar lagi aku mendapatkan identitas dari si penelepon ini. Tapi karena kekacauan di lantai bawah membuatku terdesak keluar."
Pukul 11 malam, hari ini Ia mendapat tamu. Harusnya ini sudah sangat larut untuk masuk ke dalam perumahan namun sepertinya ada hal yang mendesak.
"Permisi, maaf menganggu."
Rekan kerja kantoran, Adinda. Wanita yang menjadi tamunya terlebih di malam seperti ini.
Bahkan sampai Istrinya terkejut, hendak menolak namun Owen menyuruhnya masuk.
"Tapi–"
"Tidak masalah. Ini hanya sebentar, Tris. Kau duduklah di sampingku," ujar Owen sembari menyuruh Tris untuk duduk.
"Aku akan menyiapkan–"
"Baiklah kalau begitu."
"Maaf mengganggu Pak Owen. Saya ingin membicarakan soal jadwal itu, dan sebelumnya Pak Direktur menghubungi bapak tapi tidak diangkat?"
"Oh, maaf soal itu."
Owen sengaja untuk tidak mengangkat telepon dari atasannya. Memang kurang ajar, dan tak sepatutnya untuk ditiru.
Lagipula, ada alasan tersendiri bagi Owen. Guna, memastikan apakah ada kejadian yang berubah, rumpang atau hal lainnya.
"Lalu?"
"Ya. Jadwalnya, entah kenapa saya sulit membacanya. Mungkin saya sedang letih. Saya ingin Pak Owen membantu."
"Tapi bagaimana jika aku menolak? Aku bahkan sudah tua untuk melakukan hal itu. Dan, semua tulisan itu adalah tulisanmu. Kenapa kau bisa salah?"
"Karena itu saya bingung. Tulisannya seperti bukan tulisan saya."
"Biarkan aku melihatnya," pinta Owen padanya.
Segera, Adinda mengeluarkan selembar kertas berisi jadwal tertentu. Jadwal kerja dari setiap karyawan, hal ini dibuat semenjak produk baru akan terlahir.
"Aneh. Tulisan ini pasti tulisanmu. Lalu kenapa kau mengira ini bukan tulisanmu?"
"Maaf, Pak Owen. Saya tak bermaksud untuk membohongi. Ini benar-benar, berbeda."
Sepertinya Adinda merasa itu bukan tulisan miliknya sendiri. Lantaran milik orang lain. Tapi entah siapa tapi yang pasti mengapa Adinda bertanya tentang hal ini pada Owen yang sebenarnya tidak berurusan.
"Sebelumnya, Adinda selalu mencetak tulisannya dengan banyak kesalahan. Dan saat Pak Seta menyadari lalu Adinda bergegas membenahi. Dan Pak Seta ingin aku membantunya. Tapi apa sekarang? Waktu yang rumpang tidak terlalu berguna bagiku saat ini. Adinda berpikir ini bukan tulisannya," pikir Owen dalam benaknya.
"Pak Owen?"
"Kalau memang ini bukan tulisanmu. Kenapa tidak tanya pada Pak Direktur?"
"Maaf menyela pembicaraan kalian, aku hanya ingin mengatakan sesuatu sebentar. Aku berharap, Bu Adinda mendengarnya," ucap Tris seraya meletakkan dua cangkir berisi air di atas meja.
"Ingin katakan apa?"
"Untukmu juga, suamiku. Pak Seta menghubungimu ke telepon rumah ini. Dia bilang, di pagi hari Adinda kehilangan catatan kertas kecil yang sepertinya itu adalah catatan keuangan sementara. Semua tulisan yang sudah lama ditulis menjadi aneh karena tinta penanya terlihat masih baru. Aku pikir Bu Adinda dan Pak Direktur berpikir bahwa kaulah yang membawa jadwal itu?" jelas Tris pada Owen.
"Hei, aku sama sekali tidak membawa apapun. Kita hanya pergi berziarah setelah itu kita berada di rumah selama seharian bukan? Aku bahkan sengaja tidak mengangkat telepon dengan pergi ke kamar mandi. Tapi ternyata kau yang mengangkatnya?"
"Eh? Pak Owen sengaja tidak mengangkat teleponnya? Padahal ini sangat penting!"
