webnovel

Intuisi Briptu Agus

"Baiklah kalau begitu, kita mulai saja ya.. Untuk keperluan penyelidikan maka kami mohon izin agar wawancara ini kami rekam." kata Briptu Agus sambil menatap Raissa lalu Papah dan Mamah, ketiganya mengangguk dan Briptu Shinta pun menekan tombol rekam pada perekam suara di ponselnya.

Briptu Agus memulai dengan memperkenalkan interogator dan saksi, dimana dilakukan wawancaranya, hari, tanggal, hingga jam interogasi dilakukan. Setelah itu kedua Briptu memulai wawancara mereka. "Saudari Raissa, apakah Saudari dapat menjelaskan keberadaan saudari pada malam Saudari Asih terbunuh?" tanya Briptu Shinta. "Saat itu saya baru pulang dari kerja, saya pulang terlambat karena ada rapat di klinik hingga pukul 7 malam. Demi kelancaran terlaksananya tugas, maka saya diminta untuk pulang lewat jalan belakang oleh atasan saya, Kak Mira." Raissa memulai ceritanya, tetapi Mamah langsung kasak kusuk di belakang. "Nak Aditya, kenapa harus lewat pintu belakang? siapa itu atasannya? harus dihukum itu mencelakakan anak orang!"

"Mamah!" seru Raissa kaget sekaligus malu. Papah hanya menepuk lutut Mamah. Aditya hendak menjawab tetapi Briptu Shinta sudah duluan berbicara dengan tegas, "Maaf, tolong jangan menganggu jalannya wawancara ini, kalau ingin mengobrol apakah bisa di ruangan lain?"

