webnovel

Rain Sound

biar kutanyakan pada mu. apa kau percaya cinta pertama akan terjalin saat kamu hanya memendamnya disudut hatimu tanpa pernah mengungkapkannya, tanpa sekalipun memperlihatkan langsung padanya? kebanyakan orang akan berkata tidak mungkin. ya sangat tidak mungkin. namun suara hujan malam itu seakan menjadi pertanda bagi chika, jawaban yang seharusnya tidak mungkin entah mengapa berubah menjadi mungkin. tapi apa yang terjadi? bagaimana mungkin perasaan yang tulus ini terjalin dalam hubungan yang tak jelas. haruskah chika bahagia atau merasa sedih? ini tentang kisahku dan cinta pertamaku

Kirei0713 · 若者
レビュー数が足りません
14 Chs

Waktu Kita

Chika berjalan mengikuti langkah kaki ana yang tergesa-gesa menghampiri sosok pria didepan pintu itu. Sebelah tangannya terangkat menepuk keras pudak pria yang kini telah berada dihadapannya. Dengan perasaan takut chika menarik sebelah tangan ana menggeggam erat, berharap ana tak akan meluapkan kemarahan pada arvin yang chika tau adalah pacar ani.

     "Kamu ngapain... ahh gak gak, tadi itu siapa?" Chika bisa mendengar kemarahan yang tertahan dari suara pelan ana.

"A-ani? Kamu kok-"

"Aku ana, udah deh perempuan tadi itu siapa?" Tangannya terangkat mengarah pada pada toilet, suaranya terkendali tanpa ada nada-nada tinggi terdengar, mungkin ana juga tak mau meluapkan kemarahannya dan berakhir menjadi pusat perhatian orang sekitar.

      "Ohh ana... i-itu p-perempuan... peremuan tadi itu..." chika dan ana menatap lurus pada arvin, matanya bergetar menatap kiri dan kanan dengan begitu paniknya.

"Sepupu?"

"Iya... iya sepupuku ana, dia tadi minta temanin jalan-jalan... jadi yah gitu" arvin tersenyum di akhir katanya. Berbading terbalik dengan ana yang mendengus dan tersenyum miring dengan sebelah alis terangkat.

"Kamu pikir aku bodoh? Aku bukan ani yang bisa kamu tipu seenaknya. Terakhir kita ketemu kamu bilang perempuan itu teman kerjamu, sekarang sepupu? Udahlah putuskan ani jangan mainin dia" ana ingin beranjak pergi namun langkahnya terhenti saat mendengar arvin berbicara dengan suara pelan bagai bisikan.

"Gak akan" tanpa berpikir lama ana kembali melangkah mendekati arvin dan melayangkan tinju tepat di wajah arvin, membuat ia tersungkur dan mengeluarkan darah segar dari hidungnya.

Ana mengibas-ngibas pelan tangannya dengan rahang mengeras menahan niatan untuk kembali melayangkan pukulan. Chika menutup mulut dengan sebelah tangan. Tak percaya pada apa yang ia liat beberapa detik yang lalu. Chika sangat tau kalau ana mempelajari bela diri dan terkesan tomboy diantara teman-teman chika lainnya. Tapi chika juga tau kalau ana satu-satu temannya yang paling penyabar, berfikiran sehat dan tak suka bermain menggunakan fisik saat marah. Tapi sekarang ana yang chika lihat, berbanding terbalik dari kebiasaannya marahnya yang biasa ia perlihatkan.

ana kini menatap tajam pada arvin yang masih terduduk dengan wajah terkejut, orang-orang disekitar melirik sekilas penuh penasaran.

"Bukannya dari tadi aku sudah bicara  baik-baik? Rupanya kamu suka menguji kesabaran ku ya vin? Kamu pikir hanya karna kita teman sejak kecil lalu aku akan berbaik hati sama semua tingkah mu? Jangan mimpi cepat putus saja" ana berbalik dan berjalan beriringan dengan chika.

Chika melirik kearah arvin sekilas dan mendapati perempuan tadi kini berada dihadapan arvin dan membantunya berdiri dengan wajah yang terlihat panik. Chika kembali mensejajari langkah dengan ana sembari mengelus pelan dadanya, merasa lega karena tidak bersinggungan dengan perempuan itu.

    senja semakin menapakan diri saat chika, ana, ani dan dona menyusuri jalan pulang. Setelah Kejadian di mall tadi sedikit membuat ana menjadi pendiam. Entah apa yang ada dibenaknya saat ini. Tak banyak obrolan selama perjalanan, hanya riuh suara kendaraan lain yang mengisi jalanan. Chika merogoh tasnya menatap layar persegi yang menampilkan pesan masuk. Ada 7 pesan tak terbaca dan 2 panggilan masuk dari arka.