"Maaf. Meskipun aku hanya bekerja saat mendapat panggilan. Tapi ada urusan mendesak hari ini, kepalaku juga pusing. Dan seharusnya, aku mengirim pesan pada Pak Direktur pagi ini."
"Kau tidak ingat? Kau mengirimnya dalam kondisi jaringan data yang telah dimatikan. Kau pikir itu akan membuat pesannya terkirim ke sana?" sahut Tris
"Jadi, kau kehilangan catatan keuangan dan jadwal aslinya yang sudah lama kau buat, benar begitu?" tanya Owen sekali lagi, Ia dengan sengaja mengabaikan perkataan Istrinya.
"Ya." Adinda mengangguk.
"Kalau kehilangan catatan keuangan memang merugikan. Tapi kalau jadwal tentu tidak berharga bagi perampok."
"Masalahnya jadwal dan catatan keuangan itu ada di berkas yang sama. Tapi itu artinya bukan Pak Owen yang mengambilnya ya?"
"Tentu saja tidak! Kau pikir aku ini apa?"
"Jangan membentak," kata Tris memperingatkan.
"Maaf. Saya hanya menduga-duga saja. Oh ya, saya menemukan surat yang sepertinya ini untuk Pak Owen sekeluarga."
"Jadi? Hanya karena surat ini, kau mencurigaiku?"
Adinda menunduk malu, Owen lantas menghela napas lalu melanjutkan kalimatnya.
"Dasar. Lain kali simpan baik-baik semua barangmu. Kau selalu saja ceroboh bahkan kau bisa salah menempatkan waktu di jadwalnya yang seharusnya itu sepele," ucap Owen yang sudah jengkel.
"Tapi, melaporkan hal ini pada polisi pasti akan sangat rumit. Lagipula itu hanya catatannya saja, saya masih ingat dengan baik semua yang saya catat bahkan jadwal salahnya. Eh!"
Pada suatu waktu, Adinda terkejut, Ia menyadari apa yang barusan Owen katakan tentang kesalahan penulisan jadwal karyawan.
"Pak Owen tahu kalau saya telah salah menulis waktu pada jadwalnya? Sejak kapan?"
"Lupakan saja. Kau bergegaslah pulang dan catat semua yang kau ingat itu."
"Baiklah kalau begitu. Terimakasih dan maaf telah menuduh Pak Owen tanpa bukti," ucap Adinda, segera beranjak dari sana.
"Sepertinya kau hanya mencurigai karyawan saja. Apakah kau yakin itu dicuri dan bukan karena dijahili Pak Direktur?" pikir Owen
"Dia sampai setega itu pada karyawannya. Saya tidak percaya. Kalau begitu, selamat malam. Saya tinggalkan surat itu di sini."
Adinda pulang dengan meninggalkan sebuah surat. Tertulis untuk Geraldo. Tidak jelas apakah itu untuk anaknya atau dirinya sendiri. Yang jelas, itu adalah nama keluarganya.
Owen membukanya dengan penasaran, namun ternyata hanya kertas kosong.
"Tidak ada nama pengirim atau hal lainnya! Siapa?"
Tentu saja Owen terkejut karena hal ini. Apalagi isi kertasnya kosong, Owen merasa dipermainkan oleh seseorang.
"Dari siapa surat ini?" tanya Tris seraya melihat-lihat kertas kosong itu.
"Entahlah. Buang saja. Pasti orang iseng."
Owen menganggapnya begitu namun Tris tanpa sengaja menyibak kertas dengan suara keras yang seolah kertas itu disobek.
Karena terkejut, Owen melihat apa yang dilihat oleh Tris saat ini. Kedua mata Tris terpaku pada kalimat yang ada di dalam kertasnya.
'Aku berusaha untuk menelepon tapi tidak ada yang mengangkatnya.'
Membaca kalimat itu bersama dengan Tris, Owen jadi teringat bahwa tak ada satupun telepon yang pernah diangkat sejak pagi kecuali panggilan dari Pak Direktur.
"Tris, kau tidak mengangkat telepon dari nomor asing?"
"Tidak. Terakhir kali aku hanya mengangkat telepon dari atasanmu saja."