Mamah terdiam, "Oh enggak apa-apa kok, tidak penting.. saya disini saja ya? Hehehe.." kata Mamah kemudian. Akhirnya Wawancara kembali dilanjutkan. "Apakah bisa dijelaskan secara spesifik tugas apa dan apa yang membuat Saudari Mira ini menyuruh Saudari Raissa lewat belakang malam itu?" tanya Briptu Shinta. "Hmm, sebenarnya ini masalah internal klinik, apakah saya boleh menjabarkannya?" tanya Raissa sambil menoleh ke Aditya. "Boleh, tapi mohon agar kejadian ini sebisa mungkin tetap dirahasiakan dari pihak luar demi menjaga nama baik perusahaan." kata Aditya. Raissa mengangguk, begitu pula dengan kedua Briptu di depan Raissa. "Baiklah, jadi di klinik kami sering terjadi kemalingan, laptop, uang, dompet pada saat giliran jaga malam. Awalnya kami mengira tamu yang mengantarkan pasien, tetapi setelah beberapa saat kami curiga pelakunya adalah karyawan kami sendiri. Karena itu kami membuat skenario jebakan. Salah satu pemainnya adalah saya. Karena itu saya harus mengikuti rapat tersebut setelah saya pulang bekerja pukul 4 sore dan baru selesai rapat pukul 7 malam. Keberadaan saya pada rapat itu dirahasiakan supaya pelaku tidak curiga, karena itu saya tidak bisa keluar lewat pintu utama karena pasti akan terlihat, sehingga kak Mira menyarankan lewat belakang. Jadi sebenarnya ini bukan salah kak Mira juga." kata Raissa sambil menekankan kalimat terakhir pada Mamah. "Wah, tempat kerja Anak kita seru juga ya Pah, ada buronan, ada pencuri.." kata Mamah sambil berbisik keras pada Papah. Raissa melototi Mamahnya, Aditya menahan tawa. Merasa dipelototi anaknya, Mamah kembali terdiam dan duduk menyimak. "Ehemm.."Briptu Shinta berdeham untuk membuat semua orang tenang lalu melanjutkan Wawancara. " Mohon dilanjutkan keterangan saudari hingga bertemu dengan korban." pinta Briptu Shinta. "Baiklah, saat itu sudah malam sehingga para pedagang kaki lima sudah tutup semua, kondisi saat itu remang-remang, karena memang tidak ada lampu jalan dan penerangan hanya ada dari arah jalan raya dan gedung parkiran. Diantara gerobak gerobak saya melihat Asih sedang mencari-cari. Saat itu saya belum tau apa yang dicarinya walaupun saya sudah bisa menebaknya. Bukan rahasia lagi kalau Asih ditinggal suaminya selingkuh dengan wanita lain. Awalnya saya berusaha berjalan tanpa menarik perhatian Asih, karena Asih dikenal sering mengejar-ngejar karyawati yang dikiranya merebut suaminya. Sayangnya saya keburu terlihat olehnya. Asih langsung menyerang saya, saya hanya bisa melindungi kepala dan dada saya dengan menunduk, tetapi bagian bawah, samping dan punggung saya tidak terlindungi. Saya berpikir bagaimana caranya supaya Asih meninggalkan saya, maka ketika Asih menarik nafas saya melihat sekeliling dan melihat semak-semak, saya tunjuk semak-semak itu dan mengatakan suaminya ada disana. Lalu Asih berjalan kesana sedangkan saya langsung lari terus sampai ke halte busway " jelas Raissa. "Apa Anda mengingat atau melihat sesuatu saat menunjuk ke semak-semak?" tanya Briptu Shinta. Raissa mengigit bibir, "nnnggg.." hanya itu yang keluar dari mulut Raissa. "Ada apa?" tanya Briptu Shinta. Raissa menoleh pada Aditya lalu Papah dan Mamah. "katakan saja sejujurnya Sa, tidak apa-apa, kami mendukungmu!" kata Papah yang disambut anggukan Aditya lalu Mamah. Raissa menarik nafas. "Briptu, sejujurnya aku tidak terlalu begitu ingat. Setahuku aku tidak melihat siapapun saat itu, aku menunjuk ke semak semak pun hanya asal saja yang penting Asih tidak memukuliku lagi dan aku bisa melarikan diri. Tetapi malam itu, aku bermimpi buruk, mimpi yang sama terulang kembali hampir setiap malam setelahnya. Dalam mimpiku itu ada yang menunggu Asih di semak-semak itu, tidak jelas rupanya, hanya siluetnya seperti laki-laki." kata Raissa pelan. "Apakah siluetnya mirip si topi biru?" tanya Briptu Agus tiba-tiba bertanya. "Aku tidak tahu, yang jelas penampakannya seperti pria, tapi.. kondisinya gelap sekali, aku saja tidak yakin baju apa yang dikenakannya." jawab Raissa kali ini benar-benar ragu. "Mungkin saja aku tidak melihat apa-apa ya kan? itu hanya mimpi buruk!" kata Raissa. "Tapi biasanya orang trauma yang diingat adalah wajah orang yang membuatnya trauma, dalam hal ini seharusnya Asih yang membuatmu takut. Tapi sepertinya kamu tidak takut dengan Asih." kata Briptu Shinta mengganti cara bicaranya yang formal menjadi lebih santai supaya lebih dekat dengan Raissa. Raissa termenung, "Ya, aku tidak takut dengan Asih. Luka-luka yang di timbulkan ya menyakitkan, tapi aku tidak pernah menyalahkan Asih, bagiku dia hanya pasien yang butuh pertolongan. Sejujurnya aku merasa bersalah, kalau saja aku tidak menunjuk ke semak-semak mungkin Asih masih hidup " kata Raissa sambil menahan air mata. "Bukan salahmu sayang!" kata Mamah hendak maju menenangkan Raissa tetapi Papah menahannya. "Tunggu Mah, belum selesai wawancaranya." kata Papah. "Ini kapan selesainya, anak saya sudah stress begini, sudahi saja ya?" pinta Mamah. "Tidak apa-apa Mah, Raissa bisa kok." kata Raissa sambil tersenyum pada Mamah. Mamah masih mencebik kearah kedua Briptu yang mewawancarai Raissa. Tentu saja tidak dihiraukan oleh keduanya. "Raissa, kamu pernah dengar hipnoterapi?" tanya Briptu Shinta. Raissa mengangguk. "Menurut kalian apakah Raissa sebenarnya melihat si pelaku?" tanya Aditya tiba-tiba. "Bisa jadi. Setidaknya alam bawah sadarnya berkata demikian. Kami bisa menjadwalkan Raissa dengan dokter rekanan kami." jelas Briptu Agus. Aditya mengangguk. "Baiklah, aku bersedia " kata Raissa. "Baiklah akan kami jadwalkan. Tapi harus di Jakarta." kata Briptu Shinta. "Tidak masalah,sebentar lagi cuti sakitku sudah habis dan aku harus kembali bekerja." kata Raissa. "Cutimu bisa diperpanjang Sa." kata Aditya. "Tuh enak kan punya pacar yang punya perusahaan." kata Mamah. "Adduuhh!" kata Raissa pelan sambil menepuk jidatnya. "Tidak apa-apa Sa, keduanya sudah kuberitahu tentang status hubungan kita dan mengapa kita merahasiakannya." kata Aditya. Raissa tersenyum senang. Briptu Raissa membalas senyumnya. Sedangkan Briptu Agus hanya menyeringai jahil. "Tapi Abang tetap akan berusaha demi adek, selama janur kuning belum terpasang!"