Seharian ini chika mensilent ponselnya karena tak mau waktu bersama teman-temannya terganggu dengan suara ponsel. Hal itu sudah menjadi kebiasaan diantara chika dan teman-temannya untuk tidak sibuk pada ponsel saat sedang berkumpul bersama diluar. matanya membaca baris demi baris pesan yang dikirim oleh arka

Arka : Siang.. sudah makan?

Arka : hari ini langitnya cantik, secantik kamu. Mau jalan?

Arka : hmmm, sibuk ya? Padahal kangen"

Arka : chika

Arka : chika

Arka : ai sibuk banget ya?

Arka : yaudah deh, ntar kalau baca langsung balas ya

Chika bergidik geli membaca satu persatu pesan yang dikirim arka, semua isi pesannya hanya godaan yang membuat chika merasa geli tapi juga tersenyum kecil. Chika merasa ia sudah mulai gila, tersenyum hanya karena pesan-pesan arka yang dipenuhi kata-kata rayuan.

Sesampainya di kamar chika langsung menghempaskan diri, dan memejamkan mata sejenak, setelah merasa niatannya untuk mandi terkumpul ia bergegas menuju kamar mandi untuk menghilangkan kepenatan yang dirasakan pada seluruh tubuhnya.

Arka memandangi layar ponselnya, menunggu balasan dari chika yang tak juga kunjung tiba, entah mengapa seharian ini merasa bosan dan tak bersemangat. Yang ia mau hanya menghubungi chika dan mendengar suaranya, melihat senyumnya, tingkah malu-malunya dan segala kepolosannya. Pada intinya ia merindukan chika. Sebelumnya bahkan tak pernah begini, sepertinya kedekatannya dengan chika akhir-akhir ini membuat perasaannya juga semakin kuat terhadap chika. Ia mengacak-acak rambut gusar, menunggu benar-benar bukan suatu hal yang menyenangkan. Arka sangat benci menunggu dalam penantian. Diketiknya nomor ponsel chika yang memang sudah ia hapal di luar kepala. Mengarahkan ponsel ketelinga, jantung nya berdegub kencang entah karena perasaan kesal, marah atau kah karna ia tak bisa lagi untuk bersabar menunggu? Arka sendiri tak tau pasti jawabannya.

"Kok baru diangkat?" Satu pertanyaan lolos dari bibir arka, saat ia mendengar suara lembut dari ujung telepon.

"Harusnya jawab salam dulu dong"

"Ohh ya... wa'alaikumussalam" sunyi tak ada suara. Arka masih menunggu jawaban atas pertanyaannya untuk chika, ia mengernyit saat lama waktu terlawat tanpa ada jawaban dari chika.

"Chika?"

" hemm? Oh yaa.. tadi siang aku keluar bareng teman-teman jadi gak tau kalau ada panggilan masuk dan pesan dari kamu" akunya, arka memijat pelan pelipisnya sembari bergumam pelan.

"Bisa-bisanya, padahal aku nunggu"

"Ya, apa? Maaf aku gak dengar ka, kamu bilang apa?"

Arka menggeleng seirama dengan bibirnya yang bergumam 'gak papa'.

"Chika, nanti lanjut kuliah atau kerja?"

"Em.. kayaknya lanjut kuliah deh. Kenapa?"

"Serius? Wah,, kita cari kampus yang sama yuk, nanti kalau keterima kan bisa berangkat sama-sama tiap hari"

"Haha apaan, masih lama kali ka" chika tertawa geli mendengar ucapan arka yang terkesan polos, tapi tak menutup kebahagiaan dalam hati chika untuk berharap akan bisa satu kampus dengan arka nantinya. Lagipula memang bukan hal yang mustahil bagi chika.

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam saat ia mengakhiri panggilan telpon dengan arka. matanya beberapa kali terpejam saat mendengar cerita-cerita arka tentang keinginanya di masa depan, cita-citanya, kegemarannya, keluarganya, teman-temannya. Bahkan arka menyanyikan lagu pengantar tidur untuk chika sebelum menutup panggilan saat sadar chika beberapa kali tertidur disela-sela obrolan. Langit malam makin menampakan diri, chika sudah terlelap, senyum kecil terhias diwajahnya dengan tangan memeluk erat guling.

Hari ini penuh dengan lika-liku, berkelahi, berbaikan, menangis, tertawa, sedih, bahagia. Penuh dengan warna, warna dari kehidupan.

Tbc~