***
23 Juli, adalah tanggal yang membuatnya mengulangi waktu. Tidak hanya sekali saja bahkan berulang-ulang hingga membuat kepala pusing.
Setiap waktu, selalu dan diakhiri dengan kejadian tragis. Masih belum jelas bagaimana dengan pelakunya apalagi bukti yang akan hilang setelah pengulangan waktu.
Sungguh amat disayangkan, hal ini terjadi pada seorang kepala keluarga. Ayah, mengemban semua beban tanggung jawab serta dosa dipunggungnya.
Terasa berat namun apa boleh buat, itulah kalimat yang tepat untuk orang berputus asa. Namun, ada suatu ketika disaat dirinya senang hanya dengan bisa melewati waktu pada tanggal 23 juli.
Tanggal setelahnya tanggal 24 juli, tetapi takdir tetap memaksanya ke ujung akhirat. Tidak disangka olehnya, Ia dapat mendengar suara pelaku yang berbeda. Dari pertama lalu kedua, yang pertama terdengar seperti suara dibuat-buat dan yang kedua suara orang kasar dan penuh emosi.
Jelas saja itu adalah orang yang berbeda. Begitu pun dengan Tris, Ia bahkan melihat setidaknya sekilas wajah mereka.
Pria dengan berjas, memiliki tubuh tinggi. Wajahnya hanya terlihat sedikit karena tertutup oleh topi. Sedangkan, yang seringkali berbicara dengan Tris pada saat di dalam ruangan karaoke, pria mengenakan jaket berhoddie dan perban yang ada di sekujur tubuh serta wajahnya. Kedua mata itu tampak seram tapi tetap saja Tris tidak tahu itu siapa karena adanya perban yang melekat.
Polisi, pemadam kebakaran lalu ambulan. Semua dari itu Owen yang memanggilnya sesaat setelah ledakan terjadi di bagian bawah mall.
Inspektur Polisi mendatangi pelapor yakni Owen sendiri, dan justru malah mencurigainya. Sehingga Owen menjelaskan namun tidak secara detail bahkan Ia menyembunyikan nomor asing itu. Owen benar-benar tidak merasa aman ketika diinterogasi.
Terlebih ada hal janggal saat Owen menyebut.
"3 bulan yang lalu. Anak tertua saya yang menjadi bagian dari kepolisan telah gugur saat bertugas."
Para polisi menampakkan wajah terkejut, mereka terdiam sembari menatap Owen yang tengah menundukkan kepala dalam-dalam.
Tak berselang lama kemudian, Inspektur itu menepuk pundaknya lalu meminta maaf karena telah mengingat kejadian buruk itu. Tapi tentu saja, Ia berusaha untuk mengorek informasi lebih.
"Jika aku mengulang waktu sekarang maka semua yang akan kukatakan pada mereka akan menghilang."
Tepikir dalam benaknya, Ia dapat menghindar dari para polisi.
"Bisakah kau mengatakan siapa nama anakmu yang telah gugur itu?"
Tentu saja, Owen takkan sudi memberitahukannya sehingga Ia berpura-pura mengeluh sakit pada bagian dada. Seperti penyakit jantung, Owen berhasil lolos dari mereka dengan tipuan murahan.
Namun perkiraan Owen benar adanya. Jika dirinya mengulang waktu maka semua perkataan yang telah Ia katakan pada mereka akan lenyap.
Sekarang, sebuah telepon dari tetangga. Mengatakan bahwa Mia telah menghilang. Saat itulah, pengulangan waktu kembali terjadi.
Lalu, pukul 11 malam. Mereka kedatangan tamu bernama Adinda. Dia adalah rekan kerja Owen saat ini.
Mengira bahwa Owen telah mengambil jadwal dan catatan keuangan, Ia pergi ke sana. Kenyataannya tidak.
Sesuatu lain, yang diberikan oleh Dinda adalah sebuah surat. Surat tanpa nama dan alamat pengirim. Hanya bertuliskan, 'Aku berusaha untuk menelepon tapi tidak ada yang mengangkatnya.'
Siapa yang menyangka, setelah berlama-lama dan terus mengulangi waktu. Kejadian rumpang justru semakin bertambah.
Awal dari pagi melompat lebih jauh ke malam hari. Hanya dengan membalik kertas, semua ini terjadi.