"Kalau begitu kupastikan usahamu itu akan sia-sia Briptu." kata Aditya tenang.

"Biar waktu yang menentukan" kata Briptu Agus tak mau kalah. "Walah.. kumaha ieu Pah?" kata Mamah takut kalau terjadi pertarungan fisik antara Briptu Agus melawan Aditya. "Tenang, tidak akan terjadi apa-apa. Keduanya sudah menyampaikan peringatannya masing-masing." kata Papah. "Oohh.. hebat si Eneng ya Pah, direbutkan dua lalaki." kata Mamah gembira. Papah hanya tersenyum sambil berkata dalam hati, "Siapapun yang menang, belum tentu dapat Raissa secara langsung, hadapi Papah dulu!! enak saja rebutan Raissa didepan Papah. Yang bisa mengambil Raissa harus lulus ujian papah dulu!!"

"Sebelum kami pulang, satu pertanyaan terakhir untuk saudari Raissa, apakah selama ini saudari Raissa pernah bertemu secara langsung dengan si topi biru?" tanya Briptu Agus. "Setahu saya tidak, pertama kali saya bertemu secara langsung adalah sebelum kejadian yang dialami Liza. Setelah itu tidak pernah." kata Raissa. "Aneh, karena si topi biru selalu beraksi di dekat Raissa." Pikir Briptu Agus mengerutkan kening. Tetapi pikirannya itu tidak disuarakannya. "Baiklah kalau begitu, wawancara kami sudah selesai. Sebaiknya kami segera kembali supaya tidak kemalaman." kata Briptu Agus. Aditya juga ikut pamit karena ia yang mengantar kedua polisi itu ke rumah Raissa. Di teras rumah, ia mencium kening Raissa, "Istirahatlah, kalau butuh tambahan istirahat bilang saja." kata Aditya. "Tidak usah, aku sudah baikan. Hati-hati dijalan ya Mas. Telepon aku kalau sudah sampai." kata Raissa. "Aku juga akan menelepon mu dek." kata Briptu Agus yang tiba-tiba muncul di belakang sejoli itu. "Tidak usah repot-repot Briptu." kata Aditya tegas. "Santai bro! bercanda doang!" kata Briptu Agus sambil menyikut Aditya dalam perjalanannya menuju mobil Aditya. Sedangkan Briptu Shinta pamit kepada kedua orangtua Raissa lalu segera menyusul rekannya ke mobil Aditya. "Saya juga pamit dulu Om dan Tante, Raissa." kata Aditya. "Hati-hati Nak Aditya, semangat ya mempertahankan Raissa, Tante pegang kamu loh!" kata Mamah. "Hahaha, baik Tante, terimakasih dukungannya." kata Aditya senang. "Jangan senang dulu, kalau kamu yang memang lawan Briptu Agus atau siapapun juga, masih ada ujian akhir dari saya! Siap ya!" kata Papah. "Siap Om!" jawab Aditya semangat. Sementara Raissa cemberut, "Papah,Mamah, apa-apaan sih?" kata Raissa memegang keningnya berlagak pusing melihat tingkah orangtuanya. "Tidak apa-apa Sa, aku senang kok. Aku merasa diterima."Bisik Aditya. "Itu sih sudah pasti Mas, mereka saja yang nyebelin sok-sokan menolak padahal seneng." bisik Raissa. Aditya hanya tertawa. "Ya sudah aku berangkat ya. Nanti aku jemput kalau sudah siap kembali ke Jakarta ya?" kata Aditya. Raissa menganggukkan kepalanya. Akhirnya Aditya memasuki mobil dan pulang ke Jakarta bersama Briptu Agus dan Briptu Shinta.

"Dah, sudah tidak kelihatan lagi mobilnya Sa, sekarang ayo masuk, cerita sama Mamah ada apa sih dengan keluarganya Aditya. Cerita dong.. mamah penasaran nih!" kata Mamah. "Iya-iya, ayo masuk ,nanti Raissa ceritakan.. Ayo Pah! Papah juga mau tahu kan?" tanya Raissa. "Oh ya jelas dong! .." kata Papah. Raissa tertawa lalu mereka semua masuk.

Dalam perjalanan ke Jakarta, Aditya bertanya pada Briptu Agus, "Mengapa kau menanyakan pertanyaan terkahir tadi?"

"Naahh!! pasti kau juga punya firasat tidak enak kan bro?" tanya Briptu Agus. "Memang, tapi bukannya polisi bekerja berdasarkan fakta? bukannya firasat?" tanya Aditya. "Betul sekali! tapi kami juga mengandalkan intuisi kami dalam menggali fakta. Saat ini fakta yang terungkap adalah Si Topi Biru selalu beraksi dekat dengan Raissa. Coba pikir.. kejadian di RS setelah penyerangan terhadap Liza, terjadi saat Raissa sedang ada di RS, sewaktu Raissa tak ada, si topi biru tidak masuk ke RS, lalu kecelakaan Bram, memang kejadiannya tidak berhubungan dengan Raissa, tapi sebelum terjadi rentetan kecelakaan, Raissa sempat makan hanya berdua saja dengan Bram, hal ini membuatku bertanya tanya apakah selama ini si topi biru mengawasi Raissa? karena bila memang iya, berarti Si Topi biru membunuh Asih karena Asih telah menyakiti Raissa. Di dekat TKP Asih, kami menemukan sebuah tempat persembunyian terbuat dari terpal beralaskan kardus dan sleeping bag yang sudah lama tidak dicuci. Dari DNA yang kami temukan disana cocok dengan DNA si topi biru. Pantas saja selama ini kami tidak menemukannya, rupanya ia bersembunyi di properti orang lain. Sayangnya si topi biru sudah lama meninggalkan sarangnya itu alias tempat itu sudah tidak dipakai lagi." kata Briptu Agus. "Tapi semua ini hanya sekedar spekulasi? karena kalau memang sudah faktanya seperti itu, pasti kau sudah mengerahkan satu tim polisi untuk mengamankan Raissa kan?" tanya Aditya. "Tepat!! tapi intuisiku jarang salah bro! sebaiknya kau mengawasi kekasihmu dengan ketat. Karena kalau tidak.. aku yang akan merebutnya darimu!!" kata Briptu Agus dengan percaya diri. "Ck.. aku tidak takut padamu, dan jangan khawatir, aku akan menjaga Raissa dengan segala daya upayaku agar Raissa tetap selamat." kata Aditya. "Ehm.. ehm.. sudah.. sudah.. terlalu banyak testoteron disini, boleh buka jendelanya? sesak nafas ini!! untung aku sudah menikah, ya ampuunn dua pria macho ini!!" gerutu Briptu Shinta kesal karena dari tadi hanya duduk diam di sebelah supir Aditya. Aditya melunak, begitu juga dengan Briptu Agus. Kali ini mereka mengikut sertakan Briptu Shinta dalam mendiskusikan kasus si topi biru yang memang membuat kepolisian lumayan bingung. Tanpa terasa mereka sudah memasuki kita Jakarta, Aditya menurunkan keduanya di lobby kantor kedua polisi tersebut. Setelah itu Aditya langsung pulang ke rumahnya. Tak lupa ia mengabari Raissa melalui ponselnya kalau ia sudah sampai di Jakarta dan sedang dalam perjalanan menuju rumahnya. Setelah itu Aditya merenungi perkataan Briptu Agus mengenai intuisinya. Dan Aditya pun mulai menyusun rencana agar Raissa dapat bekerja dengan aman dan nyaman tanpa harus merasa dibatasi atau diawasi olehnya.