***
Pukul 9 pagi. Entah mengapa Owen kembali ke tanggal 23 lagi. Kejadian tragis apa lagi yang telah terjadi pun Ia tidak tahu.
Pagi ini, Ia tidak mendapatkan telepon. Karena itu, Owen menuliskan semua kejadian yang telah Ia alami di atas selembar kertas lalu melipatnya setelah selesai menulis jadi beberapa bagian.
"Pagi-pagi begini, apa yang sedang kau tulis?" tanya Tris penasaran seraya menyajikan kopi pada suaminya.
"Tidak ada. Ini hanya coretan saja. Ngomong-ngomong Tris, apa hari ini kau tidak membaca buku?"
"Buku? Ya, sebentar lagi aku akan membacanya." Tris tersenyum.
"Bisakah aku bertanya padamu sebentar? Akhir-akhir ini ada yang mengganggumu?"
"Tidak. Tidak sama sekali. Kecuali tetangga resek itu. Dia berkata bahwa aku ini pelacur yang dibeli olehmu."
"Hah, kalau soal dia jangan ditanya lagi."
Owen menghela napasnya, kemudian menyeruput kopi dengan nikmat.
"Benar juga, ya."
Sekali lagi Tris tersenyum. Tapi tidak dengan Owen yang merasa keheranan saat melihat Istrinya senang.
"Kenapa dia terlihat sangat senang? Terakhir kali aku bertanya padanya dia justru jengkel. Apa karena aku terlalu berlebihan bertanya ya?" pikir Owen dalam benaknya.
Setelah menghabiskan kopi secangkir kecil, Ia berpamitan pergi dengan membawa ponsel serta kertas itu ke dalam sakunya.
Sebelum Ia pergi ke suatu tempat, Ia berziarah pada jam ini ke makam putranya. Menyelipkan kertas itu di bawah antara nisan dan tanahnya.
Owen pergi dengan berjalan kaki menuju ke suatu rumah. Ia mengetuk pintu selama beberapa kali, dan seseorang yang di dalamnya menyuruh Owen untuk masuk.
"Maaf mengganggumu, Irvan. Ada hal yang ingin aku bicarakan padamu sebentar."
Usai kepergian Owen dari rumah, Istri dan anaknya terkejut saat melihat adanya sebuah benda yang menggantung di sudut setiap ruangan dalam rumah.
"Aku sudah melakukan apa yang barusan kau bilang di chat. Tapi apa ini tak masalah? Rumahmu itu privasi yang berharga bukan?"
"Tak masalah. Karena sebentar lagi mungkin akan ada seseorang yang datang ke rumah."
Banyaknya layar di depan seorang pria bernama Irvan. Layar-layar itu menampakkan isi dalam rumah milik Owen.
Owen barusan telah meletakkan banyak cctv pada rumah lalu dipantau lewat banyaknya layar di rumah Irvan saat ini.
"Tetapi kau punya banyak sekali layar seperti ini, ya? Seperti punya banyak komputer."
"Ini bukan apa-apa."
Pria berusia 25 tahun. Dia adalah teman Eka. Pekerjaannya adalah programmer.
Yang mendapatkan gaji hanya dengan menatap layar komputer, itulah yang seringkali dikatakan oleh para tetangga.
"Aku masih tidak mengerti kenapa kau mencurigai rumahmu sendiri."
"Itu karena ada seseorang yang ingin membunuh keluargaku."
Apapun yang Owen katakan saat ini pasti tidak akan mudah dimengerti olehnya. Sungguh tak masuk akal bila ada seseorang yang berani mengancam keluarga mereka. Karena mereka seringkali digosipkan, sebagai keluarga dingin.
Meski ada yang membencinya tapi tak seorang pun bisa melakukan sesuatu terhadap mereka. Tapi itu hanya gosip belaka. Walaupun Irvan percaya, tapi manusia tetaplah manusia. Di mana ada kelebihan di situ ada kekurangan.
"Kalau memang benar ada seseorang yang benar-benar akan membunuh keluargamu, maka akan kupastikan semua itu takkan terjadi. Lagipula rumah bapak dekat dengan rumahku."
"Ah, tapi hanya dengan ini. Aku masih ragu apakah dengan pergi ke rumah tetangga, dia akan muncul?"